---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - JAWABAN SEPERTIGA MALAM WIDURI
Malam itu sepi. Hanya rembulan yang menggantung redup di langit, seolah ikut menyaksikan pergulatan hati seorang wanita.
Widuri bangun pelan dari tidurnya. Di sebelahnya, Arkana masih terlelap dengan posisi miring, tangan mungilnya menggenggam boneka dino kesayangannya.
Nafas kecil anak itu naik turun teratur, damai sekali, seolah dunia di sekelilingnya tidak sedang goyah.
Widuri menatap wajah kecil itu lama. Anak itu menjadi alasan ia tetap kuat sampai sekarang.
Kalau bukan karena Arkana, mungkin ia sudah menyerah dari dulu, saat rumah tangganya mulai retak perlahan tanpa suara.
Langkahnya pelan menuju kamar mandi. Setelah berwudhu, ia membentangkan sajadah. Lantai dingin menusuk kaki, tapi hatinya jauh lebih dingin. Ia berdiri, menatap arah kiblat, dan melaksanakan sholat sunnah selesai salam widuri mengangkat tangan tinggi-tinggi. Suara lembutnya pecah dalam tangis yang ditahan.
“Ya Allah… aku datang lagi. Aku nggak kuat, tapi aku nggak mau menyerah. Aku cuma minta Engkau tunjukkan jalan terbaik…”
Air matanya jatuh satu-satu ke atas sajadah. Ia sujud lama, sampai bahunya bergetar. Ia sudah terlalu sering berdoa seperti ini, tapi malam ini rasanya berbeda — lebih berat, lebih sesak, seperti dada dipenuhi batu besar yang tak bisa diangkat.
Bayangan keluarga Wijaya siang tadi terus berputar di kepalanya. Nyonya Cassandra dengan nada tegas saat menyebut kata “perjanjian”, Rianty yang hanya menunduk tanpa suara, dan ibu Raka yang tampak setuju tanpa banyak bicara. Semua seperti sudah direncanakan, seolah keputusan itu tidak lagi bisa diubah.
Widuri menggigit bibir, menahan tangis yang ingin pecah lagi.
“Kenapa harus aku yang diuji begini, Ya Allah…” bisiknya lirih.
Tiba-tiba terdengar suara langkah pelan di belakang. Langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamar.
“Widuri…” suara itu lembut tapi berat.
Raka berdiri di sana, dengan mata lelah dan rambut sedikit berantakan. Kaos yang ia pakai sudah kusut. Raut wajahnya jelas menunjukkan kalau ia juga belum tidur sejak sore tadi.
Widuri menoleh cepat, buru-buru menghapus air matanya dengan ujung kerudung. “Mas… belum tidur?”
Raka hanya menggeleng. Ia berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. “Aku nggak bisa tidur setelah dengar semua keputusan itu.”
Hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara mereka.
Widuri menunduk. “Aku kira Mas udah sepakat sama keputusan itu.”
Raka menatapnya lama, seperti sedang mencari keberanian di matanya. “Aku mau ngomong jujur, Wid. Aku sudah menyiapkan perjanjian yang akan kuberikan ke Rianty nanti.”
Widuri menegakkan tubuhnya, wajahnya bingung. “Perjanjian apa, Mas?”
Raka menarik napas panjang. “Aku akan menikahi Rianty.”
Kata-kata itu keluar pelan tapi jelas. Udara di kamar langsung terasa sesak. Widuri terdiam, matanya menatap suaminya tanpa berkedip.
Seolah otaknya menolak memahami kata-kata itu.
Ia ingin bicara, tapi mulutnya kaku. Napasnya pendek. Lalu perlahan ia bersuara, “Mas yakin… itu jalan terbaik?”
Raka mengangguk pelan. “Aku tahu ini berat. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Keluarga Wijaya mendesak, Bu Ratna juga udah menyetujui. Kalau aku terus menolak, mereka bakal anggap aku nggak punya rasa tanggung jawab. Dan itu bisa berimbas ke semuanya — kerjaan, keluarga, sampai nama baik.”
Widuri menatapnya dalam diam. Rasanya seperti ditampar berkali-kali. Tapi ia tetap berusaha tenang, walau air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.
“Tapi aku udah buat syarat,” lanjut Raka dengan suara serak. “Aku bersedia menikahinya cuma untuk menjaga nama keluarga. Aku nggak akan menyentuhnya. Aku nggak akan anggap dia istri dalam arti sebenarnya. Aku cuma ingin semuanya selesai, Wid. Aku nggak mau rumah tangga kita hancur.”
Widuri menelan ludah. Dadanya naik turun menahan perasaan yang campur aduk. “Mas yakin… pernikahan tanpa cinta bisa bertahan?”
Raka menunduk, bahunya menegang. “Aku nggak tahu. Tapi aku janji, aku nggak akan biarkan siapa pun menggantikan kamu di hatiku.”
Widuri tersenyum kecil. Bukan senyum bahagia, tapi senyum orang yang sudah terlalu lelah untuk marah. “Kalau itu keputusan Mas…” ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. “Aku siap. Aku siap kalau Mas memang harus menerima semua ini. Tapi jangan lupain aku dan Arkana, ya.”
Suaranya pecah di akhir kalimat. Tangannya gemetar saat menyeka air mata.
“Karena walau Mas punya seribu alasan buat pergi, aku cuma punya satu alasan buat tetap di sini — Arkana.”
Raka menatapnya, matanya memerah. Ia ingin memeluk istrinya, tapi entah kenapa langkahnya terasa berat. Seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka malam itu.
“Maaf, Wid… aku nggak pantas dimaafkan,” ucapnya pelan. “Tapi aku janji, aku bakal jaga kamu dan Arkana. Aku nggak akan biarkan siapa pun nyakitin kalian.”
Widuri menggeleng pelan. “Janji aja nggak cukup, Mas. Aku udah terlalu sering dengar janji. Aku cuma mau bukti. Karena setiap luka yang aku punya sekarang asalnya dari diamnya Mas sendiri.”
Kalimat itu seperti pisau yang menembus hati Raka. Ia tahu Widuri benar. Ia terlalu lama diam, terlalu takut mengambil keputusan sampai semuanya jadi serumit ini.
“Wid…” suaranya pelan. “Aku cuma pengen semua ini nggak makin parah. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Widuri menatapnya, matanya sembab tapi tegas. “Mas nggak akan kehilangan aku, selama Mas masih tahu mana yang benar dan mana yang salah.”
Keduanya terdiam lagi. Suasana kamar hanya diisi suara jam dan desah napas pelan. Di luar, angin malam bergerak lembut, membuat tirai bergoyang perlahan.
Raka menunduk, menatap sajadah yang masih basah oleh air mata istrinya. “Aku bener-bener minta maaf,” katanya lirih.
Widuri hanya mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi. Ia sudah kehabisan tenaga untuk marah.
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Lalu dari jauh, terdengar kokok ayam pertama. Tanda pagi hampir datang.
Widuri menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu berbisik dalam hati,
“Ya Allah, kalau ini jalanku, tolong kuatkan aku. Aku rela, asal Arkana tetap punya ayah yang bisa ia panggil dengan bangga.”
Raka memandangi istrinya lama, lalu berkata pelan, “Aku akan buktikan, Wid… bahwa pernikahan ini bukan akhir dari kita.”
Widuri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum samar, menatap cahaya fajar yang mulai menembus tirai jendela. Hatinya sakit, tapi ia berusaha menerima. Ia tahu, mungkin ini bukan akhir, tapi awal dari hidup yang lebih berat.
Namun satu hal yang pasti — demi Arkana, ia akan bertahan.
Malam itu berakhir tanpa pelukan, tanpa kata maaf yang sungguh-sungguh diterima. Tapi di sepertiga malam itu, Widuri akhirnya menemukan jawaban dari semua doanya — bukan tentang siapa yang harus pergi, tapi tentang bagaimana cara bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri.
#tbc
Waduh, Widuri akhirnya setuju dipoligami, tapi semua ini demi Arkana.
Gimana kelanjutan nasib Widuri setelah keputusan ini, readers?
Apakah Raka bisa tepati janjinya, atau semua bakal hancur pelan-pelan?
Pantengin terus kelanjutannya ya!
Jangan lupa komen, like, dan vote kirsan-nya ya readers!!
Papayyy~ salam hangat dari author ❤️