Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karma
Sementara itu, Naya yang ternyata sudah keluar dari mall, menatap kejadian itu dari kejauhan. Namun, ia tak mengejar Ratna. Matanya justru tertuju pada pemuda yang tadi hendak menolong Ratna, kini kembali menunggangi motornya.
"Itu… Dani?" desis Naya pelan, penuh heran.
Ratna, yang berlari menempuh jarak cukup jauh, akhirnya sampai di depan kosannya. Ia memecut langkah hingga menaiki tangga dan menyeruak masuk ke kamar unitnya. Dengan tergesa, Ratna masuk ke kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaiannya, dan mengguyur kepala hingga badan, disertai isak tangis yang menusuk hati.
"Kenapa sih nasibku begini? Berengs*k!" Ratna meraung, suaranya bergema di kamar mandi. Hampir satu jam lamanya ia terjebak dalam tangisan, sebelum akhirnya keluar dengan tubuh basah, hanya mengenakan celana dalam.
Meraih handuk, Ratna mulai mengeringkan rambut dan badannya. Ia lalu duduk di kursi meja belajar. Tangannya mengambil diary hitam, mata yang gelap menatap halaman kosong sejenak sebelum menuliskan sesuatu dengan sorot penuh dendam dan kesedihan.
"Kalian menuduhku memiliki ilmu hitam? Akan diperlihatkan ilmu hitam yang sebenarnya. Ucapan kalian akan berbalik. Perlakuan kalian akan menuai rasa sakit. Jika nyawa tidak sebanding dengan perlakuan kalian padaku selama ini, maka rasa sakit berkepanjangan lah yang menjadi balasan setimpal untuk kalian. Kevin, Kila, Bobi, Agam… kalian tunggu saja, luka kalian sedang aku pahat mulai sekarang."
......................
Tengah malam. Seperti biasa, Agam duduk di kursi panjang sambil berselonjor kaki, menikmati camilan. Ia masih menunggu Tantri dan Putra, yang katanya baru pulang dari luar kota membawa daftar pesanan Agam—salah satunya headset khusus gaming.
Perkiraan tiba sebenarnya pukul 22.00, tapi kabar dari mereka menyebut jalanan macet parah. Karena kamar terasa pengap, Agam memutuskan berpindah ke ruang tamu sambil menonton film di televisi.
Lampu rumah dimatikan, pencahayaan hanya tersisa dari layar TV. Saat asyik menikmati film action, mata Agam menyipit ketika tayangan tiba-tiba berpindah ke acara horor. Remot diambil, ia menyetel kembali film sebelumnya.
Anehnya, layar kembali menampilkan film horor. Merasa merinding, Agam buru-buru mengganti film, memilih genre komedi agar suasana lebih ringan. Namun siapa sangka, televisi tiba-tiba mati.
"Ini TV rusak?" gumamnya sambil menekan tombol on. Televisi kembali menyala, tapi yang tampak di layar adalah seorang wanita berambut panjang dengan wajah berlumuran darah. Wanita itu terkikik lirih.
Agam berlari tunggang-langgang, hendak menuju kamar di lantai atas. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu yang lebih mengejutkan—sebuah boneka jelangkung berdiri di tangga. Jantungnya hampir meloncat. Pemuda itu menjerit, berbalik untuk turun kembali ke lantai bawah, tetapi kakinya terpeleset, membuatnya terjatuh tersungkur di anak tangga.
Tubuhnya terguling, kepala terbentur ujung tangga hingga mengucurkan darah. Agam berusaha menahan rasa sakit, menegakkan tubuhnya sambil berjalan sempoyongan. Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram kakinya dari belakang. Sekali lagi ia terjatuh, badannya terempas ke dinding. Dalam sekejap, Agam kehilangan kesadaran.
......................
Keesokan paginya…
Telat membuat Ratna terburu-buru meninggalkan kos. Tasnya tersangkut di pagar, buku-buku berhamburan—termasuk buku diary hitam kesayangannya. Saat menunduk mengambilnya, dahi Ratna mengernyit. Noda merah itu kembali muncul di halaman yang semalam baru ia tulis.
Tak ingin larut dalam pikiran buruk, Ratna meraih buku itu dan membereskan isi tasnya dengan cepat. Setelah itu, ia berlari menuruni jalan menuju pangkalan ojek.
"Mang, cepetan, ya! Aku kesiangan nih!" seru Ratna tergesa-gesa.
"Siap, Neng!" Mang Ojek menjawab sambil menghidupkan motornya.
Motor melaju kencang, menembus gang-gang sempit agar tak tersangkut kemacetan di jalan utama akibat jam kantor. Ratna menarik napas panjang lega saat ojek tiba di depan gerbang SMK BINA KARYA, untungnya gerbang belum ditutup.
"Mang, makasih ya. Untung aja Mang tau jalan," ucap Ratna sambil menyerahkan ongkos.
"Sama-sama, Neng. Sekolah yang rajin, jangan pacaran dulu, ya," Mang Ojek terkekeh.
Ratna hanya tersenyum tipis. Boro-boro pacar, temen aja gak punya, batinnya.
Dengan gegas, ia memasuki sekolah. Tangan merogoh ponsel di saku rok, yang dari tadi bergetar. Saat membuka grup kelas, langkah Ratna mendadak terhenti. Sebuah kabar membuatnya menelan ludah, Agam masuk rumah sakit.
Ratna menutup mulutnya, dada berdebar. Entah kebetulan atau tidak, ia merasa apa yang ia tulis di diary mungkin membawa malapetaka bagi orang lain.
"Tapi gak mungkin…" gumamnya, nada suaranya tercekat. "Gak! Ini bukan salahku. Ini karma aja karena mereka jahat…"