berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Satya tak berhenti menatap Jessica dari samping. Wanita itu tampak begitu tenang dan khusyuk. Dan saat Jessica membuka mata lalu menoleh ke arahnya membuat tatapan mereka bertemu, tak ada niatan baginya mengalah dengan segera membuang muka atau mengalihkan pandangan. Justru sebaliknya, Jessica segera membuang muka setelah beberapa detik terperangkap pada jelaganya.
"A- apa yang kau lihat?!" sungut Jessica. "Bantu aku berdiri!" ucapnya kemudian.
Satya hanya diam kemudian bangkit berdiri membantu Jessica.
"Kau tidak boleh protes karena aku seperti ini karena dirimu. Kau sendiri yang bilang akan bertanggung jawab," ucap Jessica ketus. Meski mengatakan itu, raut wajahnya tak dapat menipu, tak dapat mengelabui Satya bahwa dirinya tengah menahan rasa malu. Terbukti dari Jessica yang tak berani menatapnya, hanya sesekali meliriknya sekilas.
"Apa kau yakin?" timpal Satya yang seketika membuat mata Jessica melebar. Jessica pun reflek menoleh menatapnya seakan mencari maksud dari ucapannya sebelumnya.
Satya tetap diam dan pada akhirnya mengajak Jessica kembali jika keperluannya di sana sudah selesai. la berjalan lebih dulu namun langkahnya terhenti saat Jessica memanggil.
"Tu- tunggu, apa maksudmu?" tanya Jessica dengan suara pelan bahkan nyaris menghilang di akhir kalimat. Wajahnya tampak pucat dan cemas walau terlihat samar. la merasa sebenarnya Satya telah mengetahui sesuatu bahkan menyembunyikan sesuatu.
Satya hanya diam tak segera menjawab sampai akhirnya suaranya yang terdengar padat terdengar. " Tidak ada." Lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Jessica dengan tubuh meremang.
Pandangan Jessica tak teralihkan sedikitpun dari punggung Satya. Dirinya merasa Satya memiliki sisi lain yang tak pernah diketahuinya. Bukan karena mereka memang baru mengenal, tapi seakan Satya memang menyembunyikan sisi dirinya yang lain dari semua orang.
Satu tangan Satya masuk saku celana. Sebenarnya dirinya sudah menyadarinya sejak awal namun sengaja memilih diam karena ingin tahu apa tujuan Jessica sebenarnya. Dan sekarang, dirinya telah mendapat jawaban.
Sebelum memasuki restoran, seseorang telah memberitahunya bahwa secara diam-diam Jessica mengikutinya. Meski begitu Satya tetap diam tak berniat melakukan tindakan apapun sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi. la sempat mengira Jessica berniat menghabisi ibunya, tapi ia salah. Dan kini ia tahu apa tujuan Jessica sebenarnya. Dan tujuannya adalah sama, mereka memiliki tujuan serupa yaitu untuk menghabisi Raska.
***
Satya sampai di rumahnya setelah mengantar Jessica pulang ke rumah. la langsung mengantar Jessica pulang setelah dari makam. Tiba-tiba langkah Satya terhenti kala ia memasuki rumah dan mendapati sesuatu di atas meja teras. Berniat memastikan, ia pun melihat benda apakah itu. Dan saat selembar foto ayahnya telah berada di tangan, seketika matanya melebar.
Satya mengamati foto itu dalam diam dengan pikiran berkecamuk. Tanpa diberitahu pun, rasanya ia sudah tahu siapa pelaku yang melakukan ini. Jika bukan Raska, siapa lagi? Tiba-tiba ia pun menjadi cemas, apakah ibunya sudah melihat foto ini? batinnya. Mengambil seluruh lembar foto tersebut, dirinya segera mengetuk pintu menyadari pintu terkunci dari dalam.
"Bu, ini Satya," panggil Satya.
Di dalam rumah sendiri terlihat Shintia yang meringkuk tak sadarkan diri. Dirinya terlalu terpukul sampai akhirnya pingsan di mana dirinya masih di depan pintu.
Satya kembali mengetuk pintu dan memanggil sang ibu. Merasa cemas karena tak segera mendapat sahutan dari dalam rumah, Satya mengambil kunci cadangan dari bawah pot bunga di sudut teras.
"Ibu!" Satya begitu terkejut saat membuka pintu telah disambut ibunya yang tergeletak. la pun segera mengangkat tubuh Shintia kemudian merebahkannya ke sofa dan mencoba membangunkannya. "Bu, bangun, Bu." Ditepuknya kecil pipi Shintia berharap segera membuka mata. Tak segera mendapati sang ibu sadar, Satya yang berdiri di depan sofa dan tak melepas padangan sedikitpun dari sang ibu, meremas lembaran foto yang sebelumnya dimasukkan ke dalam saku celana. la bersumpah tak akan memaafkan Raska jika terjadi sesuatu dengan ibunya.
Sementara itu di tempat lain, terlihat dua orang yang berada dalam sebuah ruangan bernuansa temaram. Meski cuaca di luar cukup terang namun gorden jendela yang sengaja dibiarkan tertutup membuat ruangan tersebut tampak suram.
"Kau yakin tidak akan menyesal nanti?" Pria yang duduk di sofa sisi ruangan membuka suara sembari mengisap sebatang rokok pada apitan dua jarinya. Kepulan asap putih pun mengepul dari mulut. Mengetuk rokoknya pada pinggiran asbak, ia menoleh menatap punggung seorang pria yang saat ini berdiri di depan jendela kaca yang tertutup gorden warna abu.
Pria yang saat ini masih berdiri di depan jendela dalam diam, memejamkan mata sejenak kemudian berbalik menatap Tian. Dirinya sudah mengambil keputusan besar, keluar dari sel tahanan dengan bantuan Tian tanpa mengatakan apapun pada Shintia.
Tian mengedipkan sebelah mata dan menunjuk Yoga dengan rokok di tangan. "Kulihat dia benar-benar tergila-gila padamu, lo," ucapnya mengingatkan.
Yoga tetap tak membuka suara kemudian melangkah dan duduk di sebelah Tian. Mengambil sebatang rokok milik Tian diatas meja dan menyulutnya, kepulan asap rokok pun membumbung keluar dari mulut. Dirinya sudah memikirkan matang-matang langkah apa yang akan ia lakukan dan harusnya Tian diam. Pria itu hanya perlu melihatnya dan menggunakan kemampuannya jika dibutuhkan. Tidak apa merasakan sakit di awal, kecewa di awal, jika kedua rasa yang tak pernah manusia inginkan itu akan berlabuh pada sesuatu yang disebut kebahagiaan.
"Haish, terserah kau saja lah. Kau memang selalu punya rencana di balik apapun yang kau lakukan," kata Tian seraya bengkit dari duduknya dan melangkah keluar ruangan. "Aku mau cari udara segar, jika terjadi sesuatu panggil aku saja," ucapnya sebelum menutup pintu.
Yoga menatap pintu ruangan yang kini telah tertutup rapat. Kembali mengisap rokok di tangan, perhatiannya teralihkan pada asbak di hadapan. Asbak serupa yang ada di bar malam itu saat dirinya dengan sengaja membiarkan anak buah Raska mengambil gambar. Bahkan dirinya pun sengaja menggiring anak buah Raska ke sana.
"Sudah puas memandangi wajahnya?" Tian tertawa kecil setelah mengatakannya. Saat ini dirinya tengah duduk di depan kemudi sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari taman tempat Shintia biasa menghabiskan waktu jika tak memiliki kegiatan. Dan sama seperti waktu itu, ia menunggu Yoga yang diam-diam mengawasi Shintia. Yoga baru saja kembali setelah hampir satu jam mengawasi Shintia.
Yoga hanya melirik Tian lewat ekor mata dan tak berniat menyambungi godaan Tian. Sejak keluar dari penjara, Tian sudah seperti sopir pribadi yang akan menemaninya kemanapun.
"Rasanya aku menyesal telah keluar," ucap Yoga seraya menatap lurus ke depan.
"Haha, ayo lah. Aku hanya bercanda, Bung. Lagipula justru sebaliknya, harusnya kau berterima kasih padaku. Jika aku tak menghasutmu, kau mungkin akan jadi mayat di sana sebelum kau keluar," timpal Tian disertai tawa. Dirinya masih sama, tak berubah sejak terakhir kali Yoga bertemu. Mulutnya yang kerap bicara frontal sama sekali tak berubah seakan lupa usia.