Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Sore itu, langit Surabaya mulai meremang, warna jingga menyelimuti rumah-rumah kecil di kawasan Bumiarjo.
Udara terasa hangat, khas akhir hari, Grilyanto baru saja turun dari angkot dan berjalan kaki menyusuri gang kecil menuju rumah kontrakannya.
Keringat masih menempel di pelipisnya setelah seharian bekerja.
Saat mendekat ke pagar, langkahnya terhenti.
Di kursi kayu tua yang terletak di teras rumah, duduk Sri.
Perutnya yang mulai membesar tertutup daster motif bunga lembut.
Rambutnya disanggul sederhana, dan wajahnya terlihat lelah tapi teduh, menyiratkan rindu.
Di tangannya, ada segelas air putih yang sudah tinggal separuh.
Grilyanto tertegun sejenak, lalu tersenyum.
“Mama, kenapa di luar? Kan Mas sudah bilang, istirahat di dalam aja,” ucap Grilyanto, setengah mengomel tapi penuh sayang sambil mendekat.
Sri menoleh pelan. Senyum kecil terbit di wajahnya.
“Nunggu Papa…”
Grilyanto menelan ludah, terdiam sesaat. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya bahagia yang sederhana, namun dalam. Ia duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya yang dingin.
“Aku nggak mau Papa pulang rumah tapi sepi. Aku pengin jadi orang pertama yang Papa lihat pas pulang,” lanjut Sri lirih.
“Maaf ya, aku jarang di rumah akhir-akhir ini. Semua demi kamu dan anak-anak kita. Tapi mama, kamu harus jaga diri juga. Kamu itu dunia aku.”
Sri menyandarkan kepala di bahu suaminya. Hening sesaat, hanya suara sepeda lewat di gang depan dan kicau burung sore yang terdengar.
“Aku cuma rindu Papa. Rasanya, walau cuma duduk bareng sebentar begini, semua lelah hilang,” bisik Sri.
“Mulai sekarang, Mas janji pulang lebih cepat, asal Mama janji nggak duduk-duduk di luar terus. Ini musim hujan lho.”
“Janji, asal Papa tetap bawa lumpia RKZ,” godanya.
Mereka tertawa bersama, dan meski tubuh sama-sama letih, hati mereka hangat.
Sore itu bukan hanya menjadi penanda hari yang selesai, tapi juga pertemuan dua hati yang saling menunggu dan menguatkan dalam cinta, kesabaran, dan pengorbanan yang tak pernah sia-sia.
Malam turun perlahan di kawasan Bumiarjo, lampu minyak kecil di sudut dapur sudah dipadamkan, berganti dengan cahaya redup dari lampu gantung di ruang tengah.
Suasana rumah begitu tenang, hanya terdengar sesekali suara jangkrik dari luar jendela.
Di dalam kamar yang sederhana, Grilyanto duduk bersila di samping ranjang. Sri bersandar di bantal besar, tubuhnya lemah tapi wajahnya tetap teduh.
Grilyanto mengangkat mangkuk kecil berisi bubur ayam hangat yang baru saja ia masak.
Aromanya lembut, dengan taburan irisan seledri dan suwiran ayam yang dimasak pelan-pelan.
Di sendok pertama, ia meniupnya pelan sebelum menyodorkannya ke arah Sri.
“Buka mulutnya, Ma,” ucap Grilyanto lembut.
Sri tersenyum tipis, sedikit malu. Ia membuka mulutnya dan menerima suapan itu perlahan.
“Enak?” tanya Grilyanto, matanya menatap penuh perhatian.
“Masakannya Papa enak lebih enak dari bubur rumah sakit,” jawabnya sambil tersenyum lemah.
“Ah, kamu cuma pengin Mas terus masak ya,” godanya sambil menyendok bubur lagi.
“Bisa jadi…” Sri membalas dengan suara pelan tapi bahagia.
Suapan demi suapan, Grilyanto menyuapi istrinya dengan sabar.
Tangan kirinya sesekali membetulkan selimut yang menutupi kaki Sri, sementara tangan kanannya sigap menyodokkan makanan.
Tak ada percakapan yang banyak hanya saling pandang, saling paham, dan saling merawat.
Setelah bubur habis setengah mangkuk, Sri menggeleng pelan.
“Sudah cukup, Mas. Aku kenyang.”
Grilyanto tidak memaksa. Ia meletakkan mangkuk di meja samping dan mengambil segelas air hangat. Sri meminumnya perlahan, lalu bersandar kembali.
“Terima kasih ya, , Pa. Sudah repot setiap hari, pulang kerja capek masih ngurusin aku,” ucap Sri lirih.
“Mas bahagia bisa merawat Mama. Ini bukan repot, ini cinta.”
“Kalau begitu, cintamu hangat sekali, Mas. Seperti bubur ini.”
Mereka tertawa bersama, pelan dan lembut. Di tengah malam yang sederhana, di dalam rumah kontrakan kecil, cinta terasa besar dilukis dari suapan bubur, genggaman tangan, dan niat tulus untuk saling menjaga. Tak ada yang lebih indah dari itu.
Malam makin larut dan suara motor sesekali melintas di kejauhan, namun selebihnya sunyi.
Di kamar sederhana yang hanya diterangi lampu temaram, udara terasa hangat dan penuh ketenangan.
Sri sudah merebahkan tubuhnya di sisi ranjang, berbaring menghadap ke arah jendela yang tirainya bergoyang pelan tertiup angin malam.
Perutnya yang mulai membuncit membuat ia harus memilih posisi tidur yang nyaman.
Grilyanto masuk pelan-pelan ke kamar setelah memastikan pintu dan jendela rumah terkunci.
Ia melihat istrinya yang sudah terbaring dengan mata hampir terpejam.
Langkahnya pelan, seperti menghargai ketenangan yang tengah menyelimuti ruangan.
Ia melepas kemeja kerja dan menggantungnya di balik pintu, lalu naik ke tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi mereka berdua.
Tanpa berkata apa-apa, Grilyanto membalik tubuhnya dan menghadap Sri.
Tangan kirinya mengusap lembut rambut istrinya yang jatuh ke pelipis. Sri membuka matanya perlahan, menyambut tatapan suaminya yang penuh kasih.
“Mas,” ucapnya pelan.
Grilyanto tak menjawab dan hanya tersenyum, lalu perlahan menarik tubuh Sri ke dalam pelukannya.
Ia memeluknya erat namun lembut, memastikan Sri merasa hangat dan aman di dekapannya.
Kepalanya bertumpu di bahu Grilyanto, dan mereka terdiam lama dalam keheningan yang damai.
“Tidur, ya... Mama harus istirahat. Biar calon adik Pramesh juga tenang di dalam sana,” bisik Grilyanto.
Sri mengangguk kecil di dalam pelukan itu. Detak jantung Grilyanto terdengar jelas di telinganya
ritme yang ia kenal dan membuatnya merasa tenang.
Malam itu, tidak ada kata-kata yang panjang. Hanya kehangatan dua tubuh yang saling mencari, saling merawat.
Pelukan Grilyanto menjadi tempat paling nyaman bagi Sri, tempat ia melepas lelah, kekhawatiran, dan segala beban.
Di luar, angin masih bertiup pelan. Tapi di dalam kamar itu, cinta dan kehangatan membungkus mereka erat.
Pelan-pelan, mata Sri terpejam sempurna, dan Grilyanto menyusul sesaat kemudian, masih dengan tangan yang tak melepaskan tubuh istrinya.