"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Syifa naik menggunakan lift menuju lantai sembilan, tempat di mana ruang kerja Sadewa berada—dan juga Lina. Langkahnya tenang, tapi hatinya dipenuhi gejolak yang sulit dijelaskan. Dia tahu, saat ini Sadewa tidak berada di ruangannya. Itulah sebabnya Lina berani berbuat macam-macam. Rasa penasaran, kesal, dan cemas bercampur dalam pikirannya.
“Apakah Lina tahu kalau aku istrinya Mas Dewa?”
Tangannya meraih kenop pintu ruangan Lina dan mendorongnya perlahan. Pintu terbuka, memperlihatkan Lina yang tengah duduk santai sambil menatap layar komputer. Begitu melihat Syifa, Lina menoleh dengan senyum penuh kepura-puraan.
"Ada apa? Pak Dewa sedang keluar," kata Lina, bibirnya bergerak santai.
Namun, Syifa hanya diam. Dia tidak mendengar sepatah kata pun. Yang dia lihat hanya gerak mulut Lina. Dia mendekat, menatap Lina lurus dengan ekspresi serius.
"Tadi kamu menginjak alat bantu pendengaranku. Di mana alat itu sekarang? Kamu bawa?" tanya Syifa, suaranya tegas, matanya menyiratkan kekecewaan.
Lina mengerutkan dahi, lalu bangkit dan mengambil selembar kertas. Dia menuliskan sesuatu dengan santai, lalu mendorong kertas itu ke arah Syifa.
"Aku kira itu headset rusak, jadi aku buang ke tempat sampah depan. Sorry ya, aku nggak tahu kalau kamu tuli."
Lina tertawa, seperti mengejek. Seolah-olah penderitaan orang lain bisa dijadikan lelucon baginya.
Syifa memejamkan mata. Napasnya memburu, dadanya sesak. Dia menahan amarahnya sekuat tenaga. Dia tahu, berdebat dengan orang seperti Lina tidak ada gunanya. Tanpa berkata apapun, dia berbalik dan keluar dari ruangan, menuju lorong di luar. Tangannya mulai merogoh setiap tempat sampah yang dia lihat di sepanjang lorong, berharap alat bantu pendengarannya masih bisa diselamatkan.
"Syifa, ada apa?"
Panggilan itu tak sampai ke telinga Syifa. Dia tetap sibuk menyusuri tempat sampah satu per satu, bahkan tak menyadari kehadiran seseorang di dekatnya.
Sampai akhirnya, sebuah sentuhan lembut di bahunya membuatnya menoleh. Matanya membelalak ketika melihat Sadewa berdiri di sana, raut wajahnya mengisyaratkan kekhawatiran yang tulus.
"Apa yang kamu cari?" tanya Sadewa sambil menatap Syifa lekat.
Syifa menggeleng pelan, kemudian menunjuk ke telinganya. "Alat bantu pendengaranku hilang. Tadi jatuh di lift."
Sadewa mengernyitkan dahi. Matanya menatap penuh tanya pada tindakan istrinya yang mencari di tempat sampah. “Mengapa kamu mencarinya di tempat sampah?” tanyanya pelan, lalu mulai membentuk bahasa isyarat yang selama ini dia pelajari diam-diam demi memahami istrinya lebih baik.
Syifa terdiam, menunduk. Dia tidak ingin mengadu. Tidak ingin memperbesar masalah.
Tanpa sepatah kata pun dari Syifa, Sadewa sudah menarik kesimpulannya.
Tanpa banyak bicara, Sadewa berjalan cepat menuju ruang kerja Lina. Dia membuka pintu dengan satu tarikan, membuat Lina yang sedang duduk langsung terperanjat.
“Lina, kamu mengambil alat bantu pendengaran Syifa?” tanyanya tegas, tanpa basa-basi.
Lina tersenyum kaku. “Tidak, Pak. Saya tidak—”
“Jangan bohong!” potong Sadewa, suaranya meninggi.
Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Hendri. “Hendri, segera ambil rekaman CCTV di lift pagi ini. Aku ingin tahu siapa yang terakhir mengambil sesuatu dari lantai lift.”
Lina tampak panik. Dia menahan tangan Sadewa yang memegang ponsel.
“Iya! Saya mengambilnya! Tapi saya hanya bercanda!” katanya terburu-buru, nada suaranya berubah panik. Dia merogoh saku blazer-nya dan mengeluarkan alat bantu pendengaran itu—masih utuh, tapi tampak kotor.
Sadewa mengambilnya dengan cepat. Matanya menatap Lina dengan kemarahan yang tertahan.
“Bercanda?” katanya dengan suara menekan. “Kamu pikir menghina disabilitas orang lain itu lucu? Mengambil alat seseorang untuk mendengar, lalu menyembunyikannya dan tertawa? Itu bukan bercanda. Itu penghinaan.”
Lina tertunduk. Tapi Sadewa belum selesai.
“Dan satu hal lagi,” lanjutnya dengan nada semakin dingin. “Aku sudah tahu kamu yang menyuruh orang untuk menyebarkan foto dan membuat berita palsu itu. Jangan pernah mempermainkanku.”
"Saya tidak melakukan itu."
"Kamu sudah tiga tahun bekerja denganku. Kamu tahu, kalau aku paling tidak suka ada orang lain yang mencampuri kehidupan pribadiku. Aku tidak bisa memaafkanmu. Segera buat surat pengunduran dirimu. Secepatnya."
"Pak Dewa, beri saya satu kesempatan lagi."
"Tidak bisa. Kesalahan kamu kali ini, tidak bisa aku maafkan."
Sadewa menghela napas, lalu menoleh ke luar ruangan. Di ambang pintu, Syifa berdiri, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Sadewa berjalan mendekatinya, lalu menggenggam tangannya erat. Dia menyerahkan alat bantu pendengaran itu ke tangan istrinya dengan lembut.
“Maafkan aku terlambat,” bisiknya pelan.
kan pengen doubel bab gitu😊😊😊
semoga saling percaya dan saling menjaga... pondasi yang utama...