Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DOSEN DI SIANG HARI, HANTU DI MALAM HARI
Waktu: Pertengahan April 2019. Pukul 19.00 WIB. Lokasi: Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.
Palembang menyambut kedatangan Aditya bukan dengan karpet merah, melainkan dengan pelukan udara panas yang lembap, berat, dan beraroma tanah basah.
Begitu pintu otomatis terminal kedatangan terbuka, hawa panas itu langsung menampar wajahnya. Rasanya seperti masuk ke dalam mulut naga yang sedang demam. Kemeja batik sutra hand-made seharga sepuluh juta rupiah yang dikenakannya—bagian vital dari kostum "Dosen Tamu Berwibawa"—langsung terasa menempel di punggung dalam hitungan detik. Keringat mulai merembes di balik kerah kakunya.
"Luar biasa," batin Aditya masam, matanya menyipit di balik kacamata non-minus (aksesori tambahan agar terlihat lebih akademis). "Baru lima langkah keluar dari AC bandara, aku sudah merasa perlu mandi kembang lagi. Kenapa penjahat tidak pernah bikin markas di tempat yang sejuk? Puncak, misalnya? Atau Swiss? Kenapa harus selalu di rawa-rawa atau kawah gunung berapi?"
"Selamat datang di Bumi Sriwijaya, Pak Aditya!"
Seruan antusias memecah lamunannya. Serombongan mahasiswa berjaket almamater kuning ngejreng menyambutnya. Mereka membentangkan spanduk buatan tangan yang catnya masih agak basah: WELCOME DOSEN PRAKTISI: ADITYA WIRANAGARA, B.A., M.Hum.
Aditya menahan napas, lalu menarik tuas "Persona Publik" di dalam otaknya.
Postur tubuhnya yang tadi waspada dan tegang ala prajurit, seketika berubah rileks. Bahunya turun. Senyum ramah yang sudah dilatih di depan cermin terukir di bibirnya. Matanya memancarkan kehangatan palsu.
"Terima kasih, terima kasih," ucap Aditya sambil menyalami mereka satu per satu. Tangannya dijabat erat oleh ketua panitia yang telapak tangannya berkeringat karena gugup. "Panggil saja Mas Adit. Saya belum setua itu untuk dipanggil Bapak."
"Siap, Mas Adit! Wah, kami nggak nyangka Mas beneran dateng. Kirain cuma rumor!" ujar si ketua panitia, seorang mahasiswa berkacamata tebal. "Mas Adit mau langsung makan malam? Kami sudah reservasi di Riverside, Mas. Pindang patinnya juara. View-nya langsung Jembatan Ampera."
Aditya tersenyum menyesal. Perutnya sebenarnya berbunyi setuju—pindang patin terdengar jauh lebih menarik daripada ransum energi batangan yang dia bawa di tas.
"Sayangnya, menu malam ini adalah mengintai gudang penyelundup dan kemungkinan besar dipukuli preman pelabuhan," batinnya.
"Waduh, tawaran yang sangat menggoda," tolak Aditya halus, memasang wajah lelah yang meyakinkan. "Tapi mohon maaf sekali, saya harus ke hotel dulu. Materi presentasi untuk besok belum selesai saya revisi. Maklum, saya agak perfeksionis kalau soal sejarah maritim."
"Oh, tentu, Mas! Kami mengerti! Dedikasi Mas luar biasa!" puji mereka serempak, mata mereka berbinar kagum.
Mereka tidak tahu bahwa "materi" yang dimaksud Aditya adalah data intelijen tentang lokasi musuh, dan "riset" yang akan dia lakukan melibatkan pembobolan properti pribadi.
Mereka mengantar Aditya ke mobil jemputan—sebuah Innova hitam yang AC-nya untungnya dingin. Sepanjang perjalanan ke hotel, Aditya hanya mengangguk-angguk mendengarkan cerita mahasiswa tentang sejarah Jembatan Ampera dan legenda Pulau Kemaro.
Di luar jendela, lampu-lampu kota Palembang berkelebatan. Aditya menatap sungai hitam yang membelah kota itu. Di permukaan, airnya tenang memantulkan cahaya lampu. Tapi di kedalamannya, Aditya bisa merasakan getaran yang salah. Sungai itu tidak tidur. Sungai itu sedang bernyanyi.
Waktu: 20.30 WIB. Lokasi: Kamar 808, Hotel Arista Palembang.
KLIK.
Pintu kamar hotel tertutup dan terkunci.
Detik itu juga, topeng "Dosen Ramah" runtuh ke lantai. Bahu Aditya merosot. Wajahnya kembali datar dan dingin. Dia melempar tas kulit kerjanya ke kasur king size yang empuk, lalu melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar seolah dasi itu mencekiknya.
Dia tidak menyalakan lampu kamar. Cahaya lampu kota dari jendela besar sudah cukup.
Aditya membuka koper besarnya di atas meja. Isinya bukan buku sejarah atau artefak kuno, melainkan deretan gadget taktis yang berkilau dingin: Drone mikro, pemindai frekuensi, dan komponen armor.
Aditya mengambil sebuah pemicu EMP kecil dan memutar-mutarnya di jari.
Banyak orang mengira Aditya mencintai sejarah dan teknologi dengan kadar yang sama. Mereka salah.
Bagi Aditya, Sejarah adalah gairah. Itu adalah jiwa, identitas, dan alasan kenapa dia bertarung. Dia bisa menghabiskan berjam-jam mengelus relief candi dengan penuh cinta.
Tapi Sains? Sains baginya hanyalah alat. Dia tidak mencintai teknologi seperti Karina mencintainya.
Bagi Aditya, sains adalah Pemecahan Masalah.
Jika sejarah adalah pintu yang terkunci rapat berisi rahasia leluhur, maka sains adalah linggis untuk membongkarnya. Jika hantu adalah masalah metafisika yang rumit, maka frekuensi radio adalah palu untuk memukulnya. Dia menyukai sains karena sains itu logis, dingin, dan selalu memberi solusi praktis untuk masalah yang tidak masuk akal.
"Sejarah memberiku musuh," gumam Aditya sambil memasang baterai ke armornya. "Sains memberiku cara untuk memukul wajah musuh itu."
"Karin," panggilnya pada ruangan kosong. "Mode aman."
Laptop di meja kerja menyala sendiri. Layarnya berkedip, lalu menampilkan wajah Karina yang sedang memakai masker wajah lumpur warna hijau, membuatnya terlihat seperti Shrek versi jenius.
"Halo, Pak Dosen. Gimana sambutannya? Dapet kalungan bunga atau kalungan emosi?" sapa Karina santai.
"Dapet keringat," gerutu Aditya. "Langsung ke intinya. Di mana pestanya? Kau bilang kau melacak logistik."
Karin mengetik sesuatu di ujung sana. Sebuah peta digital kota Palembang muncul di layar laptop Aditya, menggantikan wajah hijaunya. Peta itu penuh dengan garis-garis merah dan biru yang berpusat di area pelabuhan.
"Oke, Mas. Sinyal 'Nyanyian Kubah' itu pusatnya memang di dasar Sungai Musi, deket Jembatan Ampera. Tapi kita nggak bisa langsung nyebur ke sana."
"Kenapa? Arusnya terlalu deras?"
"Bukan cuma arus. Area itu kotor banget secara supranatural. Banyak 'sampah' energi. Dan ada penjaga alaminya. Kalau Mas nyebur sekarang tanpa persiapan ritual, Mas bakal ditarik ke dasar sebelum sempet pake kacamata renang."
Aditya mengangguk. Dia tahu aturan mainnya. Jangan masuk ke rumah orang tanpa permisi, apalagi kalau rumahnya di dasar sungai angker.
"Jadi, apa opsi daratnya?"
"Aku melacak pergerakan logistik," lanjut Karin. "Ada pola aneh. Tiga truk kontainer berat keluar dari bandara kargo tadi sore, bergerak menuju Pelabuhan Boom Baru. Truk-truk itu dilapisi timah tebal, Mas. Anti-scan. Satelitku buta ngeliat isinya."
"Timah," gumam Aditya, jarinya mengetuk meja. Otak pemecah masalahnya bekerja. "Timah digunakan untuk menahan radiasi. Jika mereka membawa peralatan sihir atau artefak yang tidak stabil, mereka butuh isolator."
"Tepat. Dan truk-truk itu berhenti di Gudang Tua Nomor 4. Gudang itu di data pelabuhan statusnya 'kosong dan rusak' sejak tahun 98, tapi sensor panas satelitku mendeteksi ada enam tanda kehidupan di dalem. Dan yang paling mencurigakan: suhu di dalem gudang itu stabil 18 derajat Celsius."
"AC sentral di gudang kosong?" simpul Aditya. "Mereka menjaga peralatan sensitif agar tidak overheat. Itu titik transit mereka sebelum barangnya dipindah ke kapal."
Aditya membuka lapisan palsu di dasar kopernya. Di bawah tumpukan jurnal ilmiah, tersimpan potongan-potongan armor hitam.
"Gudang Nomor 4," ulang Aditya. "Aku akan ke sana. Ambil data manifest-nya, pasang pelacak di truknya, lalu pulang sebelum room service datang membawakan sarapan."
"Hati-hati, Mas. Itu wilayah pelabuhan lama. Banyak tikusnya. Dan tikus di sana bawa pistol."
"Aku bawa racun tikus."
Waktu: 21.30 WIB. Lokasi: Gang Belakang Hotel.
Mengganti pakaian adalah bagian paling menyebalkan dan paling tidak glamor dari menjadi superhero.
Di film, pahlawan bisa berubah kostum dalam sekejap mata di bilik telepon. Di dunia nyata, Aditya harus berjuang melepaskan celana bahan yang lengket karena keringat di dalam kamar mandi hotel yang sempit, lalu memaksakan diri masuk ke dalam Bodysuit Taktis.
Bahannya terbuat dari serat polymer canggih yang tahan goresan pisau dan api, tapi ketatnya minta ampun.
"Siapa sih yang mendesain ini?" keluh Aditya sambil menarik retsleting di punggungnya dengan susah payah. "Rasanya seperti dibungkus plastik wrapping makanan."
Dia memasang pelat-pelat Armor MK-IV "Amphibious". Armor ini lebih ringan dari versi darat yang dia pakai di Prambanan.
Sambungan-sambungannya dilapisi karet sealant untuk menahan air dan lumpur. Warnanya hitam matte yang menyerap cahaya, membuatnya nyaris tidak terlihat dalam gelap.
Terakhir, dia memasang sabuk utilitas dan helm taktisnya. Helm itu menutupi separuh wajahnya, menyisakan mulut dan dagu, tapi matanya tertutup visor kaca yang bisa menampilkan data LiDAR.
Aditya menatap cermin. Dosen Aditya yang ramah dan murah senyum sudah hilang. Yang berdiri di sana adalah Senja Garda. Dingin. Efisien. Mematikan.
Dia membuka jendela kamar di lantai 8. Angin malam berhembus masuk, membawa bau hujan yang akan turun.
"Karin, mobil sewaan sudah di posisi?"
"Toyota Avanza silver, plat BG 1234 AB. Parkir di gang belakang, di sebelah bak sampah. Kuncinya aku taruh di atas ban depan kiri. Sorry Mas, cuma itu yang dapet last minute tanpa perlu KTP asli."
"Avanza," desah Aditya panjang. "Kendaraan tempur yang sangat intimidatif. Musuh pasti gemetar melihatku datang naik mobil family sejuta umat."
"Yang penting AC-nya dingin, Mas. Jangan protes."
Aditya menembakkan kabel winch ke gedung sebelah, lalu meluncur turun menembus kegelapan malam Palembang seperti laba-laba raksasa. Kakinya mendarat tanpa suara di aspal gang yang basah.
Malam ini dia akan berburu. Tapi sebelumnya, dia harus menyetir mobil rental dengan kopling yang mungkin agak keras dan bau pengharum ruangan jeruk yang menyengat.
Hidup ini penuh perjuangan yang tidak heroik.
👉👉👉
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit