NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Meski rumah Asterion sudah diperbaiki semalaman oleh teknisi Stellaris, hawa dingin masih tersisa di dalam dinding.

Asterion melangkah ke depan pintu dengan tas kecil di punggung, bersiap menuju TK. Di sampingnya, Nebula berdiri tegap dengan celemek kelinci masih tergantung di lehernya—ia belum sempat melepasnya setelah membantu Elsha di dapur.

Asterion menghela napas panjang.

“Untung aku selamat dari ayah…” gumamnya lirih.

Nebula menoleh dengan tatapan tenang. “Apakah Anda berbicara pada saya, Tuan Asterion?”

“Bukan untukmu,” jawab Asterion, tapi wajahnya seketika masam ketika ia mengingat kembali insiden sebelum berangkat.

Sesaat sebelum Asterion hendak melangkah keluar, Ryu—dengan tubuh penuh perban—duduk di kursi ruang tengah. Meski wajahnya masih pucat, matanya menyalak seperti naga yang kehilangan sayap.

“Asterion,” panggilnya dengan suara berat. “Jangan pergi dulu sebelum menjelaskan… di mana kau bisa mengenal sosok seperti Nebus? Siapa sebenarnya dia? Apakah dia…"

Asterion merasa keringat dingin menetes di pelipisnya. Ah, gawat… kalau aku jawab jujur, ayah bisa makin panik. Kalau aku bohong, ayah pasti bisa merasakannya.

Untunglah, tepat ketika Ryu bangkit dan hendak meraih bahunya, suara keras terdengar.

DUAAANG!

Elsha muncul dari dapur dengan wajah kesal, memegang panci baja yang masih mengepul. Tanpa basa-basi, ia menghantam kepala Ryu hingga tubuh pria perkasa itu tumbang tak berdaya.

“Sudah kubilang, jangan ganggu anakmu di pagi hari!” bentaknya sambil memegang pinggang.

Asterion hanya terdiam.

Terima kasih, Ibu. Kau penyelamatku sekaligus penjahat rumah tangga terbesar.

Itulah sebabnya Elsha tidak bisa mengantarnya kali ini—ia sibuk menyeret Ryu yang pingsan kembali ke kamar.

Kembali ke Jalan

Nebula menoleh ke arah Asterion yang wajahnya masih pucat. “Apakah Anda baik-baik saja, Tuan?”

Asterion mengangguk sambil menyeka keringat. “Ya… begitulah. Dengarkan aku, Nebula. Karena ayahku beranggapan kalau kau itu Star Soul tingkat 6, maka pertahankan kekuatanmu sampai di level itu saja. Jangan pernah menunjukkan kekuatan melebihi kapasitas itu. Mengerti?”

Nebula tersenyum tipis. “Anda tidak perlu khawatir, Tuan. Saya mengerti.”

Asterion menatapnya tajam beberapa detik.

Mengerti? Aku ragu kau benar-benar mengerti. Kau terlalu aneh untuk bisa dipercaya begitu saja.

Namun ia tidak melanjutkan. Mereka berdua melangkah di trotoar, udara pagi menyegarkan tapi juga penuh suara kendaraan para Hunter yang bersiap menjaga kota.

Di persimpangan jalan, sebuah layar hologram raksasa memancarkan siaran berita nasional. Suara pembawa berita yang tegas menggema di udara.

“Pemirsa, telah dikonfirmasi munculnya Gerbang Rasi Hitam di Pulau Jeju. Semua Hunter Rank-S Korea telah dipanggil untuk menangani anomali ini. Penduduk Jeju sudah sepenuhnya dievakuasi. Para ahli memperingatkan bahwa gerbang ini jauh berbeda dari rasi-rasi yang pernah muncul sebelumnya. Energi yang terdeteksi… tidak biasa, bahkan tampak melawan hukum realitas itu sendiri.”

Kerumunan orang yang menonton terdiam, wajah mereka tegang.

Asterion ikut berhenti melangkah. Pandangannya terpaku pada pusaran hitam yang ditampilkan di layar, seakan menelan cahaya di sekitarnya. Ia bergumam, “Gerbang… rasi hitam.”

Tatapannya beralih pada Nebula. “Kau tahu darimana asal gerbang itu?”

Nebula menatap layar beberapa detik, lalu matanya yang tenang menyipit sedikit.

“Saya juga tidak yakin, Tuan. Namun… ada sesuatu yang jelas terasa.”

“Apa itu?”

“Di dalam gerbang itu… terdapat hukum semesta.”-

Kata-kata itu menusuk Asterion. Ia bahkan berhenti bernapas sejenak.

“Hukum… semesta?” ulangnya lirih.

Nebula menatapnya serius, berbeda dari biasanya yang cenderung datar. “Ya. Seperti tali takdir yang ditulis sebelum bintang lahir. Jika gerbang itu dibiarkan, mungkin bukan hanya Korea yang terguncang, tapi seluruh alam.”

Asterion tercekat. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi merasa otaknya belum cukup dewasa untuk memahami kata-kata itu. Lagipula, ia hanya anak TK.

“…makin lama aku makin pusing, apakah aku akan stress di usia dini?,” gumamnya dalam hati.

Tak lama, mereka sampai di depan bangunan besar dengan cat cerah dan mural hewan imut di dindingnya. Anak-anak kecil berlarian sambil tertawa, para orangtua menurunkan anaknya masing-masing.

Di tengah keceriaan itu, aura Nebula yang gelap dan misterius membuat beberapa orangtua menoleh curiga. Namun Nebula tak peduli—ia hanya menunggu instruksi tuannya.

Asterion menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan bayangan tentang gerbang rasi hitam. Ia menoleh pada Nebula dengan wajah sok serius.

“Hei, Nebula. Aku punya tugas untukmu.”

Nebula menunduk, ekspresinya penuh hormat. “Berikan perintahmu, Tuan.”

Asterion mengeluarkan botol yogurt dari dalam tasnya. Tutupnya masih setengah terbuka, sisa dari sarapan pagi tadi. Ia menunjukkannya seperti memperlihatkan harta karun.

“Aku ingin kau bawakan aku banyak yogurt dari toko.”

Nebula mengangguk dalam-dalam. “Perintahmu mutlak.”

Dan tanpa menunggu, ia berlari menjauh dengan kecepatan kilat, meninggalkan jejak angin di jalanan.

Asterion berdiri di tempat, puas dengan kewibawaannya. Senyum kecil muncul di bibirnya.

“Hhh… akhirnya aku bisa makan yogurt sepuasnya, asal tidak ketahuan ibu...”

Namun senyum itu perlahan menghilang. Wajahnya menegang.

“…Tunggu sebentar.”

Matanya melebar.

“Apakah… dia bawa uang?”

Kepanikan mendadak melanda. Ia bisa membayangkan Nebula berdiri di depan kasir minimarket, membawa puluhan yogurt, lalu menatap kasir dengan tatapan kosong.

“Celaka…"

Di sisi lain kota, pintu minimarket terbuka dengan bunyi bel kecil.

Nebula masuk dengan wajah tanpa ekspresi, celemek kelinci masih melekat di tubuhnya, dan langsung menuju rak pendingin yogurt.

Kasir yang sedang mengetik pesan di ponselnya mendongak. Matanya membesar melihat sosok tinggi dengan aura mencekam mengambil seluruh rak yogurt, menumpuknya di pelukannya yang seolah tak terbatas.

Nebula berjalan ke kasir dengan langkah mantap.

“Ini… untuk Tuan Asterion.”

Kasir hanya bisa menelan ludah.

“U-uh… totalnya… 1.200.000 won, Tuan.”

Nebula menatap kasir dengan tatapan kosong.

“…Uang? Apa itu Uang?”

Kasir merasa jantungnya berhenti berdetak.

Di ruang rapat tertinggi gedung Stellaris, kaca transparan setinggi langit menyingkap pemandangan kota bercahaya malam—namun tidak seorang pun di ruangan itu sempat menikmatinya. Di tengah meja panjang berbahan obsidian hitam, lima Hunter Rank-S duduk diam. Wajah mereka, berbeda satu sama lain, tetapi tatapan mereka sama: berat, serius, penuh dengan beban masa depan.

Di ujung meja, dua petinggi Stellaris berdiri. Jung Ha Yoon dengan sorot mata tajam yang selalu menyimpan ketenangan, menekan layar proyektor holografik. Sampingnya, Baek Ji Won dengan setelan rapi dan aura dominan, menatap para Hunter seakan ingin menusuk ke dalam jiwa mereka.

Hologram raksasa dari sebuah gerbang kosmik berputar, warnanya hitam legam berbalut kilatan ungu. Aura mengerikan seakan keluar dari proyeksi itu, membuat udara di ruangan berat.

“Ini bukan sekadar gerbang biasa,” suara Ha Yoon menggema. Tenang, tetapi cukup untuk membuat semua perhatian tertuju padanya. “Gerbang Rasi Hitam telah kembali muncul.”

Sunyi. Hanya dentuman halus detak jantung yang bisa dirasakan oleh tiap orang di dalam ruangan.

Daehyun, duduk di kursi paling ujung dengan tatapan kosong, tidak bergeming. Matanya seperti menatap jauh menembus hologram, seolah mencari sesuatu yang tidak dimengerti orang lain.

Hunter pria bertubuh kekar dengan rambut pirang, Leonard Jang, menepuk meja keras.

“Gerbang itu seharusnya sudah lenyap lima belas tahun lalu! Bukankah kita semua menyaksikan para legenda—para Hunter sebelum kita—mengorbankan hidup mereka untuk menutupnya?!” Suaranya menggema, penuh amarah bercampur putus asa.

“Aku masih mengingatnya,” timpal Han Seok Min, Hunter berkacamata dengan aura dingin yang seperti pisau tajam. “Tubuh-tubuh mereka yang jatuh di medan pertempuran, darah yang mengalir di antara runtuhan... jangan katakan pada kami bahwa semua itu sia-sia.”

Ha Yoon menghela napas. “Tidak sia-sia. Tanpa pengorbanan mereka, dunia tidak akan pernah bertahan sampai hari ini. Namun... sesuatu telah berubah. Ada kekuatan di balik layar yang membuka kembali segel itu.”

“Omong kosong!” Suara berat seorang wanita, Alyssa Moon, menghantam udara. Rambut peraknya berkilau oleh cahaya neon kota di belakangnya, matanya membara dengan kebencian. “Kalau benar ada kekuatan yang mampu membuka segel itu, berarti ada pengkhianat di antara kita. Entah dari organisasi ini, atau dari Hunter sendiri.”

Ruangan langsung tegang. Semua menoleh, sebagian menunduk, sebagian lagi menatap balik dengan curiga.

Baek Ji Won menyela dengan suara yang dalam dan menggetarkan dada. “Pernyataanmu berbahaya, Alyssa. Stellaris tidak membiarkan pengkhianat berkembang di tubuhnya.”

“Lalu bagaimana kau menjelaskan ini?!” Alyssa menunjuk hologram. “Gerbang itu tidak mungkin terbuka begitu saja! Sesuatu... atau seseorang... telah mendorongnya kembali ke dunia kita!”

Ketegangan makin menajam. Leonard mengepalkan tinjunya. Han Seok Min menahan diri dengan dingin, tapi jelas terlihat urat di pelipisnya.

Di tengah keributan itu, suara tenang akhirnya terdengar. Suara yang membuat semua kepala menoleh.

“Apakah kalian lupa,” Daehyun akhirnya bersuara. Suaranya datar, kosong, tapi justru itulah yang membuat bulu kuduk merinding. “Gerbang Rasi Hitam bukan hanya sekadar celah. Itu adalah pintu... menuju sesuatu yang bahkan legenda tidak mampu sepenuhnya mengerti.”

Tatapan kosongnya perlahan beralih ke para Hunter lain.

“Kalian bicara soal pengkhianat. Kalian bicara soal kesia-siaan. Tapi tidak ada yang bertanya pertanyaan paling penting—kenapa sekarang?”

Sunyi kembali menyelimuti ruangan.

Alyssa menahan lidahnya. Leonard menggertakkan gigi, seakan ingin membantah, tapi tidak menemukan kata.

Ha Yoon menatap Daehyun, lalu berkata, “Itu pertanyaan yang tepat. Analisis kami menunjukkan—gerbang ini tidak sekadar muncul kembali. Ia... dipanggil.”

“Dipanggil?” Han Seok Min mengerutkan dahi. “Oleh siapa?”

Baek Ji Won menekan layar hologram lagi. Muncul data-data: grafik energi, rekaman satelit, pola bintang yang kacau.

“Oleh sesuatu yang lebih besar dari kita semua. Energi yang kami temukan bukan berasal dari dunia ini, bahkan bukan dari rasi bintang yang pernah kita pelajari. Kalian tahu apa artinya?”

Mereka terdiam.

Alyssa akhirnya bersuara dengan nada rendah, hampir berbisik. “Itu berarti... ancaman kali ini bukan hanya pada dunia kita. Tapi pada seluruh jagat.”

Ketika kata-kata itu terucap, ruangan seolah mendingin beberapa derajat.

Leonard menghantam meja lagi. “Kalau begitu, hentikan omong kosong ini dan katakan rencana kalian! Apa yang Stellaris inginkan dari kami?!”

Ha Yoon menatap mereka satu per satu, lalu berkata tegas:

“Kami ingin kalian bersiap. Bukan sekadar untuk bertarung... tapi untuk mengorbankan segalanya. Jika kalian memilih mundur, lakukan sekarang. Karena ketika gerbang itu terbuka penuh—tidak ada jalan kembali.”

Hening.

Daehyun menutup matanya sejenak, napasnya berat. Lalu ia berdiri, kursinya berdecit tajam. Semua menoleh padanya.

“Kalau benar ini adalah panggilan dari sesuatu yang lebih besar... maka aku ingin melihat siapa yang berani menantang kita.” Tatapannya kosong, tetapi ada kilatan api samar di dalamnya. “Aku tidak percaya pada pengorbanan sia-sia. Kalau gerbang itu muncul lagi... berarti ada alasan.”

“Apa kau gila?” Alyssa membalas tajam. “Kau berbicara seolah ingin menyambut mereka masuk ke dunia ini!”

Daehyun menoleh padanya perlahan. “Bukan menyambut. Tapi menantang. Bedanya tipis, tapi itulah satu-satunya jalan.”

Atmosfer ruangan pecah oleh perdebatan sengit. Alyssa dengan emosinya, Leonard dengan amarahnya, Han Seok Min dengan logikanya, bahkan Hunter kelima yang sejak tadi diam—Ryu Kael, pria bermata tajam layaknya elang—akhirnya ikut bersuara.

“Berhenti saling menyerang. Kita semua di sini bukan karena ego, tapi karena ancaman yang sama. Kita bisa menuduh, bisa berdebat... tapi gerbang itu tidak akan menunggu kita menyelesaikan pertengkaran.”

Kata-katanya menghantam tepat sasaran. Sunyi kembali menguasai ruangan.

Baek Ji Won mengangguk pelan. “Benar. Kalian adalah lima Rank-S terbaik yang kami punya. Jika kalian terpecah... maka dunia benar-benar tidak punya harapan.”

Ha Yoon menatap mereka, kali ini suaranya lebih lembut, tapi tegas.

“Pilih. Bertarung bersama kami... atau tinggalkan ruangan ini sekarang. Karena ketika perang dimulai, kalian tidak bisa lagi berpaling.”

Kelima Hunter saling bertukar pandang. Aura mereka menekan udara, membentuk ketegangan yang membuat jendela kaca hampir bergetar.

Daehyun akhirnya berkata, pelan tapi jelas, “Kalau ini adalah perang yang akan menentukan segalanya... maka aku tidak akan mundur. Tidak kali ini.”

Dan seolah kata-katanya menjadi pemicu, satu per satu Hunter lainnya pun bersuara. Alyssa mendengus, lalu mengangguk. Leonard menatap lantai dengan penuh amarah, lalu menggenggam tinjunya. Han Seok Min hanya menutup kacamata dengan jarinya, tanda ia siap. Ryu Kael sekadar mengangguk singkat.

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!