NovelToon NovelToon
Aji Toba

Aji Toba

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Misteri / Epik Petualangan / Horror Thriller-Horror / TimeTravel / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:232
Nilai: 5
Nama Author: IG @nuellubis

Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.

Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.

Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.

Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mrogo Sukmo dan Perundingan

Pagi yang cerah di kawasan yang masih dipenuhi hutan lumayan lebat. Nawang Wulan masih bersemedi di salah satu pohon yang begitu rindang. Rohnya tampaknya mulai aak terlepas dari raganya.

Tanpa Nawang Wulan sadari, ia sedang diamati oleh Tumijan, Wijaya, si opung, Batubara, dan Bonar. Mereka sedikit bergidik saat melihat aktivitas semedi Nawang Wulan. Kecuali si opung.

"Yang kalian lihat itu," bisik opung. "itu yang namanya mrogo sukmo. Aku bisa tahu dari Jaka Kerub saat pria Jawa itu bertandang ke huta ini."

Tumijan angguk-angguk. "Oh begitu, Opung. Tapi merinding aku dibuatnya, Pung."

Sekonyong-konyong berlari-lari dua ekor babi hutan. Langsung saja matanya Bonar dan bersiap berburu babi hutan lagi. Untuk makan malam satu kampung nanti.

Bonar sudah setengah berjongkok, tangannya meraba tombak pendek yang selalu ia bawa ke mana-mana. Namun si opung cepat mengangkat tangan, memberi isyarat agar Bonar menahan diri.

“Jangan sekarang,” bisik Opung tegas. “Bukan waktunya berburu.”

Dua ekor babi hutan itu berlari melintasi semak, berhenti sejenak di tepi tanah lapang. Salah satunya mendengus, mencium udara, seolah merasakan ada sesuatu yang tidak wajar di sekitar pohon tempat Nawang Wulan bersemedi. Yang satu lagi mengais tanah dengan moncongnya, gelisah.

Wijaya menyipitkan mata. “Mereka seperti melihat sesuatu yang tidak kita lihat.”

Opung mengangguk pelan. “Makhluk alam justru lebih peka. Saat ada sukma yang berjalan, binatang sering jadi penanda pertamanya.”

Benar saja. Angin yang semula sepoi mendadak berputar. Daun-daun bergetar tanpa sebab yang jelas. Ranting tua di pohon tempat Nawang Wulan bersandar mengeluarkan bunyi berderak halus, seperti tarikan napas panjang. Tumijan menelan ludah, tangannya refleks meremas kain bajunya.

Di bawah pohon, raga Nawang Wulan duduk bersila, tenang, wajahnya damai. Namun di lapisan lain, sukma Nawang Wulan perlahan terangkat. Ia merasa ringan, seperti berjalan di atas embun. Dari ketinggian, ia melihat tubuhnya sendiri, yang kecil, rapuh, tapi bercahaya lembut. Benang halus keperakan menghubungkan sukma dan raga, berdenyut pelan, menandakan ia masih terikat.

Ia melayang dan menyusuri jalur tak kasatmata menuju arah yang hatinya tarik. Bayangan hutan berubah menjadi kilasan-kilasan ingatan. Di pikirannya, ia melihat sungai tempat ia mandi bersama saudari-saudarinya, langit kahyangan yang dulu ia tinggalkan, dan wajah-wajah yang kini mengisi hidupnya. Ada Aji, Tumijan, Wijaya, si opung. Lalu satu wajah lain muncul, samar tapi kuat. Orang itu Jaka Kerub. Hatinya bergetar seketika.

Di dunia nyata, salah satu babi hutan tiba-tiba menjerit pendek lalu kabur. Yang satunya mengikut, menerobos semak tanpa menoleh lagi. Bonar mendecak kecewa, tetapi tak berani melanggar isyarat opung.

“Lihat,” kata Batubara pelan. “Daun-daun itu.”

Di sekitar pohon, daun-daun kering berputar membentuk lingkaran kecil, seakan mengikuti irama yang tak terdengar. Tanah bergetar tipis, bukan gempa, lebih mirip denyut. Opung menutup mata, bibirnya komat-kamit merapal doa lama yang jarang diucapkan.

“Selama benang itu utuh,” kata Opung membuka mata, “ia aman. Tapi jangan ganggu. Sekali tersentak, sukma bisa tersesat.”

Waktu terasa melambat. Matahari naik sedikit demi sedikit, cahaya menembus celah daun, jatuh seperti serpih emas di wajah Nawang Wulan. Lalu, angin berbalik arah. Lingkaran daun runtuh. Getarannya mereda.

Nawang Wulan menghela napas panjang. Sukmanya turun, menyatu kembali dengan raga. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka. Ia menatap lurus ke depan, seolah melihat sesuatu yang jauh melampaui hutan.

Di balik semak, mereka semua serentak menghembuskan napas lega.

“Sudah kembali,” ujar opung lirih. “Dan tampaknya, ia sudah membawa jawabannya.”

*****

Sementara itu, di Temasek, Aji kaget karena dirinya diikutsertakan dalam sebuah perundingan antara utusan Majapahit dan Temasek. Siapa dia ini, sampai Majapahit memperhitungkan dirinya. Agak tegang juga. Sebab ini kali pertama ia berada di sebuah pertemuan para bangsawan (yang menurut anggapan Aji).

Aji duduk di sisi ruangan, tepat di belakang beberapa perwira Majapahit. Bangunan tempat perundingan itu terbuat dari kayu keras, atapnya tinggi, dan terbuka di beberapa sisi sehingga angin laut Temasek masuk membawa aroma asin. Di tengah ruangan, terbentang tikar lebar. Di sanalah para utusan duduk berhadap-hadapan.

Di sisi Majapahit, beberapa tokoh tampak menonjol. Aji mengenali satu di antaranya. Salah satunya adalah Gajah Mada. Sosok Mahapatih itu duduk tegak, sorot matanya tenang namun menusuk. Ia tak banyak bergerak, tapi kehadirannya seolah membuat ruangan itu mengecil. Di sampingnya, beberapa bangsawan dan panglima duduk rapi, mengenakan busana kebesaran dengan keris terselip di pinggang.

Di sisi seberang, para petinggi Temasek tampak tak kalah wibawa. Kulit mereka lebih gelap terbakar matahari, pakaian mereka sederhana tapi bersih. Ada yang mengenakan ikat kepala, ada pula yang membawa tongkat kayu berukir. Wajah-wajah mereka tenang, meski jelas menyimpan kewaspadaan.

Aji menelan ludah. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa dirinya ada di sini. Ia jelas-jelas bukan bangsawan, bukan pula utusan resmi. Ia hanya seseorang yang terseret arus sejarah, terlempar dari satu zaman ke zaman lain.

Perundingan dimulai dengan bahasa yang formal. Utusan Majapahit berbicara tentang persahabatan, tentang jalur perdagangan, tentang ketertiban laut. Temasek menanggapi dengan kehati-hatian. Mereka menyinggung soal kedaulatan, soal adat setempat, soal bagaimana mereka tak ingin wilayahnya sekadar menjadi pijakan kaki kekuasaan luar.

Beberapa kali, pandangan Gajah Mada melirik ke arah Aji. Tatapan itu singkat, tapi cukup membuat jantung Aji berdegup lebih cepat. Seolah Mahapatih itu tahu ada sesuatu yang berbeda pada dirinya.

Pada satu titik, salah satu utusan Temasek bertanya, “Siapakah pemuda itu?”

Ia menunjuk Aji tanpa ragu. “Ia bukan bangsawan, tapi duduk bersama kalian.”

Ruangan mendadak hening.

Aji refleks hendak berdiri, tapi Gajah Mada lebih dulu angkat bicara. Suaranya berat dan mantap. “Bagiku, dia orang penting. Semacam mereka yang berjalan di antara getaran-getaran aneh dunia. Kadang, orang seperti itu lebih jujur daripada seribu lidah bersaksi.”

Aji terperangah. Ia tak sepenuhnya mengerti maksud ucapan itu, tapi ia merasakan bobotnya.

Utusan Temasek mengangguk pelan. “Jika begitu, biarkan ia mendengar. Karena apa yang diputuskan hari ini, bukan hanya untuk kami dan Majapahit, tapi untuk orang-orang kecil yang hidup dari laut dan darat.”

Perundingan pun berlanjut. Aji mendengarkan, mencatat dalam ingatan setiap kata. Ia mulai sadar, mungkin inilah alasan ia dibawa ke Temasek. Bukan semata untuk berperang, melainkan untuk menjadi penghubung. Wntara kekuatan, antara niat, antara masa lalu dan masa depan.

Di luar, ombak terus memukul dermaga. Dan di dalam ruangan itu, takdir Aji perlahan mengambil bentuk baru.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!