Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25
Happy Reading...
.
.
.
Dengan langkah tergesa namun hati-hati, ia membawa Naira keluar dari kamar mandi dan membaringkannya di atas tempat tidur. Raka menepuk perlahan pipi Naira sambil terus memanggil namanya.
“Naira, ayo buka mata kamu. Kamu dengar aku? Ini Raka.. Naira, bangun..” Paniknya semakin memuncak ketika melihat wajah pucat dan bibir kebiruan istrinya. Tanpa menunggu lebih lama, ia berteriak memanggil satu-satunya orang yang bisa diandalkan di rumah itu.
“Bi Sumi! Biii Sumi!”
Tidak sampai satu menit, perempuan paruh baya itu berlari masuk sambil terengah. “Iya, den Raka! Ada apa..?”
“Cepat bantu saya! Tolong ganti pakaian Naira. Pakaiannya basah dan dia kedinginan.” Suara Raka bergetar.
Bi Sumi mengangguk cepat. “Baik, den. Biar saya urus.”
Raka melangkah mundur, memberikan ruanguntuk bi Sumi. Namun sorot matanya tidak beranjak dari tubuh istrinya itu. Ada ketakutan besar yang membuat dadanya seperti diremas. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menarik napas panjang berkali-kali, berusaha mengontrol dirinya agar tidak panik berlebihan.
“Aku harus menelepon dokter.” gumamnya lirih, lebih seperti berbicara pada diri sendiri.
Ia melangkah keluar kamar dengan langkah tergesa. Tangannya bergetar saat merogoh ponsel di saku celananya. Tanpa menunggu lebih lama, ia menekan nomor dokter pribadinya.
“Dok, tolong... Tolong datang sekarang. Naira pingsan. Keadaannya sedang tidak baik- baik saja...” ucapnya cepat dan napasnya terdengar memburu.
Setelah menutup telepon, ia bersandar di dinding lorong lalu menundukkan kepala sambil menekan dada dengan tangannya.
"Tolong bertahan, Naira... Aku mohon, bertahanlah..." Bisiknya dengan suara nyaris pecah.
.
.
.
Raka menghampiri dokter dengan langkah pelan namun gelisah. Sosok wanita paruh baya itu baru saja keluar dari kamar, melepas stetoskop dari telinganya sambil menghela napas panjang. Melihat ekspresi sang dokter yang tampak serius, membuat jantung Raka kembali berdegup kencang. Bahkan untuk sekedar menelan ludah pun terasa sedikit sulit.
“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanya Raka dengan suara yang terdengar menahan gugup. Tangannya menggenggam ujung kemejanya sendiri tanpa sadar.
Dokter menatap Raka beberapa detik, seolah sedang memilih kata yang paling tepat. “Keadaannya sedikit memburuk.” Ujar dokter perlahan. “Bukan secara fisik, tetapi lebih kepada kondisi mentalnya.”
Raka mengerutkan kening, matanya langsung memancarkan kekhawatiran yang lebih dalam. “Maksud dokter...?”
Dokter memasukkan kedua tangannya di saku jasnya. “Naira sepertinya mengalami tekanan pikiran yang sangat berat. Saya tidak bisa memastikan apa penyebab pastinya, tetapi dari gejala yang saya lihat, ia mengalami stres. Tubuhnya kelelahan, sementara pikirannya tidak berhenti bekerja. Itu yang membuat kondisinya tidak stabil.”
Raka menundukkan kepala, meremas rambut belakangnya dengan gelisah. “Saya... saya tidak tahu akan sampai seperti ini. Naira pernah mengatakan kalau dia hanya sedang kepikiran tentang kehamilannya. Dan belakangan dia memang terlihat sering melamun, tapi saya kira karena lelah.”
Dokter menggeleng pelan. “Justru itu, Pak Raka. Stres tidak selalu terlihat jelas. Kadang pasien terlihat biasa saja, Padahal dalam pikirannya terjadi banyak hal yang terjadi. Dan kondisi Naira, jika terus dibiarkan seperti ini, bisa berbahaya untuk ibu dan calin anak yang ada di dalam kandungannya.”
Raka mengangkat wajahnya cepat. “Berbahaya? Seberapa berbahayanya, Dok?”
“Jika pikirannya terus tertekan, ia bisa mengalami penurunan kesehatan yang lebih serius. Tidak hanya pingsan seperti ini, tetapi juga bisa memengaruhi cara ia berpikir, tidur, bahkan bisa menyebabkan keguguran meskipun sudah berada di tri semester dua seperti ini. Saya sarankan.. Jangan biarkan ia sendirian terlalu lama, dan perhatikan setiap perubahan kecil pada dirinya.”
Raka mengangguk pelan, tetapi dari gerakan bahunya terlihat bahwa ia masih merasa bersalah. “Baik, Dok. Saya akan berusaha untuk lebih memperhatikannya. Terima kasih sudah datang.”
Dokter menepuk bahu Raka dengan ringan. “Lakukan yang terbaik. Naira membutuhkan dukungan Anda sekarang.”
.
.
.
Raka berjalan memasuki kamar mereka dengan langkah perlahan, seolah takut menimbulkan suara sedikit saja. Ia menutup pintu pelan, hampir tidah berbunyi, lalu mengembuskan napas panjang yang sejak tadi terasa berat di dadanya. Kamar itu terasa lebih sunyi malam ini. Sunyi yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ia melangkah mendekat ke arah tempat tidur, dimana Naira kini berbaring dengan wajah pucat yang membuat hatinya terasa diremas. Karena situasi ini membuatnya kembali teringat dengan sosok Nayla.
Ucapan dokter masih terngiang jelas di kepalanya.
Stres... Tekanan pikiran... Kondisi mental menurun...
Raka menatap Naira yang tampak lemah dan tidak bergerak, seolah hanya terlelap namun juga seolah berada jauh darinya. Tangannya perlahan terangkat, hendak menyentuh pipi sang istri, namun ia mengurungkan niat itu. Terlalu banyak hal yang berputar di pikirannya.
“Ada apa dengan kamu?” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada yang sedang kamu sembunyikan dariku?” Tatapannya semakin dalam, dipenuhi kebingungan. “Atau... kamu sudah mulai mengingat sesuatu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdatangan seperti tak berujung. Raka merasa seperti sedang memegang sesuatu yang rapuh, namun tidak tahu bagaimana harus melindunginya.
Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Raka menoleh cepat.
“Masuk,” ucapnya pelan.
Pintu terbuka dan Bi Sumi muncul sambil menggendong Jingga yang terlihat memerah wajahnya. Anak kecil itu terisak pelan, memegangi baju Bi Sumi.
“Maaf, Den... Jingga dari tadi menangis tidak mau berhenti.” ucap Bi Sumi dengan nada cemas.
Belum sempat Raka menjawab, Jingga mengangkat kepalanya, melihat sosok ibunya yang terbaring. Tangannya langsung terulur ke arah Naira.
“Mama... ma... mama...” Rengeknya, suara kecil itu terdengar patah-patah.
Raka segera menghampiri dan mengambil alih Jingga dari gendongan Bi Sumi. Tubuh kecil itu langsung meronta ringan di pelukannya, memaksa mendekat ke arah Naira.
“Papa.. mama..” tangisnya semakin keras.
Raka menepuk pelan punggung putrinya, mencoba menenangkan. “Sayang.. mama sedang sakit. Jadi Jingga sama papa dulu, ya?”
Namun Jingga menggeleng kuat sambil terus meronta. “Aku mau mama, papa.. Mama..” Suaranya semakin meninggi, air mata terus mengalir di pipinya.
Raka menarik napas panjang. Ia tahu suara tangis Jingga bisa membuat keadaan Naira semakin memburuk jika anak itu tidak segera tenang. Ia mendekatkan Jingga ke dadanya dan berbicara lebih lembut.
“Iya, Jingga dengar papa, ya.. Mama sedang sakit. Kalau Jingga menangis terus, nanti mama tambah sakit. Jingga tidak mau mama tambah sakit, kan?”
Jingga berhenti meronta sejenak, meski isakannya masih keluar kecil-kecil. Ia menatap Raka dengan mata penuh air mata, lalu kembali melirik ke arah Naira.
“Aku mau mama..” katanya lagi, kali ini pelan dan lemah.
Raka mengusap rambut Jingga, berusaha tetap tenang meski hatinya juga tidak kalah kacau. “Baik, sayang.. Jingga boleh tidur di sisi mama. Tapi janji sama papa dulu.”
Jingga mengangkat wajah, masih terisak.
“Janji tidak boleh nakal. Tidak boleh menangis. Jingga harus diam supaya mama bisa beristirahat. Jingga mengerti?”
Jingga mengangguk kecil meski air mata nya belum benar-benar berhenti. Gerakannya lemah, seperti takut salah sedikit saja akan membuatnya jauh dari ibunya.
Pelan, Raka membawa Jingga naik ke atas kasur. Ia mengangkat selimut, lalu membaringkan anak itu di tengah-tengah antara dirinya dan Naira. Jingga segera merayap kecil, mendekat ke arah tubuh Naira yang tak bergerak. Tangan mungilnya meraih tangan ibunya, menggenggamnya erat meski tidak ada respon dari mamanya.
Raka duduk di tepi kasur, mengamati keduanya. Dadanya penuh sesak saat melihat bagaimana Jingga yang bergantung kepada sosok Naila.
"Aku tidak akan melepaskan kamu.. Aku akan membuat kamu semakin terikat dengan ku dan Jingga."
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...