Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28.
Mentari pagi mulai meninggi, menyinari lapangan hijau yang masih basah oleh embun. Udara segar pagi hari masih terasa saat sekelompok ibu-ibu Persit duduk beristirahat di trotoar yang mengelilingi lapangan setelah melakukan senam bersama. Mereka duduk bersila atau selonjoran, sambil mengipasi wajah dengan tangan dan handuk kecil. Suasana akrab dan riuh tawa mengiringi obrolan ringan mereka tentang anak, rumah, dan kehidupan sebagai istri prajurit.
Zahra, yang mengenakan kaus olahraga berlogo Persit dan celana training abu-abu, duduk agak di tengah-tengah mereka. Pipi Zahra sedikit memerah karena kelelahan, namun ia tetap tersenyum, menanggapi sapaan dan ajakan ngobrol dari para istri tentara lain yang kini mulai akrab dengannya. Ini adalah pertama kalinya Zahra merasa diterima di lingkungan yang asing ini, dan itu membuat hatinya hangat.
“Zahra, kamu kelihatan lebih sehat sekarang,” ujar salah satu Persit bernama Bu Dita sambil menyodorkan botol minum ke arah Zahra.
“Iya, alhamdulillah bu... waktu itu cuma kecapekan aja, mungkin karena belum terbiasa dengan ritme di sini,” jawab Zahra sambil tersenyum.
“Eh, tapi kamu tahu nggak?” celetuk Bu Ina yang duduk di sampingnya, matanya berbinar penuh rasa ingin berbagi cerita. “Waktu kamu pingsan beberapa hari lalu itu, Danki Samudera langsung panik, lho.”
Zahra langsung menoleh, alisnya terangkat. “Mas Samudera... panik?”
“Iya!” sambung Bu Ina cepat, seolah tak ingin dilewatkan satu detik pun. “Aku lihat sendiri. Dia Nggak nunggu-nunggu, dia langsung gendong kamu ke klinik. Padahal banyak prajurit di situ, tapi Danki nggak nyuruh siapa-siapa, malah dia sendiri yang bawa kamu.”
"ya wajarlah bu Danki sendiri yang gendong istrinya" celetuk Bu Niken.
"hehehe iya sih"
“Waktu itu wajahnya kelihatan banget khawatirnya,” timpal Bu Sari, yang juga berada di lokasi kejadian saat Zahra pingsan. “Biasanya, kan, wajahnya tuh datar-datar aja ya? Dingin banget. Tapi waktu kamu jatuh, langsung berubah. Kelihatan banget mukanya pucat dan panik.”
Zahra terdiam. Senyumnya perlahan memudar berganti dengan ekspresi bingung bercampur haru. Ia tak menyangka, pria yang selama ini begitu dingin dan terkesan tak peduli ternyata... memperhatikannya juga.
Suasana di sekitar Zahra langsung berubah jadi hangat penuh godaan kecil. Beberapa Persit lain menatap Zahra sambil tersenyum penuh arti.
“Cieee... ternyata suaminya perhatian juga,” goda Bu Rina sambil mengedipkan mata.
Zahra tertawa kecil, tapi wajahnya masih menunjukkan ketidakpercayaan. “Tapi... dia nggak bilang apa-apa sama aku soal itu.”
“Yah, laki-laki... mana suka ngomong soal perasaan. Tapi lihat aja dari tindakannya, Ra. Kamu itu disayang, cuma mungkin dia belum tahu caranya menunjukkan rasa itu.”
Zahra menggigit bibir bawahnya, menatap ke arah lapangan yang mulai sepi. Hatinya sedikit bergolak. Benarkah selama ini Samudera diam-diam memperhatikannya? Bahkan khawatir padanya?
Kata-kata para Persit itu terngiang di kepalanya. dan kini membuat hatinya sedikit menghangat.
***
"yah tolong sih bilang mbak Zahra suruh nelpon Juan yah. " pinta Zera pada ayahnya yang duduk di sofa ruang tamu. Zulhan yanga tengah membaca koran melihat kearah putri kesayangannya itu,
"kenapa nyuruh mbakmu nelpon Juan, kenapa nggak kamu sendiri saja yang nelpon suami kamu"
"masalahnya Juan nggak angkat yah, pasti kalau mbak Zahra nelpon di angkat" ucap Zera mengadu pada ayahnya.
"sudah lah Zera, kamu nggak usah mikirin suami kamu. dia pergi atas kemauannya sendiri" ucap Zulhan.
"yah nggak bisa begitu, dia suamiku. ayah mau aku jadi omongan orang karena suamiku pergi dari rumah"
Zulhan diam saja mendengar nada memelas putrinya tersebut.
"ini semua karena mbakmu, lihat ayah pasti bakal memarahi dia"
"kenapa harus Zahra yang ayah marahi, seharusnya Zera yang ayah marahi. Zera yang sudah merebut Juan dari Zahra" ucap Ibu dari Zahra.
"ibu nih apa-apaan. kenapa malah membela Zahra"
"ya jelas ibu bela yah. Zahra nggak tahu apa-apa dan ayah salahkan" ucap Farida membela Zahra.
"sudah-sudah kenapa kalian jadi bertengkar. ayah aku mohon telpon mbak Zahra. minta dia menelpon Juan dan membujuk Juan agar pulang" ucap Zahra memohon.
Zulhan menghela napas berat, lalu meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya ke atas meja. Sorot matanya berubah tajam, menatap ke arah istrinya, Farida, dan sesekali melirik Zera yang kini duduk dengan ekspresi sebal.
"Ayah capek dengan semua ini," katanya dingin. "Masalah di rumah ini nggak pernah beres. Dari dulu, sejak Zahra balik ke rumah ini, selalu ada saja masalah. dan sekarang dia tak di rumah saja juga buat masalah untuk adiknya"
Farida langsung menatap suaminya dengan wajah tak percaya. "Jadi sekarang salah Zahra lagi? Zahra itu cuma diam, dia bahkan nggak pernah ikut campur urusan Zera dan Juan!"
Zulhan berdiri dari duduknya. Bahunya naik-turun menahan emosi. "Kamu pikir ayah nggak lihat? Sejak Juan ke rumah ini tatapan Zahra masih tertuju pada suami adiknya bu! Kamu pikir ayah bodoh? Zahra itu masih menyukai Juan bahkan dia diam saja saat Juan curi pandang padanya, Juan kabur entah ke mana. Siapa lagi yang bisa bikin dia pergi kalau bukan karena perasaan dia yang belum selesai sama Zahra?"
"Astaghfirullah, Yah..." Farida memejamkan matanya, mencoba meredam emosi. "Zahra itu kakak Zera, wajar kalau Zahra masih menyukai Juan, Juan itu dulu pacarnya yah dan putus secara tiba-tiba karena Zera yang entah bisa tidur dengan Juan padahal itu pacar kakaknya. Kenapa semua disalahin ke Zahra terus?"
Zera yang duduk di sebelah ayahnya hanya terdiam, matanya mengarah ke bawah, entah karena rasa bersalah atau memang sedang memainkan perannya sebagai korban.
"Tapi Zahra itu harus tahu diri bu, sekarang Juan itu suami adiknya!" bentak Zulhan lagi. "Dia harus sadar diri kalau keberadaannya bikin masalah! Kalau dia sayang sama adiknya, dia seharusnya pergi jauh-jauh, nggak usah terus-menerus jadi bayangan masa lalu Juan."
"Sudah Yah, cukup!" potong Farida dengan suara bergetar. "Zahra anak kita juga. Jangan karena kamu terlalu membela Zera, kamu jadi buta bahwa sebenarnya Zera yang mengambil milik orang. Zahra itu pernah tunangan dengan Juan, Zera yang masuk di tengah mereka."
“Zera anak ayah juga, dan dia istri sah Juan sekarang!” balas Zulhan cepat. “Dan sebagai istri, Zera pantas didampingi, bukan ditinggal begitu saja. Kalau Zahra benar-benar nggak salah, kenapa Juan kabur? Kenapa dia nggak bisa tenang di rumah ini?”
Zera menyentuh lengan ayahnya dengan lembut, mencoba menenangkan. "Yah... tolong, telponin aja mbak Zahra, yah. Minta tolong dia, aku mohon. Mungkin aja dia bisa bantu."
Zulhan diam sejenak, lalu mengangguk. Dia mengambil ponselnya dan mulai menekan nomor. Di seberangnya, Farida menatap dengan wajah penuh luka, kecewa melihat suaminya lebih memilih menyalahkan anak perempuan yang tak pernah membela dirinya sendiri.
°°°