Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Aula utama benteng Klan Liao terbakar di bagian atapnya. Cahaya api menari-nari di dinding kayu yang mulai lapuk, dan di tengah kepulan asap, dua sosok berdiri berhadapan.
Wei Lian, putri jenderal yang kembali dari kematian untuk membalik takdir.
Jenderal Lu Shengtai, mantan pahlawan yang kini menjadi pengkhianat demi ambisi akan ‘keadilan’ versi dirinya sendiri.
Angin malam menyusup dari sela-sela dinding yang rusak, membawa aroma kayu terbakar dan darah.
Jenderal Lu menatap Wei Lian dengan senyum menyudut. “Tak kusangka… seorang gadis bisa bertahan sejauh ini.”
Wei Lian menanggapi dengan dingin. “Sayangnya kau menyangka terlalu banyak sejak dulu.”
Mereka bergerak dalam waktu yang hampir bersamaan. Pedang mereka saling beradu—terciptalah denting nyaring yang menggema di aula terbuka itu.
Wei Lian lebih lincah. Jenderal Lu lebih kuat. Tapi kekuatan yang didorong dendam tidak pernah seimbang dengan kekuatan yang dilatih dengan tujuan.
Wei Lian menghindari setiap tebasan besar, lalu menyerang titik-titik kecil di tubuh lawan: bahu, pergelangan, sisi leher.
Setiap gerakan Wei Lian tak lagi seperti gadis istana, melainkan seperti bayangan jenderal besar—ayahnya—yang mengalir dalam darah.
Lu Shengtai mulai terdorong mundur.
“Kau pikir dengan membunuhku, semua akan selesai?”
Wei Lian berhenti sejenak. “Tidak. Tapi setidaknya, satu duri besar akan tercabut.”
Lu Shengtai tertawa pendek. “Lalu apa kau akan menjadi seperti aku? Membunuh atas nama kebenaran yang kau yakini?”
Wei Lian tak menjawab. Sebaliknya, ia berputar cepat dan menusukkan pedang ke bahu kiri lawan. Darah muncrat. Lu Shengtai menggeram, tapi tak jatuh.
Di luar aula, pasukan Hanbei sudah menguasai sebagian besar benteng. Mo Yichen berdiri di pintu masuk aula, namun tak mendekat.
Ia tahu… ini pertarungan pribadi.
—
Sementara itu di menara pengintai selatan benteng, Ah Rui, Zhao Jin, dan Yan’er menemukan ruang dokumen rahasia.
“Apa ini…?” tanya Yan’er.
Zhao Jin membuka satu gulungan, dan matanya membelalak. “Ini bukan hanya rencana penyerangan…”
Ah Rui menimpali cepat, “Ini daftar nama… pejabat tinggi dari Luoyang dan Hanbei yang secara diam-diam membantu pendanaan pasukan bayangan…”
Nama-nama terpampang jelas.
Termasuk… menteri tinggi kekaisaran Luoyang, salah satu penasihat utama ayah Mo Yichen, dan bahkan orang dalam istana Hanbei sendiri.
Ah Rui mendesis, “Jadi semua ini bukan rencana satu orang… Ini jaringan.”
Zhao Jin menyambar dokumen. “Bawa semua ke Mo Yichen. Ini bukan sekadar perang. Ini konspirasi lintas kekuasaan.”
—
Kembali ke aula utama
Lu Shengtai sudah mulai goyah. Luka di tubuhnya terlalu dalam. Nafasnya berat.
Wei Lian berdiri di depannya, pedang masih meneteskan darah.
“Apa kau punya permintaan terakhir?” tanya Wei Lian lirih.
Jenderal Lu tersenyum miring. “Jika kau membunuhku, kau akan menanggung dendam generasi murid-muridku.”
Wei Lian menatap mata pria tua itu.
“Aku sudah menanggung lebih dari satu kehidupan penuh dendam. Jika satu lagi harus kuangkat demi menghentikan rantai ini, maka biarlah begitu.”
Dan dalam satu gerakan cepat, ia menusukkan pedangnya tepat ke dada Jenderal Lu.
—
Jenderal Lu jatuh perlahan. Tak ada teriakan. Tak ada tangis. Hanya suara api dan angin.
Mo Yichen masuk perlahan, menatap Wei Lian yang masih menggenggam pedangnya.
Ia tak berkata apa pun. Hanya mendekat, lalu menggenggam tangan Wei Lian perlahan. Hangat. Teguh. Seolah dunia tak lagi berat jika mereka berdiri bersama.
Zhao Jin masuk tergesa membawa dokumen.
“Yang Mulia, Nona Wei… kita punya masalah yang lebih besar dari ini.”
Mo Yichen membuka gulungan—dan wajahnya mengeras.
Wei Lian menatapnya. “Apa itu?”
Mo Yichen menjawab pelan, namun dalam.
“Kita baru saja memotong tangan. Tapi kepalanya… masih bersembunyi di dalam istana.”
Bersambung