NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 26: Marcopollo

Pagi hari saat mata masih terpejam dan alarm belum berbunyi, aku bisa mendengar suara ricuh yang begitu keras dari arah lantai bawah. Suaranya terdengar seperti sebuah pemberontakan, ditambah dengan meongan yang begitu brutal. Suara itu pasti dihasilkan oleh kucing liar yang dipungut oleh Michelle kemarin. Namanya adalah Marcopollo—tertulis dengan jelas pada bagian belakang mainan kalungnya yang berbentuk seperti koin itu.

Setelah mendapatkan suntikan obat dan juga vitamin dari dokter hewan, Michelle memintaku untuk menampungnya sebentar di rumah. Aku sempat menolak dengan dalih nggak punya pengalaman dalam mengurus hewan, serta menyuruhnya untuk mengurus kucing ini sendiri. Tapi, Michelle juga ikut menolak karena ibunya punya alergi terhadap bulu kucing. Sehingga, dia nggak bisa membawa kucing itu ke rumahnya, meskipun dia mau.

Karena tak punya pilihan lain, aku terpaksa menerima permintaan Michelle untuk membawa Marcopollo ke rumah. Saat perjalanan pulang, aku juga menyempatkan diri untuk membeli sebuah kandang dengan ukuran yang cukup besar untuk kucing ini. Tak lupa juga aku membeli sebungkus makanan kucing dengan kemasan 800 gram.

Keributan Marcopollo yang semakin menjadi-jadi memaksaku untuk segera bangun dan turun menuju lantai bawah. Sambil menuruni tangga dengan kesal, aku mematikan alarm yang seharusnya berdering sekitar 17 menit lagi.

*Gebraggg! Gebraggg! Gebraggg! Meonggg!*

Begitu sampai di lantai bawah, aku langsung melihat pemandangan Marcopollo yang sedang berusaha keluar dari kandang. Dia terlihat seperti seorang pemberontak yang tak ingin hidupnya berakhir di dalam kurungan sampai ajal menjemput. Kedua matanya yang berwarna kuning gelap itu menatap tajam ke arahku, seolah dia tak terima karena diletakkan di dalam kerangkeng.

“Hadeh, kau ini kenapa, sih? Pagi-pagi buta udah bikin gaduh aja.” Keluhku sambil berjongkok untuk mengamati kelakuan kucing mahal ini dengan saksama.

Kalau dilihat-lihat lagi, tadahan kotoran yang ada di bagian bawah kandangnya itu masih benar-benar bersih tak tersentuh. Itu artinya, kucing ini nggak dapat buang air kecil maupun buang air besar sepanjang malam tadi. Mungkin itulah mengapa dia jadi memberontak—karena ingin buang air di suatu tempat selain kandangnya.

Aku lantas membawa Marcopollo ke kebun belakang, lalu melepaskannya dari kandang tersebut. Benar saja, kucing itu pun langsung berlari dan mencari tempat yang tanahnya lumayan gembur, lalu membuang segala hajatnya di sana.

Saat sedang memantau Marcopollo yang sedang berkonsentrasi untuk mengeluarkan fesesnya, tiba-tiba saja handphone yang ada di saku celanaku berbunyi. Aku kemudian mengeluarkannya, lalu melihat siapa orang yang menelpon sepagi ini. Ternyata, orang itu adalah Michelle.

“Halo, Michelle?” Sapaku dengan nada yang terdengar agak malas begitu speaker handphone itu bersentuhan dengan telingaku.

“Halo, Pak Nael. Anda baru bangun, ya?” Tanya Michelle dengan suara yang terdengar seperti orang yang nggak enakan.

“Iya, nih. Kucingmu ribut banget pagi-pagi.” Aku menjawab dengan tatapan mata yang masih terfokus pada Marcopollo yang baru saja selesai buang hajat.

“Loh, ribut kenapa? Apa dia kesakitan lagi?” Tanya Michelle dengan nada yang terdengar risau.

“Nggak. Dia cuma mau eek aja. Sekarang aku lagi di kebun belakang, nih, buat mantengin si Marco. Takutnya, kalau ditinggalin, bisa habis tanah kebunku digali sama dia.”

“Hahahaha, begitu, ya. Senang bisa dengar kalau Marco baik-baik aja.” Ucap Michelle dengan penuh kelegaan dalam suaranya. “Ngomong-ngomong, apa anda udah punya sisir khusus buat kucing, Pak Nael? Kucing itu harus disisirin, lho, biar bulunya nggak ngotorin rumah.” Tambahnya lagi memberikan sebuah informasi mengenai bulu kucing.

“Bagaimana kalau kau datang saja ke sini, lalu bantu aku ngurus kucing ini? Soalnya aku benar-benar nggak punya pengalaman buat ngurus kucing, nih.” Balasku sambil menguap dengan lebar.

“Wah, maaf, Pak Nael. Pagi ini saya harus ke kampus buat nyusun laporan magangnya sama temen-temen. Mungkin lain kali, ya, pak.”

Tepat setelah Michelle selesai mengutarakan penolakannya, tiba-tiba saja si Marco mencoba untuk menaiki pohon mangga yang ada di dekatnya. Hadeh, sepertinya sudah saatnya untuk memasukkannya lagi ke dalam kandang, sebelum aku harus memanggil pemadam kebakaran karena dia nggak bisa turun dari pohon.

“Oke, deh. Kalau gitu, aku tutup telponnya, ya. Si Marco berulah lagi, nih.” Ucapku pada Michelle.

“Oke, Pak!”

...***...

Di siang hari, saat aku benar-benar hectic melayani pelanggan, si Marco malah bikin ribut lagi di dalam kandangnya. Dia memberontak, mengeong, dan terdengar seperti ingin merusak kandang bagus yang sudah kubelikan dengan harga yang lumayan mahal itu. Padahal, kucing itu sudah aku dampingi dengan mangkuk makanan dan juga air di dalam kandangnya.

Karena tak ingin mengganggu kenyamanan pelanggan, aku akhirnya memutuskan untuk menaruh Marcopollo di bawah pohon mangga, yang sebelumnya dia diletakkan di pojok ruangan. Setelah semuanya beres, aku langsung kembali ke ruang kerja untuk menangani antrian pelanggan yang lumayan panjang.

Sebagai permintaan maaf karena telah menelantarkannya di bawah pohon mangga sendirian, aku memutuskan untuk mengajak Marco ke Green Space—sebuah ruang terbuka hijau yang ada di tengah Kota Andawana. Aku rasa, di sini dia bisa berjelajah sepuasnya karena areanya yang sangat luas.

Setelah memasangkan tali tuntun pada badannya, aku kemudian langsung jalan-jalan bersama Marco untuk menyusuri area ini. Suasananya terasa begitu sejuk karena adanya rumput dan juga pepohonan hijau yang mendominasi seluruh ruang terbuka ini.

Setelah dilihat-lihat lagi, ternyata bukan aku saja yang datang ke sini untuk membawa hewan peliharaan berjalan-jalan. Banyak sekali orang-orang yang mondar-mandir bersama anjing atau kucing peliharaan mereka masing-masing. Harusnya, aku sudah bisa menebak hal ini karena Green Space adalah satu-satunya ruang terbuka di Andawana yang mengizinkan hewan peliharaan untuk memasuki areanya.

“Loh, Nael?” Saat sedang asik jalan-jalan di atas rumput yang lembut bersama Marco, tiba-tiba saja aku mendengar suara wanita judes yang begitu familiar di telingaku.

Perlahan aku menoleh ke sumber suara tersebut, lalu melihat sosok wanita yang menggunakan setelan leggin dan baju kaos olahraga berwarna hitam. Wajahnya sedikit tertutupi oleh topi berwarna pink, namun aku bisa mengenal bagaimana paras yang ada di baliknya.

“Lina?” Yap, dia adalah Lina Helmalia, istri kesayangannya Felix yang gemar meminta ubi manis kepadaku. “Ngapain kau di sini?” Tanyaku padanya sambil berusaha menghentikan langkah Marco dengan sedikit menarik tali tuntunnya.

“Aku memang suka nongkrong di sini tiap sore, sih. Harusnya aku yang nanya kenapa kau bisa ada di sini. Pakai bawa kucing pula?” Benar juga, ya. Setahuku, Lina memang suka berada di tempat-tempat yang alami seperti ini. Tapi anehnya, entah kenapa dia nggak suka kalau diajak berkebun.

“Yah, seperti yang kau lihat, aku lagi ngajak kucing ini jalan-jalan. Aku memungutnya dari tempat pemakaman saat ziarah ke makam Felicia kemarin.” Jelasku pada Lina dengan pandangan yang mengarah pada Marco.

“Kau mungut kucing? Agak nggak bisa dipercaya, ya.” Celetuknya sambil berjongkok untuk mendekatkan diri dengan Marco.

“Sebenarnya Michelle, sih, yang mungut. Dia nemuin kucing ini lagi sekarat di dekat makam neneknya. Terus, aku membantunya untuk membawa kucing ini ke dokter hewan. Tapi, entah kenapa malah aku yang diminta buat ngurusin dia.” Aku menjelaskan rincian kejadiannya pada Lina.

“Oh, gitu.” Balas Lina singkat, sambil menyuapi Marco dengan beberapa butir cemilan kucing yang kusalurkan padanya.

Setelah memberikan butir terakhir dari cemilan kucing itu, tiba-tiba saja Lina melepaskan Marco dari tali tuntun yang terikat di badannya. Dengan cepat, Marco langsung melarikan diri menuju sebuah pohon besar yang berada cukup jauh dari kami.

“O-Oi, apa yang kau lakukan? Nanti dia hilang, dong!” Protesku atas tindakan tak bertanggung jawab yang dilakukan oleh Lina.

“Tenang aja. Dia pasti bakal balik ke kita, kok.” Balas Lina dengan enteng.

“Dari mana kau tahu? Emangnya kau ini pawang kucing?” Tanyaku dengan nada yang terdengar kesal.

“Kucing itu adalah hewan yang tahu balas budi, Nael. Dia pasti akan setia sama manusia yang udah menolongnya di saat-saat kritis. Bahkan, banyak kejadian dimana seekor kucing membawakan majikannya barang-barang random sebagai bentuk balas budinya.” Jelas Lina dengan suara yang penuh keyakinan, sambil memandang mataku dengan tatapannya yang tajam itu.

Aku perlahan mengalihkan pandangan ke arah pohon besar yang dituju oleh Marco tadi. “Begitu, ya. Aku baru tahu.” Responku singkat terhadap penjelasan Lina.

“Maka dari itu, aku minta agar kau tidak terlalu mengekang hewan yang malang itu.” Ujar Lina, sambil perlahan berdiri untuk meregangkan badannya. “Sama seperti kita, kucing juga menyukai kebebasan dan membenci pengekangan.”

“Kau benar.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!