Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akad
Beberapa bulan kemudian ....
Berkali-kali Naren menarik napas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan hanya untuk menenangkan detak jantungnya yang tidak stabil. Hari ini adalah hari yang sangat penting untuknya meski pernah gagal sekali.
Ia memandangi wajahnya pada pantulan cermin. Ia tampak gagah dan tampan dengan balutan jas putih di tubuhnya. Ia tersenyum dan menyentuh dadanya untuk merasai detak jantung tidak beraturan itu.
"Tenanglah Naren, ini bukan pertama kali untukmu," ucapnya pada diri sendiri.
Naren menoleh ketika mendengar seorang wanita menyebut namanya. Ia kembali tersenyum.
"Kamu sudah siap Nak?"
"Sudah Bu."
"Kalau begitu kita berangkat sekarang."
Naren mengangguk, mengikuti langkah ibunya keluar kamar. Dia akan melangsungkan akad di kediaman mempelai wanita tanpa adanya resepsi besar-besaran.
Hanya orang tua yang menemaninya, Naren menitipkan anak-anak pada Nadira terlebih dahulu.
"Ayah nggak menyangka kamu membuka hati secepat ini. Mau mencoba pernikahan kedua kalinya," ujar Arya di jok depan.
"Ibu juga. Tapi ibu senang kalau Naren senang. Semoga pernikahan kamu kali ini bertahan sampai maut memisahkan."
Naren mengaminkan ucapan ibunya dalam hati. Ia juga berharap ini pernikahan terakhirnya. Meski badai menyambangi, ia berharap istrinya mampu melalui dengan berjuang bersama.
Tarikan napas Naren semakin intens ketika mobil mulai memasuki lingkungan mempelai wanita. Di dalam sana sudah ada keluarga besar yang menantinya.
"Meski bukan yang pertama kamu masih saja gugup," ujar ibunya yang kini mengenggam tangan Naren.
Benar, Naren gugup padahal dia sudah pernah melakukan sebelumnya. Dia melewati beberapa keluarga sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan tidak terlalu besar. Ruangan itu telah dihias sedemikian rupa dan ada kursi untuk akad di antaranya.
Naren duduk tepat di depan penghulu dengan jantung hampir keluar dari tempat semestinya. Dinginnya ruangan tidak mencegah keringat keluar melalui pori-pori kecil kulit Naren.
"Waktu baik sudah tiba, apakah saudara Naren sudah siap?" tanya penghulu.
"Siap." Naren menganggukkan kepalanya. Menerima uluran tangan om dari mempelai wanita.
"Ananda Naren Aryasatya bin Arya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan keponakan kandung saya Arina Safira Kusuma binti Pram Kusuma dengan maskawin seperangkat alat shalat dan emas 10 gram, tunai."
Naren menarik napas panjang sebelum mengucapkan kabul dengan lantang. Setelah kalimat tersebut keluar dari mulutnya ia memiliki tanggung jawab baru sebagai seorang suami.
"Saya terima nikah dan kawinnya Arina Safira Kusuma binti Pram Kusuma dengan maskawin tersebut, tunai!"
"Sah?"
"Sah!"
Teriakan para saksi mengema di ruangan itu. Di mana mayoritasnya adalah keluarga besar Arina.
Tidak beberapa lama, mempelai perempuan pun muncul dari balik pintu di dampingi oleh tantenya. Mendekati Naren yang telah resmi menjadi suami. Wanita itu duduk dan menandatangi berkas sesuai prosedur dari penghulu.
Sesi foto dan penerimaan tamu hanya berlangsung beberapa jam, dan kini rumah yang tadinya ramai kembali sepi usai kepergian semua keluarga.
Yang tersisa hanya Naren dan Arina saja. Keduanya berada di dalam kamar dan duduk saling membelakangi di sisi ranjang.
"Aku nggak pernah membayangkan akan menikah dengan mas Naren."
"Aku pun sama," balas Naren.
Pria itu berdiri untuk mengelilingi tempat tidur yang telah dihias ala pengantin baru. Aroma mawar yang ada di atas tempat tidur memenuhi indera penciuman Naren.
"Aku lapar."
"Aku juga lapar," lirih Arina. "Tapi aku ganti baju dulu."
Naren mengangguk, sembari memperhatikan Arina yang berjalan menuju kamar mandi masih dengan gaun pengantin putihnya.
Dia pun segera berganti baju, berbekal dengan pakaian yang segaja ia bawa dari rumah tadi.
Naren turun ke lantai dasar untuk melihat-lihat sesuatu yang mungkin bisa di makan. Seharusnya ada karena pesta kecil baru selesai. Namun, sampai detik ini ia tidak menemukan apapun. Semuanya bersih seolah tidak pernah terjadi pernikahan di rumah besar tersebut.
"Nggak perlu heran Mas, bahkan jika bisa membawa isi rumah, maka mereka akan membawanya," celetuk Arina berjalan menuju dapur. "Makan mie instan saja mau? Kalau pesan akan membutuhkan waktu lama."
"Ada bahan makanan? Aku akan memasak."
"Kayaknya ada." Arina mengangguk ragu, ia tidak pernah memasak selama hidupnya, kecuali mie instan sebab tinggal diseduh. Semua dikerjakan oleh para pekerja yang hari ini semuanya sengaja di liburkan dan akan mulai bekerja lagi besok
Naren pun segera menjelajahi dapur dan menemukan bahan-bahan yang bisa diolah. Dia pun dengan telaten memotong sayuran dan mensuir daging ayam. Sampai tidak menyadari Arina sudah tidak ada di sekitarnya.
"Naren?"
Pergerakan tangan Naren berhenti mendengar seseorang memanggil namanya. Jelas itu bukan suara Arina, melainkan Shanaya.
"Kenapa kamu ada di rumah Arina?"
"Itu ...."
Naren tampak gugup, dia tidak tahu harus memulai dari mana. Tidak ada yang tahu pernikahannya dengan Arina selain orang tuanya. Hari ini dia izin cuti dari pekerjaan dengan alasan urusan penting, bukan mengatakan sejujurnya.
"Shanaya? Kok nggak bilang kalau mau mampir." Arina sama terkejutnya melihat Shanaya ada di dapur.
"Kalian nggak sedekat itu untuk saling mengunjungi bahkan sampai Naren memasak di dapur. Atau apa aku melewatkan sesuatu selama ini?" tanya Shanaya tanpa berkeinginan menjawab pertanyaan Arina.
"Nay aku bisa jelaskan semuanya."
Naren mengerjap, untuk pertama kalinya dia tidak bisa berpikir jernih di situasi genting seperti ini. Ia hanya memperhatikan bagaimana Arina menghampiri Shanaya, berusaha menjelaskan segalanya tetapi Shanaya menolak. Menghempaskan tangan Arina memudian meninggalkan dapur.
"Kejar Shanaya, Mas!" perintah Arina.
Naren pun meninggalkan pekerjaannya dan menyusul Shanaya yang telah berada di dalam mobil. Ia membuka pintu samping kemudi secara cepat dan duduk di sana. Sehingga menyaksikan air mata yang terus mengalir membasahi pipi wanita yang selama ini bersamanya. Wanita yang selalu membantunya.
"Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk nggak menyalahkan siapapun jika aku kecewa oleh harapanku. Tapi aku nggak bisa menepati janji itu melihat kamu ada di rumah sahabatku," lirih Shanaya.
"Dari banyaknya wanita kenapa harus Arina?" Shanaya menatap Naren yang menundukkan kepalanya. "Aku nggak pernah tahu kalau kalian sedekat ini, apa mungkin sudah memiliki hubungan? Kalau iya, sejak kapan?"
"Naren?"
"Iya aku dan Arina memiliki hubungan sejak hari ini. Arina adalah istriku, Nay."
"Fakta apa apalagi ini?" Shanaya tertawa meski air mata terus berjatuhan dan Naren seolah enggang menatapnya. Pria itu masih menunduk.
"Beberapa bulan lalu saat aku mengajakmu menikah, kamu menolak dengan alasan ingin fokus pada anak-anakmu. Apa saat itu kamu sudah menjalin hubungan diam-diam dengan Arina?"
Naren mengeleng. "Maaf karena membuatmu kecewa dan mungkin keputusanku melukai hatimu."
"Besar kecilnya luka dihatiku tergantung alasan kamu lebih memilih Arina daripada aku. Turunlah, aku ada meeting," perintah Shanaya pada Naren tanpa ingin menatap pria itu lagi.
.
.
.
.
.
TBC
nyesel senyesel nyeselnya ga tuh Nadira membuang naren .jarang" ada suami seperti naren di dunia nyata
arina sekarang udah jadi istri yang sesungguhnya
semoga kalian bahagia..
terimakasih ka susanti babnya panjangaaaaang banget
aku suka aku sukaaaaaa😍
kenapa sekarang pelit banget seh up nya,,
ayolah mas Naren bilang kalo tante Arina sekarang istri Ayah
jadi kalian juga boleh memanggil Tante Arin mama atau ibu atau bunda wes karepe kalian senyaman nya kalian aja lah
masa cuma satu bab doang,,satu lagi lah ka Santi
ayo mas Naren bantu istri cantikmu buat pecahin telor om bram
eeh masalah om bram maksudnya 🤭🤭
kan mau aku gondol mas Naren nya kalo kamu ga mau😄
persahabatan kalian memang the best