Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 26 Batuk Berdarah
Ruang UGD dipenuhi hiruk pikuk tim medis. Mereka sedang berpacu dengan waktu. Setiap gerakan adalah perhitungan cermat, setiap suara adalah perintah yang harus segera dilaksanakan.
Dzaka terbaring tak berdaya di atas ranjang pemeriksaan, selang infus menancap di lengannya yang pucat. Mata yang biasanya menatap sayu dan tulus tertutup rapat dan wajah tampannya pucat pasi.
Monitor di sampingnya menampilkan garis-garis elektrokardiogram yang berdenyut tidak stabil, mencerminkan perjuangan tubuh Dzaka. Beberapa menit sebelumnya, setelah dipindahkan dari ambulans, kondisi Dzaka mendadak memburuk.
Awalnya dokter hanya menduga pingsannya Dzaka karena kondisi tubuhnya memang sedang tidak baik, tetapi kemudian hal mengejutkan muncul. Tubuhnya yang lemah bereaksi dengan cara yang tak terduga.
Batuk keras mengguncang tubuh tak sadarkan diri itu bahkan membuat mata yang semula terpejam mengerjap lemah. Cairan merah kehitaman, kental dan berbau anyir, keluar dari mulut Dzaka.
"Dokter! Pasien batuk darah!" seru perawat yang berada di sebelah Dzaka dengan suara penuh kepanikan.
Dokter yang sedang membaca monitor detak jantung Dzaka langsung menoleh, matanya membelalak. Dia segera menghampiri ranjang, memeriksa lebih dekat. Raut wajahnya berubah serius.
"Mami ... Papi ...." Suara lirih itu berhasil masuk ke rungu sang dokter membuatnya tersentak lalu menoleh.
Mata sayu Dzaka terbuka sedikit dengan pandangan lurus, seolah dia sedang menatap seseorang. Bibir yang pucat dengan sisa-sisa darah yang masih basah itu bergerak pelan, membuat hati siapa saja yang melihatnya merasa iba.
"Jangan ... tinggalkan ... Dzaka ...." Lirihan itu terdengar menyayat hati. Dengan suara yang semakin lemah menuju akhir, mata itu kembali menutup rapat.
Monitor detak jantung Dzaka mulai menunjukkan grafik yang tidak stabil, naik turun secara drastis. Tubuh rapuh tak berdaya Dzaka terlihat gemetar.
Dokter langsung mencoba menahan pergerakan tubuh rapuh Dzaka. Namun, tubuh Dzaka mengalami kejang-kejang. Bahkan, kulitnya terasa panas karena suhu tubuhnya yang meningkat tiba-tiba. Bahkan bibirnya membiru.
"Tekanan darahnya turun drastis!" seru seorang perawat. "Napasnya semakin dangkal!"
"Cepat! Siapkan peralatan! Kita butuh pemeriksaan lebih lanjut. Segera!" Suara dokter itu mengandung perintah mutlak, karena setiap perintah, taruhannya adalah keselamatan dan nyawa seseorang.
...----------------...
Sebuah mesin sinar-X bergerak di atas tubuh Dzaka, kemudian hasil pemindaian langsung muncul di monitor. Dokter menatap layar itu, raut wajahnya semakin mengeras.
"Lihat ini," ujar dokter pada petugas yang menjalankan mesin sinar-X seraya menunjuk ke area dada Dzaka pada gambar yang muncul di monitor.
"Ada keretakan pada tulang rusuk kanan bagian bawah," jelas petugas tersebut.
Dokter itu terkesiap, mengamati gambar itu dengan raut wajah tak terbaca. Keretakan tulang rusuk itu sendiri sudah serius.
Dokter kemudian mengamati gambar paru-paru Dzaka lebih saksama. Sebuah noda kecil namun mencurigakan terlihat di sana, seolah ada kerusakan minor.
"Dan ini?" Dokter menunjuk sebuah titik kecil pada paru-paru Dzaka.
Petugas mesin sinar-X itu mengikuti arah yang ditunjuk. "Sepertinya ada patahan tulang kecil dari tulang rusuknya yang merobek paru-paru."
Jawaban itu membuat keheningan sesaat, sebelum petugas itu melanjutkan, "Dugaan saya, patahan ini akibat benturan keras pada tubuh pasien."
Raut wajah dokter semakin serius. Dia menyatukan kedua diagnosis itu. "Batuk darahnya jelas disebabkan oleh patahan tulang yang merobek paru-paru. Tapi keretakan pada tulang rusuk ini ... ini bukan akibat kecelakaan."
Dokter itu menoleh ke arah petugas di sebelahnya, matanya menyiratkan kesimpulan yang mengerikan. "Ini... bisa jadi sudah retak sebelum kejadian ini, kan?"
Petugas itu tidak ingin menyimpulkan terlalu dalam. "Bisa jadi pasien ini pernah jatuh dan menyebabkan tulang rusuknya retak." Petugas itu juga melanjutkan. "Yang jelas pasien tidak sadar bahwa dia mengalami keretakan tulang rusuk."
Batuk keras kembali terdengar bersamaan dengan darah yang mengalir di sudut bibir. Seorang perawat dengan sigap membersihkan darah itu sebelum mengalir ke area telinga Dzaka.
Dzaka membutuhkan penanganan darurat untuk mengatasi pendarahan di paru-parunya. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Keputusan harus segera diambil.
"Segera minta persetujuan keluarga untuk tindakan operasi!" Perawat yang sejak tadi siap siaga langsung menjalankan perintah dari sang dokter.
Suara langkah kaki perawat itu baru saja mengagetkan mereka yang berada di depan UGD. Wajahnya panik dan napasnya tersengal. "Keluarga dari pasien Dzaka?" teriaknya dengan suara sedikit bergetar.
Dimitri segera menghampiri, "Ya, kami. Ada apa, Suster? Apa yang terjadi dengan Dzaka?"
Perawat itu mencoba menenangkan diri, menatap Dimitri, Paman Adi, dan Tanvir bergantian. "Kondisinya ... kritis. Dokter sedang melakukan upaya terbaik, tapi ... ada hal yang tidak terduga. Kami membutuhkan izin untuk tindakan operasi segera. Ada pendarahan di paru-parunya."
Paman Adi langsung lemas, Dimitri menahan napas, dan Tanvir yang tadinya kaku kini merasakan seluruh tubuhnya dilanda getaran hebat. Operasi? Pendarahan di paru-paru? Ini jauh lebih buruk dari yang mereka bayangkan.
"Tolong lakukan yang terbaik," pinta Paman Adi dengan suara lirih. Rasanya hal-hal mengejutkan sudah menarik semua energi yang dia punya.
"Silakan pihak keluarga mengurus prosedurnya ke bagian administrasi." Perawat itu langsung menghilang kembali ke ruangan tempat Dzaka terbaring.
"Siapkan untuk tindakan darurat! Kita harus menghentikan pendarahan dan mengeluarkan patahan tulang itu sebelum kondisinya semakin memburuk!" perintah Dokter.
Mereka mulai memindahkan Dzaka ke ruang operasi. Selang-selang dan kabel medis dipindahkan dengan hati-hati, memastikan semua terhubung dengan baik pada tubuh Dzaka.
Napas Dzaka masih terengah. Tubuh rapuhnya itu bahkan sesekali masih bergetar lemah. Dzaka tidak sadar akan apa yang sedang terjadi padanya, tidak tahu bahwa nyawanya sedang terancam.
Di tengah riuhnya suara mesin, bisikan perawat, dan perintah dokter, tubuh Dzaka terbaring diam. Dzaka tidak merasakan dinginnya alat medis yang menempel di kulitnya, tidak mendengar alarm monitor yang berbunyi sesekali, juga tidak merasakan sakit yang sebenarnya telah menghantam tubuhnya begitu parah.
Namun, di suatu tempat di bawah alam sadarnya, sebuah pertarungan sengit sedang berlangsung. Tubuh Dzaka berjuang melawan pendarahan yang terus terjadi, melawan demam yang membakar, dan melawan trauma dari benturan yang merobek paru-parunya.
Setiap denyut jantung dan setiap napas dangkalnya adalah sebuah perjuangan untuk tetap bertahan.
Dunia Dzaka saat itu hanya terdiri dari kegelapan dan keheningan. Sesekali terinterupsi oleh kilasan cahaya samar atau suara yang teredam. Dia layaknya sebuah cangkak kosong. Namun di dalam dirinya, ada kehidupan yang tengah berjuang mati-matian dan kematian yang mengintai, menunggu Dzaka datang padanya.
"Tekanan darahnya menurun drastis!" Suara tertahan dari perawat itu membuat suasana ruang operasi semakin mencekam.
"Siapkan kantong darah segera!" Dokter berusaha keras tak terpengaruh dengan suasana menegangkan itu.
"Baik!" Seorang perawat langsung berlari ke luar ruang operasi menuju ruang stok darah. Tak ada waktu untuk mengurangi kecepatan larinya. Nyawa seseorang sedang dipertaruhkan.
"Tolong berikan kantong darah negatif!" seru perawat itu dengan tak sabaran.
Petugas di ruang stok darah langsung memeriksa persediaan darah. Namun, tangannya nampak sibuk membolak-balik stok darah yang ada.
Petugas itu datang dengan wajah lesu dan gelengan pelan. "Stok darah negatif baru saja habis untuk operasi korban kecelakaan kerja."
Perawat itu diserang panik. Tapi sebelum otaknya kehilangan kendali, dia kembali berlari ke arah ruang operasi dan menemukan tiga orang menatap pintu ruang operasi dengan ekspresi tak terbaca.
"Kami kehabisan stok darah negatif. Apakah pihak keluarga bisa membantu mencarikannya?" ujar perawat itu mengalihkan perhatian ketiga orang di sana.
Dimitri nampak berpikir sejenak seolah sedang berdiskusi dengan dirinya sendiri. "Sa--"