Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Mengenal Senja
Mentari
Kenapa gantungan kunci milik Senja bisa ada di Pelangi?
Bagaimana bisa?
Kapan mereka bertemu?
Benar di kantor Pelangi?
Untuk apa Senja main ke kantor Pelangi?
Aku menatap tajam Senja yang tersenyum ramah penuh terima kasih pada Pelangi. Untuk apa kamu tersenyum lebar pada Pelangi?
Pasti kamu senang bukan dia datang dan membawakan gantungan kunci kesayanganmu itu?
"Ya ampun, aku pikir hilang loh. Terima kasih banyak ya Pelangi. Kamu sampai repot-repot mengantarkan malam-malam begini," kata Senja sambil tersenyum ramah.
"Tak apa, Ja. Sekalian jalan," balas Pelangi.
"Masuk dulu yuk! Mau coba es teh manis buatan Mentari tidak?" ajak Senja.
Eh apa kamu, Ja, kenapa malah menawarkan es teh manis buatanku pada Pelangi? Ih, malas ya, aku buatin es teh manis buat dia!
"Tak usah, terima kasih, Ja. Sudah malam, tak enak bertamu di rumah orang malam-malam," jawab Pelangi sambil tersenyum.
Ish, apa sih tuh cewek?
Sok iye?
Sok oke?
Sok cantik?
Kali ini aku tak tahan. Akan kubalas dia!
"Betul itu, Pelangi. Tak bagus dilihat tetangga kalau kamu main ke rumah orang malam-malam," balasku sambil tersenyum. Kuberikan senyum terbaikku agar Senja bisa lihat kalau senyumku jauh lebih cantik dari senyum Pelangi.
"Eh, begitu ya. Iya sih." Pelangi nampak tak enak hati. "Aku pamit dulu ya, Ja. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam," jawabku cepat.
"Terima kasih ya, Pelangi!" sahut Senja.
Cepat-cepat aku tutup pintu dan kukunci rapat sebelum cewek centil itu datang lagi. Senja sudah berbalik badan dan hendak masuk ke dalam kamarnya.
Aku berjalan cepat dan mendahului Senja yang sudah memegang gagang pintu kamarnya. "Kok bisa sih gantungan kunci kamu ada sama Pelangi?" tanyaku dengan tatapan penuh selidik.
Senja mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin terjatuh. Untunglah Pelangi temukan."
Aku masih menatap Senja dengan tatapan menyelidik dan kening berkerut. "Kamu... ke kantornya Pelangi? Untuk apa?"
Senja melepaskan tangannya dari gagang pintu dan balas menatapku. "Mau tau banget?"
"Iya," jawabku tanpa pikir panjang.
"Bayarannya apa?" tanya Senja balik. Sebuah senyum menyebalkan terukir di wajahnya. Aku perhatikan bulu halus di dagu Senja nampak mulai tumbuh dan belum ia cukur. Sepertinya, jarak kami terlalu dekat sampai aku bisa melihatnya belum bercukur. Aku mundur selangkah.
"Es teh manis?" tawarku.
"Hanya es teh manis?" Senja kembali tersenyum penuh maksud.
"Pecel ayam?" Aku terlalu penasaran kenapa Senja bisa ke kantor Pelangi. Untuk apa?
Senja menggelengkan kepalanya. "Kalau satu ciuman di pipiku bagaimana? Akan aku beritahu apa yang membuatmu penasaran sampai melakukan negosiasi denganku."
Cium?
Kemarin waktu kamu sakit, kamu sudah menciumku, Ja. Di bibir pula. Ish, rasanya aku ingin meneriakinya begitu.
"Tak usah! Aku tidak jadi penasaran!" Aku berbalik badan dan masuk ke dalam kamarku.
Kudengar tawa Senja saat aku menutup pintu. Dasar suami aneh!
.
.
.
"Bawa bekal! Jangan jajan terus!" Aku sudah berdandan rapi ketika kulihat sebuah kotak makan sudah tersedia untukku.
"Bekal? Kamu masak bekal untukku?" Kulihat isi di dalam kotak bekal. Ada ayam goreng dan sayur labu tumis. Rajin sekali ia membuatkanku bekal. Ada dua kotak bekal, apa satu lagi milik Senja? "Kamu juga bawa bekal?"
"Iya." Senja menaruh roti bakar yang ia buat di atas piring. Ia membuatnya manual di atas teflon. Bangun jam berapa dia sampai sudah menyiapkan semua ini?
"Kamu... bawa bekal juga? Bukankah kamu bisa pulang saja ke rumah? Toh jarak dari masjid ke rumah ini tidak jauh." Kuambil selembar roti dan kuoleskan dengan margarin lalu kutaburi gula pasir.
Senja hanya tersenyum kecil. "Suka-suka aku." Senja memperhatikanku makan roti dengan gula. Aku yakin, sebentar lagi, dia akan berkomentar. "Ada selai cokelat, Non, kenapa hanya pakai gula pasir dan margarin?"
"Suka-suka aku." Aku tertawa, Senja pun ikut tertawa.
Aku rasa, kini aku mulai mengenal Senja. Tinggal dengannya selama beberapa bulan ini membuatku makin tahu sifat aslinya. Senja bukanlah suami yang suka memaksa. Ia tak meminta haknya meski tahu kalau ia berhak menerimanya. Mungkin karena itu, aku jadi nyaman berada di dekatnya.
"Pegangan yang benar!"
Kalau di motor, ia menyuruhku harus berpegangan yang erat. "Iya." Kuturuti perintahnya, toh demi keselamatanku juga.
"Habiskan bekalnya! Jangan kebanyakan jajan!" Pesan Senja saat menurunkanku di depan kantor.
"Iya."
Senja mengulurkan tangannya, salah satu kebiasaan baru sejak aku bekerja yakni harus salim. Lagi-lagi aku menurut tanpa protes.
"Hati-hati di jalan, Ja."
.
.
.
Kantorku memang hanya di ruko biasa namun pekerjaanku sangat banyak, mungkin mengalahkan karyawan yang bekerja di gedung bertingkat. Bukan hanya harus input penjualan barang secara manual tapi juga mengoreksi invoice. Kadang, aku tak sempat makan siang. Bekal dari Senja menjadi penyelamatku.
Cepat-cepat kuselesaikan pekerjaanku, aku harus pulang cepat. Purnama akan datang bersama temannya untuk menginap. Aku sudah memberikan alamat rumah kami dan memintanya menunggu di mini market depan gang.
"Kita beli ayam bakar dulu untuk makan malam. Purnama pasti lapar seharian di jalan." Senja berhenti di tukang ayam bakar.
Aku tak berkata apa-apa. Andai Senja tahu bagaimana perasaanku. Entahlah, aku bingung menggambarkannya. Di satu sisi aku rindu dengan adikku satu-satunya namun di sisi lain aku masih mengingat percakapan Purnama dan Mas Bayu.
Setelah mandi dan membereskan rumah, aku dan Senja menjemput Purnama yang mengabarkan kalau sudah sampai di depan mini market. Senja berjalan di sampingku, dia mengoceh macam-macam namun tidak aku tanggapi. Aku sedang galau. Bagaimana aku harus bersikap nanti?
Secara tiba-tiba ada tangan yang mengacak rambutku. Aku menoleh, kulihat Senja tersenyum seakan meyakinkanku kalau ia akan selalu ada di sisiku menghadapi semua ini. "Senyumlah! Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja. Tunjukkan betapa kuat dan tegarnya dirimu!"
Ucapan Senja benar.
Aku tak boleh terlihat rapuh.
Aku harus tunjukkan kalau aku bisa melalui beberapa bulan ini dengan baik-baik saja meskipun hatiku sangat hancur dan terluka. Kupaksakan senyum di wajahku lalu kuanggukkan kepalaku.
"Nah, begitu. Nanti aku traktir jajan cilok!" bisik Senja membuat senyumku terukir lebar, tak lagi terpaksa.
Kupukul lengan Senja yang suka bersikap konyol. "Batagor juga," balasku.
"Oke. Kita borong cilok, batagor, cireng, cilung dan saudara-saudaranya," kata Senja.
Aku tertawa mendengar ucapan Senja. "Bisa mabuk aci dong kita? Ha... ha... ha...."
Tanpa kusadari, kami sudah sampai di depan mini market. Di depanku nampak Purnama dan temannya. Seketika tawa di wajahku menghilang.
Tidak bisa.
Aku tak bisa tersenyum.
Namun ucapan Senja membuat senyum di wajahku dengan cepat terukir.
"Senyum atau aku cium seperti malam itu?"
****
bisa jadi nanti poligaminitu nyta bukan. hanya menduakan bisa jadi menigakan atau mengempatkan rwpot kan..
Lanjut mizz 🥰
mentari udah siap 😂
tuhh Tari mnding kerja di perusahaan suami ajaa atau nonton sinetron azab di rumah 😂😂
bnyak org yg mngalami langsung kaku ga bs menolak akhirnya malah makin ditindas dan dilecehkan
Untung saja ada Senja, lingkungan dan Bos yg toxic udah tepat kmu dipecat ga usah lama2 dilingkungan kayak gt