NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:9.3k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Mobil melaju perlahan di bawah guyuran hujan sore. Kabut tipis menempel di kaca jendela, membuat pemandangan luar tampak seperti lukisan buram yang bergerak.

Aditya sesekali melirik ke kursi penumpang, memperhatikan istrinya yang kini duduk bersandar dengan tangan mengelus perutnya yang belum menunjukkan tanda apa-apa, tapi menyimpan keajaiban yang luar biasa.

“Aku masih nggak percaya…,” gumam Aditya pelan sambil tersenyum. “Kita akan jadi orang tua.”

Risa memiringkan wajahnya, menatap suaminya dengan mata lembut.

“Aku juga belum percaya. Rasanya masih seperti mimpi. Tapi...,” ia menarik napas dalam-dalam dan matanya sedikit menyipit, “...aku lapar, Mas.”

Aditya mengangguk cepat, “Ya, kita langsung pulang ya. Di rumah ada ayam goreng—”

“Bukan itu,” potong Risa cepat. “Aku pengin… nasi kebuli.”

Mobil langsung terdiam. Hanya suara wiper yang masih mengusir sisa hujan dari kaca depan.

Aditya menoleh, “Nasi kebuli? Sekarang?”

Risa mengangguk, “Nasi kebuli kambing… yang bumbunya banyak, ada kismisnya… dagingnya empuk, terus ada acar timunnya sedikit. Aduh, mas, aku ngidam banget.”

Aditya terkekeh, lalu segera menyalakan lampu sein dan membelokkan mobil. “Baiklah, demi anak kita—dan demi istri cantikku yang ngidam—kita cari nasi kebuli sekarang.”

---

Perjalanan mereka tidak mudah. Hujan deras turun seperti langit sedang membasuh bumi, dan beberapa warung tutup karena sudah hampir malam.

Tapi Aditya tidak menyerah. Ia mengendarai mobil dengan penuh semangat, menyusuri jalan-jalan kecil, bertanya pada aplikasi ponsel, bahkan sempat bertanya ke tukang parkir yang sedang berteduh di bawah pohon.

Setelah hampir satu jam, mereka menemukan satu tempat kecil dengan lampu remang-remang dan aroma rempah-rempah yang menusuk hidung bahkan dari dalam mobil.

“Mas… itu… itu baunya! Nasi kebuli!” Risa berseru, nyaris melonjak dari kursinya.

Aditya tertawa. “Tunggu sini, biar aku aja yang beli. Jangan turun, kamu istirahat ya.”

Risa tersenyum manis. Ia membelai perutnya sambil bergumam pelan, “Dengar ya, Nak… Papa kamu itu pahlawan.”

---

Di dalam mobil, lima belas menit kemudian…

Risa duduk dengan piring di pangkuannya, sendok di tangan, dan mata yang berbinar-binar.

Ia menyendok nasi kebuli dengan hati-hati, meniupnya, lalu menyuapkan ke mulut. Matanya langsung menutup saat rasa bumbu menyentuh lidahnya.

“Masya Allah… ini dia,” bisiknya.

Aditya tersenyum di sampingnya, menggenggam tangan istrinya yang tak memegang sendok.

“Senang?”

“Senang banget,” jawab Risa pelan.

“Ini bukan soal makanan aja. Ini soal… kita. Kita yang akhirnya melewati semua badai itu, dan hari ini kita di sini. Bersama. Dalam hujan. Dengan nasi kebuli.”

Aditya mengangguk pelan. Ia tahu momen kecil seperti ini akan mereka kenang selamanya. Bukan pesta besar, bukan liburan mewah.

Tapi makan sederhana di mobil, di pinggir jalan, dengan istri hamil yang mengidam nasi kebuli.

Dan saat itulah, tanpa kata, mereka tahu: bahagia kadang datang dalam bentuk paling sederhana—sepinggan nasi hangat dan tangan yang selalu saling menggenggam.

Setelah menyuapkan suapan terakhir, Risa menyandarkan punggungnya pada jok mobil, matanya masih berbinar-binar penuh rasa puas.

Di sampingnya, Aditya tertawa kecil melihat wajah istrinya yang tampak begitu bahagia hanya karena sepinggan nasi kebuli.

“Aku sudah kenyang banget. Rasanya kayak pulang kampung ke Timur Tengah,” seloroh Risa, masih dengan tawa kecil di ujung suaranya.

“Berarti anak kita seleranya kuat juga,” jawab Aditya sambil merapikan plastik dan kotak makan kosong ke dalam kantong.

Saat Aditya turun dari mobil untuk mengembalikan tempat makan dan membayar, penjual kebuli

seorang pria paruh baya dengan jenggot putih dan senyum lebar mengangkat tangannya.

“Mas, sudah selesai makannya?” tanyanya ramah.

“Iya, Pak. Istriku senang sekali. Ini uangnya, ya,” ujar Aditya sambil menyodorkan lembaran uang ke tangan penjual itu.

Namun pria itu menggeleng lembut. “Tidak usah, Mas. Gratis saja. Saya lihat dari tadi, Mas dan Mbak itu baik, wajahnya tulus. Dan Mbaknya itu lagi hamil, kan?”

Aditya tampak terkejut. “Tapi, Pak…”

“Rezeki nggak selalu harus datang dari uang, Mas. Doa ibu hamil itu mustajab,” ucap pria itu sambil menepuk bahu Aditya dengan lembut.

“Bilang sama istri Mas, semoga sehat terus kandungannya. Saya ikhlas. Saya senang lihat orang baik seperti kalian.”

Aditya terdiam. Matanya sedikit berkaca, dan hatinya terasa hangat.

“Terima kasih, Pak… Terima kasih banyak.”

Ketika ia kembali ke dalam mobil dan menceritakan semuanya kepada Risa, air mata Risa langsung menetes tanpa bisa ia tahan.

“Mas… dunia ini masih punya banyak orang baik, ya…”

Aditya mengangguk, menggenggam tangan istrinya erat.

“Iya. Dan sekarang, kita harus jadi salah satu dari mereka juga.”

Di balik hujan yang mulai reda, mobil mereka kembali melaju pelan menuju rumah.

Tapi hati mereka penuh kehangatan. Bukan karena nasi kebuli semata—tapi karena harapan, kebaikan, dan cinta yang sederhana namun nyata.

Sesampainya di rumah, hujan baru saja benar-benar reda.

Sisa rintik masih menempel di dedaunan, dan angin malam berhembus lembut menyapa teras kecil rumah mereka.

Lampu-lampu luar memantulkan cahaya temaram yang menenangkan.

Aditya mematikan mesin mobil dan segera bergegas ke sisi penumpang.

Ia membuka pintu, lalu tanpa berkata apa-apa, langsung membungkuk dan mengangkat tubuh Risa ke dalam gendongannya.

“Mas… bisa aku jalan sendiri,” gumam Risa pelan, meski senyum manisnya tak bisa disembunyikan.

“Sstt… penumpang spesial seperti kamu tidak boleh kecapekan,” bisik Aditya lembut di telinganya.

Risa menyandarkan kepala di dada Aditya. Jantung pria itu masih berdegup kencang seperti dulu, seperti malam pertama mereka pulang sebagai suami istri.

Tapi kini, ada kehidupan kecil yang ikut berdetak dalam tubuh Risa. Mereka bukan hanya suami dan istri, mereka akan menjadi orang tua.

Langkah demi langkah, Aditya membopong istrinya masuk melewati ruang tamu dan langsung menuju kamar tidur mereka.

Ia menurunkan Risa perlahan ke atas ranjang, memastikan bantal dan selimutnya nyaman.

“Tidur, ya? Aku tahu kamu lelah,” ujar Aditya, menyibakkan rambut Risa dari dahinya.

Risa memandang wajah suaminya yang kini sudah lebih tabah, lebih tenang, dan jauh lebih dewasa. Wajah yang pernah remuk, tapi kini penuh harapan.

“Mas…”

“Hmm?”

“Terima kasih… untuk tidak pernah menyerah menjaga aku…”

Aditya tersenyum, lalu mendaratkan kecupan lembut di kening Risa.

“Aku yang harusnya berterima kasih. Karena kamu tidak pernah takut melihat luka-luka ini… dan mencintai aku, sepenuhnya.”

Di kamar itu, mereka saling menatap. Tak perlu banyak kata. Cinta mereka sudah bicara.

Pelan-pelan, Risa memejamkan mata, dan Aditya duduk di sisi ranjang sambil memegangi tangan istrinya.

Ia akan menunggu sampai istrinya benar-benar terlelap—seperti malam-malam sebelumnya, hanya saja kini, mereka sedang menunggu keajaiban yang lebih besar.

1
gojam Mariput
lanjut Thor, buat Elyas dpt karma yg lebih pedih dari kelakuan iblisnya.
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!