NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Satu Bulan setelah malam di warung kecil itu, di mana cincin sederhana melingkar di jari manis Sekar, hari yang mereka tunggu pun tiba—hari pernikahan.

Tak ada gedung mewah atau pesta besar dengan ribuan tamu. Hanif dan Sekar memilih rumah Hanif sebagai tempat mengucap janji suci. Rumah itu kini dihiasi kain putih dan hijau lembut. Di halaman depan, sebuah tenda sederhana berdiri kokoh. Kursi-kursi disusun rapi. Di meja panjang, ibu-ibu tetangga sibuk menyusun kue tradisional: lemper, pastel, dan kue lapis. Aroma masakan dari dapur menebar ke seluruh halaman, membuat suasana terasa seperti hajatan khas kampung yang hangat dan akrab.

Di sudut tenda, anak-anak kecil berlarian, tertawa sambil sesekali mencuri pastel yang baru dikeluarkan dari kukusan. Beberapa laki-laki membantu memasang sound system sederhana, memastikan mikrofon berfungsi untuk akad nanti. Musik gamelan lembut mengalun dari speaker, menciptakan suasana syahdu.

“Mbak Sekar cantik banget,” gumam salah satu tetangga, melihat Sekar yang duduk di dalam kamar, mengenakan kebaya putih gading sederhana. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi bunga melati. Riasannya tipis tapi manis, memperlihatkan rona alami wajahnya yang berseri hari itu.

Sekar menatap bayangannya di cermin. Ada gugup di dadanya, tapi lebih banyak haru. Dulu, ia pernah berpikir tak akan pernah bisa menjalani kehidupan normal, apalagi menikah. Tapi pagi ini, ia tidak hanya akan menjadi istri seseorang, tapi istri dari pria yang tidak pernah berhenti menggenggam tangannya, bahkan ketika ia merasa tak layak untuk dicintai.

Ia mengusap sedikit keringat di telapak tangannya, lalu menunduk sebentar, menarik napas panjang. “Bismillah…” bisiknya pelan, seolah sedang meyakinkan diri bahwa ia memang layak bahagia.

Dari jendela, suara ibu-ibu yang bersenda gurau dan tawa anak-anak menyentuh telinganya. Ada kehidupan di luar sana. Kehidupan baru yang siap ia jalani, bukan lagi sebagai perempuan yang memikul luka lama, tapi sebagai istri yang dicintai dengan tulus.

Hanif, di sisi lain rumah, berdiri mengenakan beskap abu-abu muda. Ia tampak bersih dan tenang, tapi keringat kecil muncul di pelipisnya. Ayahnya menepuk bahunya sambil tersenyum, “Tenang saja, Nak. Ini bukan akhir dari kebebasan, ini awal dari petualangan baru.”

Hanif tertawa kecil. “Petualangan yang sudah lama aku tunggu-tunggu, Yah.”

Ia menatap halaman yang mulai dipenuhi tamu. Sebagian besar adalah tetangga, teman lama, dan beberapa rekan kerja dari rumah sakit. Tak ada dekorasi berlebihan, hanya bunga-bunga sederhana di sudut tenda dan kursi rotan dengan hiasan kain putih. Tapi justru kesederhanaan itu yang membuat semuanya terasa lebih dekat di hati.

Ibunya datang menghampiri, membawa seikat bunga tangan untuk diberikan pada Sekar. “Ibu sudah titipkan ke Mbak Rini ya, nanti biar dia yang kasih ke Sekar pas keluar dari kamar. Sekar pasti senang.”

Hanif mengangguk. Hatinya hangat. Ada kelegaan dalam dadanya karena hari ini benar-benar terjadi—hari ketika ia bisa menyambut perempuan yang dicintainya bukan hanya dengan rasa, tapi dengan janji dan ikatan.

Beberapa menit kemudian, suara pembawa acara terdengar melalui mikrofon, memanggil saksi dan penghulu untuk bersiap. Tamu-tamu mulai duduk, dan suasana menjadi sedikit lebih hening.

Di dalam kamar, Sekar berdiri dengan bantuan Mbak Rini. Langkahnya ringan, meski hatinya masih berdebar. Tangannya menggenggam buket kecil bunga kamboja putih dan melati. Saat pintu kamar terbuka dan ia melangkah keluar, semua mata tertuju padanya.

Ada yang menahan napas. Ada yang tersenyum haru. Dan di antara kerumunan itu, mata Hanif tak pernah lepas dari sosok Sekar. Ia berdiri, menatap perempuan yang akan menjadi istrinya dengan mata yang nyaris basah.

---

Prosesi akad nikah berlangsung di bawah tenda, dengan langit cerah sebagai atap tambahan yang tak ternilai. Hanif duduk bersila di depan penghulu, dikelilingi oleh keluarga dan sahabat terdekat. Sekar menunggu di dalam rumah, jantungnya berdegup kencang saat suara penghulu mulai terdengar dari pengeras suara kecil.

Dengan suara mantap, Hanif mengucap ijab kabul. Tak ada jeda, tak ada salah ucap. Saksi langsung menyahut, “Sah.” Seruan “Alhamdulillah” bergema, diiringi tepuk tangan ringan dari para tamu.

Sekar menahan napas. Air matanya tumpah saat mendengar pengesahan itu. Ia sudah menjadi istri Hanif—secara hukum, secara agama, dan secara perasaan.

Beberapa saat kemudian, Hanif masuk ke dalam rumah, menunduk rendah di depan Sekar yang kini duduk menunduk malu. Ia menyentuhkan keningnya ke tangan Sekar, kemudian Sekar membalas dengan mencium punggung tangannya. Peluk hangat menyatukan keduanya, bukan hanya sebagai simbol cinta, tapi juga kemenangan kecil mereka atas luka-luka masa lalu.

---

Acara makan siang berlangsung dengan meriah. Para tamu menikmati hidangan khas Jawa: nasi kuning, ayam ingkung, sayur lodeh, dan sambal terasi. Tawa anak-anak, obrolan para ibu, dan canda bapak-bapak menciptakan suasana kampung yang hidup. Beberapa teman Hanif dari rumah sakit juga datang, ikut menyatu tanpa sekat dengan warga sekitar.

Hanif dan Sekar tak duduk di pelaminan. Mereka lebih memilih berkeliling, menyapa tamu-tamu, mengucapkan terima kasih, dan mencatat setiap momen kecil dalam hati. Tidak ada fotografer profesional, hanya adik Hanif yang sesekali mengambil gambar dengan kamera ponsel. Tapi senyum mereka begitu nyata dalam tiap jepretan.

Saat sore mulai merayap, dan tamu-tamu mulai pamit, Sekar duduk di tangga rumah, membuka sepatunya dan menarik napas panjang. Hanif datang membawakan segelas teh manis.

“Kita berhasil ya,” katanya sambil duduk di samping Sekar.

Sekar mengangguk. “Ternyata bahagia bisa sesederhana ini.”

Hanif menyandarkan kepalanya ke bahu Sekar. “Mulai sekarang, kamu nggak perlu takut lagi. Rumah ini rumah kamu juga. Hatiku… juga rumahmu.”

Sekar menggenggam tangannya. “Dan kamu juga rumahku.”-

Malam pertama mereka bukan tentang gairah atau gemuruh romantisme. Setelah semua tamu pulang, mereka duduk di kamar yang kini sudah menjadi kamar bersama, melepas lelah sambil memandangi langit malam dari jendela.

Sekar duduk di tempat tidur, mengenakan daster lembut yang diberikan ibu Hanif. Rambutnya digerai, wajahnya bersih tanpa riasan. Ia terlihat jauh lebih tenang.

Hanif mendekat, lalu duduk di depannya. “Boleh aku peluk kamu?”

Sekar mengangguk pelan.

Hanif menarik tubuh Sekar ke dalam pelukannya, pelan, seperti memeluk sesuatu yang rapuh namun berharga. Sekar tidak kaku. Tidak lagi. Tubuhnya bersandar dengan nyaman di dada Hanif.

Air mata mengalir lagi dari mata Sekar. Tapi kali ini bukan karena sakit. “Dulu aku takut disentuh, Hanif. Tapi sekarang, pelukanmu justru bikin aku tenang.”

Hanif mencium puncak kepalanya. “Aku akan selalu minta izin. Selalu.”

Sekar tersenyum. “Sekarang aku ingin kamu peluk aku… setiap malam.”

Malam itu mereka tidak langsung tidur. Mereka berbincang hingga larut. Membicarakan rencana hidup, mimpi sederhana, bahkan hal-hal kecil seperti ingin menanam pohon mangga di halaman belakang, atau mendekor ulang dapur. Mereka tertawa, saling menggoda, dan di sela-sela percakapan, saling mencintai—bukan dengan terburu-buru, tapi dengan ketulusan.

1
R Melda
semangat thor,,,,,
Nus Wantari
lanjut Thor...🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!