Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Aditya membuka kotak P3K kecil yang dibawakan pelayan. Dengan gerakan pelan tapi pasti, ia membersihkan luka di telapak tangan Raina. Alkohol menyentuh kulit, membuat Raina sedikit meringis.
“Maaf…” bisik Aditya sambil tetap fokus pada lukanya. Sentuhannya lembut, hati-hati—seperti seseorang yang sedang mencoba menebus kesalahan lewat hal paling sederhana.
Sesekali matanya mencuri pandang ke wajah Raina. Tapi perempuan itu masih enggan berbicara. Diamnya bukan lagi karena marah, melainkan karena perasaan-perasaan yang tak tahu harus ditaruh di mana.
Saat perban terakhir dililitkan, Aditya berhenti sejenak. Ia menatap tangan istrinya yang kini sudah terbalut rapi, lalu mengangkat wajahnya. Tatapannya serius—bukan menghakimi, tapi menunggu. Seperti seseorang yang sudah lama kehausan akan kejujuran dari perempuan di hadapannya.
“Rain…” panggilnya pelan, tapi dalam. “Kamu tahu aku bukan orang yang peka.Sekarang katakana letak salahnya.”
Raina menahan napas. Ia merasa tatapan itu menusuk, tapi bukan dengan cara yang menyakitkan—melainkan menembus masuk, ke sisi hatinya yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Aditya melanjutkan, “Aku cuma ingin tahu... kenapa kamu tiba-tiba diam? Kenapa mendadak enggan menatap suamimu...hem ? ”
Suasana berubah hening. Raina menarik napas panjang, menunduk. Air mata yang tadi ia tahan kembali menggenang.
“Karena aku takut,” jawabnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Aditya terdiam.
"Apa yang kamu takutkan?" tanya Aditya lembut, matanya menatap penuh perhatian.
"Aku takut... aku tidak bisa mengontrol emosiku saat tahu kalian bertemu lagi. Kamu dan Larasati..."
Raina menunduk. Suaranya nyaris tenggelam oleh perasaannya sendiri. "Maaf... Aku egois. Kemarin aku bilang baik-baik saja, tapi begitu lihat beritanya di televisi, ternyata... aku nggak bisa untuk tidak cemburu."
Tangisnya pecah. "Hiks..." Raina memeluk suaminya erat, seolah takut kehilangannya.
Aditya hanya tersenyum tipis. Ia menarik napas perlahan sebelum akhirnya berkata sambil menggoda, "Jadi kamu tiba-tiba marah karena... cemburu?"
Raina manyun, namun pelan-pelan mengangguk. Lucu dan manis.
"Dia..." gumam Raina lirih, "Dari segi apapun, dia lebih cantik. Dan... setara sama—"
Belum sempat Raina menyelesaikan kalimatnya, Aditya sudah lebih dulu menarik tengkuknya, lalu menciumnya lembut. Mesra. Penuh rasa memiliki.
Seolah melalui ciuman itu, ia ingin berkata:
"Kamu satu-satunya pemenang di hatiku."
"Sudah selesai kan, marahnya. Mas mau Mandi dulu,."Aditya mengacak pelan rambut Raina.
Raina menatap punggung suaminya yang berjalan meninggalkan taman.Kalau Di pikir-pikir sikapnya tadi bukankah terlalu ke kanak-kanakan.
Perasaan cemburu kadang begitu aneh.
Padahal, Raina pernah berhadapan langsung dengan Larasati—bahkan sempat bertengkar dengannya di kantor. Itu adalah kali pertama mereka bertemu, dan saat itu Raina cukup berani. Tapi anehnya, sekarang rasa takut justru datang hanya karena sebuah kabar. Bukan tatapan Larasati, bukan suara atau sikapnya—hanya berita, dan semuanya terasa menggetarkan.
Ke mana perginya keberanian yang dulu sempat muncul? Raina bingung sekali menimang perasaannya.
Sementara itu______
Langit sore masih menggantung kelabu, senja menorehkan warna-warna muram di langit kota—antara jingga yang meredup dan awan yang perlahan menelan cahaya. Frida melangkah keluar dari kantor, langkahnya pelan, seolah dipandu oleh keresahan yang tak tahu ujung. Matanya menelusuri sekitar, mencari sosok yang ia sebut sahabat. Raina, yang katanya akan menunggu di kafe seberang jalan, kini tak juga terlihat. Angin sore berembus lembut namun dingin, seperti menyampaikan firasat yang tak bisa dijelaskan. Panggilan telepon tak dijawab. Waktu seolah membeku, dan Frida, dengan napas yang mulai berat oleh kecewa dan lelah, memutuskan untuk pulang.
Namun takdir sering kali menyisipkan babak yang tak tertulis. Di tengah perjalanan pulang, tepat di bawah cahaya lampu jalan yang temaram dan dikelilingi senja yang semakin surut, ia berpapasan dengan seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Asisten Dika—sang asisten yang selalu tampak tenang, nyaris beku. Frida menunduk, ingin melewatkan pertemuan itu seperti angin lalu. Tapi suara itu menghentikannya.
"Tunggu," ucap Asisten Dika. Pendek, namun cukup untuk mengguncang diamnya.
Frida tak menoleh, namun langkahnya terhenti. Jantungnya berdetak pelan namun berat, seperti hujan yang belum jadi turun. Tak lama, pria itu mendekat, dan dengan suara tenang ia berkata,
"Kebetulan bertemu di sini. Ini... anting yang kamu maksud, bukan?"
Ia menyodorkan benda kecil berkilau, memantulkan cahaya senja yang hampir padam. Frida menatap, dan senyum perlahan terbit di wajahnya, seperti cahaya terakhir di ufuk barat yang tak rela hilang.
"Oh, akhirnya antingku ketemu juga... Sudah kuduga, pasti terjatuh di mobilmu. Terima kasih..."
Tangan mereka bersentuhan saat anting itu berpindah. Sebentar saja. Tapi dalam sekejap itu, waktu kembali diam. Tak ada suara, hanya angin senja yang berbisik lirih di antara mereka. Saat Frida sadar akan genggamannya, ia buru-buru melepaskannya. Dan seperti bayangan yang selalu memilih pergi, Dika melangkah menjauh—diam, tanpa menoleh, menghilang perlahan dalam cahaya sore yang pudar.
Frida berdiri sendiri. Di bawah langit senja yang kian merunduk, ia menyentuh telapak tangannya yang tadi bersentuhan. Hangatnya belum hilang. Tapi ada sesuatu yang lebih nyata dari sekadar sentuhan—kenangan yang datang diam-diam, dan perasaan yang tak pernah sempat dijelaskan.
📱 Raina
Fridaaa... maaf ya, tadi aku lupa ngabarin. Aku pulang duluan, dijemput Mas CEO 😅💼💕
📱 Frida
Kamu enak pulang dengan elegan, sedang aku menatap senja dengan kesepian dan bakso di hati yang kosong? 😤🌅🍜
📱 Raina
Maaf yaaa, aku lupa beneran! Tenang, aku traktir. Bakso urat jumbo, level pedas nangis, plus es teh manis ukuran ember. Deal? 😁
📱 Frida
Tawaran murahan. Aku bukan Frida tahun lalu. Sekarang aku premium edition. 💅🏻✨
📱 Raina
Waduh... Baiklah, kamu maunya apa nih, Yang Mulia? 😩
📱 Frida
Aku maunya minggu depan kamu nemenin aku ke mall. Kita keliling counter skincare, nyobain semua tester, terus bilang, “Hmm... saya pikir-pikir dulu deh.” Cuci muka gratis keliling mall. 🧴🛍️😌
📱 Raina
HAHAA kamu tuh yaa… calon duta hemat nasional. Tapi yaudah, aku ikut, asal kamu jangan pura-pura nyasar ke tempat diskon sepatu kayak waktu itu! 👟🧭🤣
📱 Frida
Deal. Tapi kamu yang jadi umpan ngobrol sama SPG-nya biar aku bisa lari-lari nyoba parfum mahal! 🏃♀️💨🌸
📱 Raina
Nggak jadi deh.
Jangan kayak orang susah! 😤 Spesial buat kamu, nanti aku traktir skincare beneran deh. Yang bukan tester, bukan sample, bukan sachet majalah! 😎💄✨
📱 Frida
Wah beneran??? Maaacih Ibu Raina 🥹✨ Sampai lupa kalau aku punya temen ber Uang .. 🐻💥🩷
Kamu tuh kadang kayak WiFi publik: sering ilang, tapi pas nyambung... bikin bahagia. 😭📶
📱 Raina
Wkakaka! Ya udah yaaa... aku pamit dulu. Mas CEO udah nungguin di kamar. Bye bye jomblooo~ 💋🚪💨
Raina buru-buru meletakkan ponselnya saat menyadari tatapan Aditya yang sejak tadi tak lepas dari wajahnya—dingin, tapi jelas menyimpan kesal. "Maaf, aku selesai," ucapnya pelan, berusaha membujuk Aditya.
Aditya tidak menjawab ia yang sedari sudah tidak sabar untuk berbagi selimut dengan Raina, segera menariknya.