NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Bab 25 -

“Maaf, aku agak telat,” suara tegas itu terdengar bersamaan dengan deru mesin motor sport yang baru berhenti di depan gedung parkir.

Lady Gladys melangkah turun dari motor hitam berkilatnya, melepas helm fullface dengan gerakan perlahan. Rambut panjangnya yang sedikit berantakan menari ditiup angin malam. Aryo berdiri terpaku, matanya refleks menatap sosok polwan tangguh itu. Jaket kulit yang ia kenakan terbuka sebagian, memperlihatkan kaos hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Celana jins biru tua membentuk siluet kaki yang jenjang dan kuat. Pemandangan itu cukup membuat Aryo menelan ludah tanpa sadar.

Gladys menyadari tatapan itu. Ia menjentikkan jarinya di depan wajah Aryo, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya.

“Sori... sori,” Aryo menggaruk tengkuknya canggung. “Aku cuma... tersihir. Jadi begini penampilanmu kalau sedang tidak bertugas, ya?”

Gladys terkekeh pelan sambil menggeleng. “Kau ini, Aryo. Fokus dong. Sekarang mana buronannya?”

Tanpa banyak bicara, Aryo membuka bagasi belakang mobil hitamnya. Di sana, empat orang pria dengan pakaian lusuh dijejalkan berdempetan. Napas mereka tersengal, mata terpejam lemas, bekas luka di pipi dan dahi masih tampak baru.

Gladys mengangkat alis, separuh kagum separuh tak percaya. “Astaga... muat di situ?”

Aryo menyeringai. “Sekalian, biar mereka tidak bisa kabur. Lagipula, udara di bagasi sempit itu bikin mereka pingsan alami. Hemat tenaga.”

Gladys mendekat, meneliti wajah-wajah para buronan. “Tiga di antaranya aku kenal. Perampok yang menyerbu Money Changer tempo hari. Tapi yang ini—” ia menunjuk satu orang yang tampak lebih muda—“wajahnya baru kulihat.”

“Mungkin dia salah satu anak buah dari napi yang kabur kemarin. Si Ular Beracun,” kata Aryo sambil menatap tajam.

“Bisa jadi.” Gladys mengangguk pelan. “Nanti aku selidiki lebih lanjut.” Ia lalu menatap wajah Aryo dengan cermat, ekspresinya melembut. “Kamu sendiri? Baik-baik saja?”

Aryo mengangguk sambil tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja. Kamu perhatian banget sih.”

Gladys mendengus kecil, namun pipinya memerah. Ia buru-buru berdehem dan mengganti nada bicaranya. “Dengar, Aryo. Kamu harus mulai bawa senjata lagi. Aku tahu kamu mantan pasukan elit PamungkasCorps. Tembakanmu waktu itu, tepat mengenai dada anggota Ular Beracun. Tanpa pistol, kamu terlalu rentan.”

Tangan Aryo sedikit bergetar, mengingat masa lalunya. “Aku masih bisa bertahan tanpa pistol. Tapi... terima kasih atas peringatannya, Lady Gladys.”

Gladys memanggil timnya. Dalam waktu singkat, empat buronan itu dibawa ke mobil patroli untuk dikirim ke sel tahanan Kota J.

Begitu semuanya selesai, Aryo melajukan mobilnya kembali ke kondo. Namun di perjalanan, bayangan sosok Gladys yang tangguh dan menawan tak bisa keluar dari pikirannya. Senyumnya, sorot matanya, bahkan caranya memegang pistol—semuanya menempel di kepala Aryo seperti lukisan hidup.

Begitu masuk kondo, suara Meliana langsung menyambutnya dari ruang tamu.

“Dari mana saja kamu, Aryo?” tanyanya dengan nada tajam.

“Aku sudah bilang tadi, cuma ketemu teman di kafe,” jawab Aryo santai sambil melepas jaket.

“Teman apa... teman?” Meliana menyipitkan mata, suaranya mengandung cemburu.

“Teman lama. Dari kampung,” sahut Aryo tanpa menatap.

“Oh, pantas saja bela-belain keluar malam-malam. Dari kampung, ya? Jangan-jangan... cantik?”

Aryo menepuk jidat. “Temanku laki-laki, Mel.”

“Laki-laki?” Meliana mendengus tak percaya sambil menyilangkan tangan di dada. Aryo tak ingin memperpanjang perdebatan. Ia langsung berlalu masuk ke kamar dan membiarkan Meliana dengan wajah merajuknya sendiri.

Keesokan paginya, koran dan siaran berita televisi Kota J ramai membahas satu hal: kematian Roxil, pengusaha spa ternama yang ternyata menyimpan banyak rahasia. Media hanya menyebutnya tewas dibunuh di apartemennya. Tak ada yang tahu bahwa di balik kedok pengusaha itu, Roxil adalah bagian penting dari jaringan mafia Nagajaya.

Aryo membaca berita itu dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia menduga kuat pelakunya adalah Gaston. Namun saat mencoba menghubungi nomor pria itu, tak ada jawaban.

Di kediaman megah Wafi Zola, aroma tembakau dan kayu mahal memenuhi ruang kerjanya. Ia menatap foto Roxil dan Aryo bergantian.

“Cakra, selidiki kematian Roxil,” ujarnya dingin di ujung telepon.

“Baik, Pak Wafi. Begitu ada petunjuk, saya laporkan.”

“Periksa juga apakah ada kaitan dengan Aryo Pamungkas. Terakhir, dia yang datang ke kantor Roxil dan menghancurkan bisnis spa-nya.”

“Siap, Pak.”

Cakra menatap laporan dari anak buahnya, foto-foto TKP, dan hasil visum. Ia juga sempat menghubungi Lady Gladys untuk menanyakan keberadaan Aryo semalam.

Beberapa jam kemudian, Cakra menelepon balik Wafi.

“Pak, Aryo tidak berada di lokasi kejadian. Dia bersama tim kami semalam.”

“Begitu, ya?” suara Wafi terdengar datar, namun matanya menyipit. “Tapi aku yakin, tetap ada hubungannya.”

Pagi itu juga, telepon Aryo berdering. Nama Lady Gladys tertera di layar.

“Sudah lihat berita, Aryo?” suaranya terdengar serius.

“Yang tentang Roxil Nagajaya?” tanya Aryo.

“Ya. Cakra menanyakan keberadaanmu semalam. Sepertinya mereka masih mencurigaimu. Aku khawatir mereka akan menyeretmu lagi dalam kasus ini.”

“Tapi kamu tahu sendiri semalam aku bersamamu.”

“Itu bisa jadi alibimu,” jawab Gladys pelan. “Tapi hati-hati. Mereka tahu kau pernah mendatangi Roxil. Banyak orang berkuasa yang ingin menyingkirkanmu.”

Aryo terdiam sesaat. “Ya, aku tahu siapa mereka. Nagajaya bukan kelompok biasa.”

Gladys menahan napas sejenak sebelum berkata, “Aku tidak mau kamu terluka lagi. Mereka bukan orang yang mudah dibiarkan begitu saja.”

Aryo tersenyum samar. “Baiklah. Aku akan lebih hati-hati. Tapi kupikir kamu menelpon karena kangen.”

Gladys mendesah kesal bercampur malu. “Ah, kamu ini.” Ia menutup telepon dengan cepat.

Setiba di kantor Andara Group, Aryo sempat mengantar Meliana ke ruangannya sebelum dipanggil Pak Kamal, direktur utama. Di ruangannya yang luas dan beraroma kayu cendana, Kamal menatap Aryo serius.

“Hati-hati dengan keluarga Zola,” katanya perlahan. “Mereka bukan orang sembarangan. Konglomerat besar yang bahkan bisa membeli hukum.”

Aryo menatapnya waspada. “Mereka menuduhku lagi, Pak? Kali ini soal kematian Roxil?”

“Bisa jadi. Mereka punya pengaruh besar di kepolisian. Sekali mereka mau menjebakmu, mereka bisa buat bukti apapun terlihat nyata.”

Aryo mengepalkan tangan. “Padahal mereka yang memulai semua ini. Aku bahkan tidak tahu apa yang mereka mau.”

Kamal menatapnya dengan simpati. “Demi keselamatanmu dan Meliana, jangan serang mereka secara terang-terangan. Lakukan dengan cara... halus.”

“Halus?”

“Ya. Seperti waktu kamu di PamungkasCorps. Operasi senyap. Tak meninggalkan jejak.”

Aryo mengangguk. “Baik, Pak.”

Keduanya terdiam beberapa saat, sama-sama memikirkan jalan keluar. Setelah itu Aryo berpamitan keluar.

Begitu melangkah ke lorong, ia berpapasan dengan Chris, rekan kerja yang humoris.

“Hei, Aryo. Lama banget tadi di ruang Pak Kamal. Dapat promosi, ya?” godanya.

Aryo menyeringai. “Beliau barusan mau menjodohkanku sama Bu Meliana.”

Chris tertawa terbahak. “Haha! Gila kau. Berani banget ngimpi setinggi itu!”

“Namanya juga usaha,” balas Aryo santai.

Chris menggeleng. “Kupikir tadi kalian bicara soal kelompok Ular Beracun. Katanya, si pembunuh dari terowongan itu masih buron.”

Aryo langsung menatap tajam. “Kau tahu dari mana nama itu?”

“Dari Roni. Katanya dia dengar dari orang dalam.”

Aryo terdiam. Ia tahu pasti, Roni tidak seharusnya tahu nama kelompok itu. Berarti ada yang bocor… atau ada pengkhianat di antara mereka.

Sementara itu di kediaman Zola, Wafi masih menatap foto Aryo di mejanya. “Mungkin aku salah menuduhmu membunuh anakku,” gumamnya pelan. “Tapi aku yakin kau tahu siapa pelakunya.”

Ia menyesap rokoknya, matanya redup tapi penuh dendam. “Kalau benar kau sekuat kabar yang beredar, mungkin... kau bisa kugunakan untuk membalaskan dendamku.”

Ia menekan tombol telepon. “Cakra, siapkan pertemuan. Aku ingin bicara langsung dengan Aryo Pamungkas.”

Siang harinya di kantor Sukma Group, Meliana terlihat sibuk menghadiri rapat-rapat internal. Aryo nyaris tak sempat berbincang dengannya hingga waktu makan siang. Ketika ia kembali dari kantin, ia melihat seorang pria tampan duduk santai di sofa depan ruang kerja Meliana. Rambutnya rapi, jasnya mahal, sikapnya percaya diri.

Aryo menghampiri resepsionis di lantai 22. “Siapa dia?”

“Itu, Tuan Thomas,” jawab sang resepsionis. “Katanya mau menemui Bu Meliana. Setahu saya, mereka dulu pernah menjalin hubungan.”

Seketika, darah Aryo naik ke kepala. Jantungnya berdegup kencang, seperti disiram bara panas.

“Jadi... itu mantannya,” gumamnya pelan.

Ia menatap pintu ruangan Meliana yang tertutup rapat—dan untuk pertama kalinya, Aryo merasa amarah dan cemburu bergabung menjadi satu rasa yang sulit dikendalikan. Bagaimana kelanjutannya..

Bersambung...

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!