Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 30 Adik Kecil
"To ... tolong!"
Suara Dzaka membuat semua orang di sana terkejut.
Dimitri bahkan langsung menggenggam tangan adiknya itu mencoba memberi ketenangan. Dimitri dibuat semakin terkejut ketika jari-jari panjang Dzaka yang lemah mencoba membalas genggamannya.
Dokter berusaha menyuntikkan obat penenang melalui infus Dzaka. Kondisi Dzaka yang kejang membuat dokter menahan napas, khawatir jika luka bekas operasi Dzaka terdampak.
"A ... ada apa ini, Dokter? tanya Paman Adi yang membantu menahan tubuh Dzaka.
"Ini adalah reaksi tubuh atas sesuatu dari alam bawah sadarnya," balas dokter seraya memerhatikan monitor detak jantung Dzaka. Garis-garis elektrokardiogram yang bergerak tidak stabil membuat dokter itu dirundung kekhawatiran.
Namun ... perlahan tubuh Dzaka kembali tenang. Bahkan detak jantungnya kembali normal. Hal itu membuat dokter dan orang-orang di sana menghela napas lega.
"Tadi saya sudah menyuntikkan obat penenang. Kita hanya perlu melihat apakah akan ada reaksi susulan. Kalau begitu, saya pamit undur diri." Dokter diikuti perawat ke luar dari ruang rawat Dzaka menyisakan tiga orang yang sebelumnya bersitegang.
Dimitri memandang lekat wajah damai Dzaka. Dia masih mengingat jelas pertemuan pertama mereka, saat Dzaka bergabung sebagai peserta pelatihan di Geng River.
Dimitri bahkan sempat terpaku menatap wajah Dzaka kala itu. Wajah mereka tidak memiliki kemiripan yang identik. Hanya saja garis wajah mereka dan juga mata mereka terlihat mirip.
Terlebih mengetahui Dzaka bergabung di tim yang sama dengannya--tim pelacak--membuat Dimitri ingin menggali lebih dalam. Sebab dari sisa-sisa ingatan masa lalu, Dimitri memiliki gambaran wajah bayi kecil yang tersenyum ketika berada di lengannya. Adik kecil yang sempat dia lupakan keberadaannya.
Mengetahui nama lengkap Dzaka semakin memperkuat keyakinan yang ada di diri Dimitri, bahwa sosok pemuda itu adalah adik kecilnya--Aaron Dzaka Emir.
Dimitri membawa bibirnya mendekati telinga Dzaka. "Terima kasih sudah bertahan, Dzaka. Abang bangga sama kamu," bisiknya tulus.
Ketika pandangannya bergulir ke arah pakaian Dzaka. Seketika dia mengingat sesuatu dan menoleh ke arah Paman Adi.
"Paman ..., siapa yang sudah melakukan ini?" tanya Dimitri membuat Paman Adi yang tadinya masih kalut dengan kekhawatiran terhadap Dzaka menoleh.
Pandangan Paman Adi beralih pada Tuan Emir. Matanya menatap tajam Tuan Emir. Tanpa kata Dimitri langsung paham. Matanya juga menyorot tajam Tuan Emir.
"Tuan Emir ... sebenarnya sudah seberapa banyak Anda menyakiti adik saya?" Suara dingin Dimitri bahkan membuat Paman Adi tersentak.
Tuan Emir mengernyit tak paham. "Apa yang kamu maksud? Kapan saya menyakiti adikmu?"
Paman Adi terkekeh sinis. "Tuan Emir yang terhormat. Jika Anda lupa, saya siap mengingatkan Anda."
"Adi ... kau benar-benar menguji kesabaranku!" geram Tuan Emir yang emosinya kembali memuncak.
Paman Adi memilih abai dan melanjutkan ucapannya. "Beberapa hari yang lalu, saat Tuan Muda Dzaka masuk rumah sakit, bukankah Anda mendorongnya keras?"
Tuan Emir mencoba mengingat kembali, tapi dia merasa tak ada yang salah dari tindakannya. "Apa yang salah dari hal itu? Anak itu ... berani-beraninya dia sakit dan membuatnya hampir ketinggalan ujian. Aku hanya memberinya peringatan agar tak melakukan hal yang sama," jelas Tuan Emir.
Namun, penjelasan Tuan Emir menumbuhkan amarah di dalam diri Dimitri. Dia ingat beberapa hari yang lalu adiknya itu dirawat di rumah sakit. Sebenarnya Dimitri sedikit heran mengapa asisten Tuan Emir menyuruhnya mengajar les untuk Dzaka di rumah sakit. Ternyata mereka memang tidak membiarkan adiknya bebas.
"Peringatan macam apa yang Anda maksud, Tuan? Apakah melalui kekerasan?" Dimitri mencoba menekan emosinya sendiri.
"Sebenarnya seberapa menderitanya Dzaka di bawah kendali Anda?" Hati Dimitri merasa sakit hanya dengan membayangkan kekerasan yang dialami adiknya.
"Kamu ... berani sekali kamu menuduh orang yang lebih tua darimu seperti itu." Tuan Emir berjalan mendekati Dimitri dengan tangan mengepal seolah siap melayangkan pukulan pada cucunya itu.
Namun, Paman Adi sudah berdiri tegak di depan tubuh Dimitri menjadi tameng. "Tidak akan saya biarkan Anda menyentuh Tuan Muda Dimitri di hadapan saya, Tuan Emir!" tegas Paman Adi membuat Tuan Emir mengepal tangannya kuat hingga buku-buku jarinya memutih dan wajah tegasnya memerah.
Tuan Emir memilih beranjak dari sana. Terlalu lama berada di sana hanya akan membuatnya darah tinggi. Namun, belum sampai langkahnya menuju pintu, sebuah suara menginterupsinya.
"Tuan Emir! Suatu saat nanti, saya akan membawa Dzaka keluar dari Keluarga Emir. Tolong ingat itu!" Dimitri memandang Tuan Emir dengan tatapan tajam menusuk menegaskan ucapannya.
Tuan Emir berlalu menuju pintu, tapi sebelum itu dia berhenti dan membalikkan tubuh. "Tidak akan aku biarkan itu terjadi!" ucapnya dengan aura kewibawaan yang menguar begitu saja.
Saat membuka pintu, ternyata sudah ada dua pemuda yang memandang Tuan Emir tajam. Namun, dia memilih melangkah menjauh bersama pengawalnya, meninggalkan semua tatapan tajam yang menghunus punggung tegapnya.
Kedua pemuda itu masuk. "Paman ..., bisa jelasin semua ini?" tanya Tanvir. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan dan emosi yang tertahan.
"Apa yang ingin Nak Tanvir ketahui?"
"Tentang siapa Bang Dimitri ... dan soal kekerasan yang dialami Dzaka." Tanvir benar-benar membutuhkan penjelasan untuk semua hal yang tak sengaja dia dengar bersama Raffa di celah pintu ruang rawat Dzaka.
Paman Adi menghela napas panjang sebelum mulai memuaskan keingintahuan sahabat dari tuan mudanya.
"Sebelum menjelaskan semuanya, saya ingin memperkenalkan diri dengan baik. Saya adalah Adhyaksa, orang kepercayaan Tuan Ivander, kakek dari pihak ibu Tuan Muda Dzaka dan Tuan Muda Dimitri."
Ivander? Apa yang dimaksud Ivander itu--
"Tepat seperti yang Nak Raffa pikirkan," ujar Paman Adi membuat Raffa yang tengah melamun tersentak.
"Tuan Muda Dzaka sebenarnya adalah anak kedua dari Aaron Emir dan Airin Ananda Ivander. Anak pertama mereka adalah Aaron Dimitri Emir."
Penjelasan Paman Adi membuat netra Tanvir dan Raffa membola. Mereka tidak pernah menyangka bahwa kakak kandung Dzaka berada di dekatnya tanpa Dzaka sadari.
"Tapi ... tapi Dzaka gak tau, kan Paman?"
Paman Adi menggeleng. Dia juga baru mengetahui keberadaan Dimitri beberapa bulan yang lalu. Maka dari itu dia berusaha merekrut Dimitri untuk menjaga pemuda itu berada dalam pengawasannya.
"Kenapa lo gak pernah bilang ke Dzaka, Bang?" tanya Tanvir membuat Dimitri menoleh.
"Bakalan aneh kalau gue tiba-tiba ngaku ke dia kalau gue itu abangnya, kan?" jawab Dimitri membuat Tanvir dan Raffa mengangguk bersamaan.
Dimitri menatap kedua pemuda yang merupakan sahabat adiknya sekaligus juniornya di Geng River. "Menurut kalian ... gimana respon Dzaka kalau tau soal ini?" tanya Dimitri ragu.
Sebenarnya Dimitri memiliki kekhawatiran tentang itu. Khawatir jika dia mengatakan yang sebenarnya, Dzaka akan menolak kehadirannya. Makanya Dimitri selama ini bertahan dengan keakraban tersembunyi antara dia dan Dzaka.
"Menurut gue ... Dzaka mungkin bakal kaget. Tapi ...." Intonasi Tanvir yang menggantung membuat Dimitri penasaran.
"Dzaka kayaknya bakal lebih bersyukur." Ucapan Tanvir sebenarnya tak dimengerti oleh Dimitri sepenuhnya. Bersyukur? Kenapa?
Terdengar helaan napas dari Raffa. "Sebenarnya, waktu pertama kali Dzaka ketemu lo, dia sempat cerita ke gue, dia bilang ada senior yang wajahnya mirip dia. Dzaka juga pernah bercanda dengan bilang: Apa mungkin Bang Dimi itu abang gue ya, Fa?"
Raffa menatap Dimitri. "Pantas setiap ngeliat lo, gue selalu mempertanyakan kemiripan lo sama Dzaka. Ternyata bercandaan Dzaka waktu itu sebenarnya fakta yang gak dia tau," lanjut Raffa mengalihkan pandangan dari Dimitri yang kini termangu.
Dimitri ingat pernah mendengar Dzaka mengatakan bahwa dia berandai-andai jika Dimitri adalah abangnya. Ternyata ikatan batin mereka tetap ada meski sudah terpisah belasan tahun.
"Bang ... Dimi ...."