Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Sarapan Sederhana Penuh Makna
Sebutir peluru bersarang di bingkai foto kayu tepat di samping telinga Fatimah, mengirimkan serpihan kaca yang menyayat pipinya yang tertutup kain. Fatimah mematung dengan jantung yang seolah berhenti berdetak sementara aroma mesiu memenuhi ruangan rahasia yang pengap itu.
Ia tidak berani menoleh ke belakang untuk melihat siapa sosok yang sedang menodongkan senjata api ke arahnya dengan tangan gemetar. Kegelapan ruangan hanya menyisakan siluet samar dari seseorang yang memiliki napas tersengal dan penuh amarah yang tertahan.
"Berhenti di sana atau peluru berikutnya akan menembus batok kepalamu, pengkhianat!" teriak suara itu dengan nada yang sangat serak dan penuh kepedihan.
Fatimah perlahan mengangkat kedua tangannya ke udara, mencoba menunjukkan bahwa ia tidak memegang senjata apapun selain kunci tua di jemarinya. Ia mengenali suara itu, sebuah suara yang seharusnya sedang berjuang di dasar sungai namun kini berdiri nyata di belakangnya.
"Tuan Arfan? Apakah itu Anda?" tanya Fatimah dengan suara yang bergetar hebat karena rasa tidak percaya sekaligus lega yang luar biasa.
Sosok di belakangnya terdiam sejenak, laras senjata yang tadinya menempel di kepala Fatimah perlahan mulai turun dan menjauh. Cahaya bulan yang masuk dari ventilasi kecil menyinari wajah pria itu yang penuh dengan luka lecet dan lumpur sungai yang sudah mengering.
Arfan tersungkur ke lantai dengan tubuh yang sangat lemah, senjata apinya terlepas begitu saja dari genggaman tangannya yang sudah tidak bertenaga. Fatimah segera berbalik dan berlutut di samping pria itu, mengabaikan rasa takutnya demi menolong pelindung yang ia kira sudah tiada.
"Bagaimana Anda bisa sampai ke sini dalam kondisi seperti ini, Tuan?" bisik Fatimah sambil mencoba menyangga tubuh Arfan yang terasa sangat dingin.
"Aku mengikuti petunjuk yang kau bawa, Fatimah, kunci itu adalah pemancar yang menuntunku pulang ke tempat persembunyian ini," jawab Arfan dengan napas yang terputus-putus.
Fatimah melihat baju Arfan yang robek besar di bagian perut, memperlihatkan luka dalam yang terus mengalirkan darah segar ke lantai kayu. Ia segera merobek bagian bawah cadar cadangannya untuk membebat luka tersebut agar Arfan tidak kehilangan lebih banyak kesadaran.
Ruangan itu ternyata adalah kantor lama ayah Arfan yang sengaja disamarkan menjadi bagian dari gudang pasar tradisional yang sudah lama ditinggalkan. Arfan menunjuk ke sebuah lemari kecil di sudut ruangan yang berisi kotak pertolongan pertama dan beberapa persediaan makanan kaleng yang sudah tua.
Fatimah bergerak cepat mengambil kotak tersebut, tangannya dengan cekatan membersihkan luka Arfan meskipun ia sendiri sedang menahan rasa perih di pipinya. Suasana hening malam itu hanya diisi oleh suara rintihan kecil Arfan dan deru angin yang masuk melalui celah pintu besi yang tidak tertutup rapat.
"Maafkan saya karena hampir menembakmu, saya pikir kau adalah salah satu dari pesuruh Baskara yang ingin mencuri berkas ini," ucap Arfan sambil memejamkan mata menahan sakit.
"Tidak apa-apa, Tuan, yang paling penting sekarang adalah Anda harus tetap terjaga sampai luka ini benar-benar tertutup," balas Fatimah dengan nada yang sangat khawatir.
"Fatimah, jika sesuatu terjadi padaku malam ini, kau harus membawa berkas di balik foto ayahku itu kepada hakim yang jujur," pinta Arfan dengan tatapan mata yang mulai meredup.
Fatimah menggelengkan kepalanya dengan kuat, ia tidak mau mendengar kalimat yang terdengar seperti wasiat terakhir dari pria yang sudah mempertaruhkan nyawa untuknya. Ia terus menekan luka Arfan dengan kain hingga darahnya mulai berhenti merembes, menunjukkan tanda bahwa Arfan masih memiliki peluang untuk bertahan hidup.
Matahari mulai menampakkan sinarnya dari celah ventilasi, menandakan bahwa malam penuh teror itu telah berakhir dan berganti dengan pagi yang membawa secercah harapan. Fatimah menemukan sebuah kompor kecil yang masih berfungsi dan beberapa bungkus mie instan serta beras di dalam lemari persediaan.
Ia mulai memasak sarapan sederhana dengan bahan seadanya, berusaha memberikan asupan tenaga bagi Arfan yang mulai tersadar dari pingsan singkatnya. Bau harum masakan sederhana itu memenuhi ruangan rahasia, menciptakan suasana hangat yang sangat kontras dengan kedinginan yang mereka lalui semalam.
"Makanlah sedikit, Tuan, ini hanya nasi putih dan mie instan tanpa lauk, tapi ini akan membantu Anda pulih lebih cepat," ujar Fatimah sambil menyuapi Arfan perlahan.
Arfan menerima suapan itu dengan canggung, ini adalah pertama kalinya seseorang merawatnya dengan begitu tulus sejak kematian Luna yang tragis. Rasa hangat dari makanan sederhana itu seolah menjalar ke seluruh pembuluh darahnya, memberikan kekuatan baru yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Terima kasih, Fatimah, sarapan ini terasa lebih nikmat daripada perjamuan mewah yang biasa aku datangi di kantor hukum," ungkap Arfan dengan senyum tipis yang tulus.
Mereka duduk bersandar di dinding kayu yang lapuk, menikmati sarapan pagi di tengah kemiskinan dan persembunyian yang sangat mencekam bagi orang biasa. Fatimah merasa bahwa di dalam ruangan sempit ini, identitas asli mereka sebagai Zahra dan Arfan sang pengacara hebat seolah melebur menjadi satu.
Arfan mulai bercerita tentang masa kecilnya di rumah ini sebelum ayahnya difitnah oleh keluarga Al Fahri hingga berakhir dengan kehancuran total. Ia menjelaskan bahwa kunci yang dibawa Fatimah adalah satu-satunya alat untuk membuka brankas rahasia yang berisi bukti asli kepemilikan tanah panti asuhan.
Fatimah mendengarkan dengan seksama, ia mulai memahami bahwa perjuangan mereka bukan lagi sekadar soal melarikan diri dari kejaran musuh yang haus darah. Mereka sedang memegang kunci kebenaran yang bisa meruntuhkan dinasti kejahatan yang selama ini berkuasa dengan uang dan kekerasan di kota ini.
"Apakah kau takut jika suatu saat nanti dunia tahu siapa kau sebenarnya, Zahra?" tanya Arfan secara tiba-tiba yang membuat Fatimah tersedak.
Fatimah terdiam, ia menatap butiran nasi yang tersisa di piringnya dengan perasaan yang campur aduk antara rasa takut dan kerinduan akan identitas lamanya. Ia sadar bahwa Arfan sudah mengetahui rahasianya sejak awal, namun pria itu memilih untuk menjaga rahasia tersebut dengan sangat rapat.
"Saya lebih takut jika saya kehilangan orang-orang baik yang saya sayangi hanya karena nama besar yang saya sandang," jawab Fatimah dengan nada bicara yang sangat lirih.
Arfan meraih tangan Fatimah yang masih memegang sendok kayu, memberikan sebuah remasan pelan yang mengisyaratkan bahwa ia akan selalu ada di sampingnya. Kehangatan itu meresap ke dalam hati Fatimah, menghapus segala keraguan yang selama ini menghantui setiap langkah kakinya di panti asuhan.
Namun, momen tenang itu tidak berlangsung lama ketika suara derap langkah kaki banyak orang mulai terdengar mendekati pintu besi kantor rahasia tersebut. Arfan segera meraih kembali senjata apinya meskipun tubuhnya masih sangat lunglai dan tidak berdaya untuk bertarung dalam jarak dekat.
Fatimah berdiri di depan Arfan, mencoba melindunginya dengan tubuh kecilnya saat pintu besi itu mulai digedor dengan sangat keras dari arah luar pasar. Suara teriakan massa yang marah terdengar memanggil-manggil nama Fatimah dengan berbagai tuduhan keji yang tidak pernah ia lakukan selama ini.
"Keluar kau wanita bercadar pembawa sial! Kembalikan harta panti yang kau curi semalam atau kami akan membakar tempat ini!" teriak pemimpin massa dari luar.
Fatimah terkejut mendengar tuduhan itu, ia tidak mengerti bagaimana warga pasar bisa mengetahui keberadaannya dan menuduhnya melakukan pencurian besar. Ia menatap Arfan dengan pandangan bingung, sementara Arfan hanya bisa mengertakkan gigi karena tahu mereka sedang dijebak oleh rencana licik Baskara.
Pintu besi itu mulai melengkung akibat hantaman benda tumpul yang sangat berat, debu-debu dari langit-langit berjatuhan menimpa piring sarapan mereka yang masih tersisa. Fatimah meraih tas berisi berkas penting dan kunci tua itu, bersiap untuk menghadapi amukan massa yang sudah terhasut oleh fitnah kejam.
"Tuan Arfan, tetaplah di sini dan jangan keluar apa pun yang terjadi pada saya di luar sana," perintah Fatimah dengan sorot mata yang sangat tajam dan penuh keberanian.
"Jangan bodoh, Fatimah! Mereka akan membunuhmu tanpa ampun jika kau keluar sekarang tanpa perlindungan hukum!" cegah Arfan sambil berusaha berdiri tegak.
Fatimah tidak mempedulikan peringatan itu, ia menarik napas panjang dan mulai membuka selot pintu besi yang sudah hampir terlepas dari engselnya yang sudah berkarat. Saat pintu itu terbuka, ribuan pasang mata menatapnya dengan penuh kebencian sementara api dari obor-obor warga mulai menjilat udara pagi yang seharusnya tenang.