NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Strawberry Kiss

...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...

Begitu aku menyalakan dua lilin itu, aku langsung menutup tirai agar ruangan jadi agak gelap.

Aku tengok ke arah meja makan yang sudah kutata dengan suasana romantis, terus buru-buru balik lagi ke dapur.

Aku ingin malam ini jadi momen spesial buat Remy. Ini caraku buat lebih dekat sama dia.

Aku menyiapkan Terong Panggang dengan keju Parmesan, sama Bebek Panggang Saus Blackpapper. Sebelum Juwiie pulang tadi, dia sempat menunjukkanku ruangan wine dan bantu milihin botol yang paling pas buat makan malam ini.

Aku ambil 'Romanee Conti' dari kulkas, ambil Kotrek, dan mulai memikirkan bagaimana cara pakai alat itu.

“Butuh bantuan?” suara Remy tiba-tiba muncul dari belakangku.

“Ya, Tuhan!” Aku cekikikan kaget, terus menceletuk, “Please, banget.”

Aku ingin dengar suara beratnya lagi, seperti barusan. Ada sesuatu yang bikin jantungku terbolak-balik.

Aku kasih botol dan Kotreknya ke dia.

Dia sempat baca labelnya dulu, terus bilang, “Pilihan yang bagus.”

“Juwiie yang bantuin aku milih,” jawabku sambil menyeringai.

Tatapanku sempat melirik ke arah dia, jeans pudar, kaus putih polos, kaki telanjang. Sekilas, dia terlihat seperti cowok biasa.

Aku malah fokus ke tangannya waktu dia memutar Kotrek itu. Otot sama urat-urat di lengannya terlihat jelas banget.

Begitu botol terbuka, dia menyodorkannya lagi kepadaku. “Ada lagi yang bisa ku bantu?”

Aku menggeleng. “Enggak, kamu duduk aja di meja.”

Aku mengikutinya keluar dari dapur, dan sempat melihat senjata di pinggang celananya. Seketika, aku ingat lagi siapa dia sebenarnya.

Saat dia masuk ke ruang makan, matanya langsung menyapu pemandangan makan malam dengan cahaya lilin itu. Aku berusaha baca reaksinya.

Tatapannya kembali kepadaku sambil duduk. “Kita lagi ngerayain apa, nih?”

Aku tuangkan Wine dulu sebelum duduk di sebelahnya. “Enggak ada. Aku cuma pingin ngelakuin sesuatu yang spesial buat kamu.”

Tangannya menutupi tanganku, diremasnya lembut. “Makasih, kucing kecil,” katanya pelan.

Sambil taruh potongan bebek dan terong di piringnya, aku bertanya, “Kenapa kamu manggil aku ‘Kucing kecil’, sih?”

“Karena kamu sama imutnya kayak kucing kecil,” katanya.

Aku taruh makanan di piringku, terus memperhatikan dia saat mulai makan.

Segala hal di dalam diriku tiba-tiba tenang. Dia tutup mata, dan keluarkan erangan pelan.

“Gila, bebeknya lumer banget di mulut.” Dia buka mata lagi dan kasih tatapan yang bikin aku meleleh. “Kamu seharusnya jadi chef, tahu, enggak.”

Aku senyum seperti orang bego, senang banget melihat dia suka makanannya.

Tapi terus dahinya sedikit berkerut. “Emangnya itu cita-cita kamu?”

“Apa?” tanyaku sambil memotong kecil bebeknya. “Jadi chef?” Aku masukkan potongan itu ke mulut, menikmati rasanya.

“Iya.”

Aku menggeleng pelan. “Aku suka masak dan bikin kue, tapi cuma buat hiburan. Itu hal yang bikin aku tenang.” Terus aku ambil napas dan bilang, “Aku mau tanya sesuatu.”

Dia masih lanjut makan tanpa bicara apa-apa.

“Aku pingin ikut Misa Minggu pagi.” Aku bicara begitu pelan, tapi tatapan matanya langsung bikin perutku mual.

Remy menyeruput Wine nya dulu sebelum jawab, “Aku enggak berharap kamu mengubah rutinitas kamu, Rainn. Kamu tetap bisa jalani tugas di gerejamu.”

Aku langsung hembuskan napas lega, syukurlah. Dan dia sadar banget ekspresi legaku itu.

Tangannya menyentuh wajahku, menyelipkan rambutku ke belakang telinga. “Kecuali kamu mau ngelakuin hal gila ... Lain kali kamu enggak perlu minta izin aku.”

“Okay.”

“Tapi jangan keluar rumah tanpa Benny,” katanya lagi.

Aku mengangguk, terus lihat ke arah piring. “Ehm … Aku boleh tetap masakin buat Pastor Yeskil juga, enggak?”

Sudut bibirnya naik. “Tentu aja.”

Aku merasa lega banget. Aku diam sebentar, terus akhirnya bertanya, “Hari kamu gimana?”

Remy bersuara rendah, “Kamu benaran pingin tahu?”

Oke, aku sempat berpikir, apakah aku siap mendengar cerita tentang orang-orang yang dia siksa atau bunuh?

Tapi dia suami aku. Kalau aku mau belajar mencintai dia, ya aku harus terima semua sisi gelapnya juga.

Aku tarik napas dalam-dalam, terus mengangguk.

Dia angkat sebelah alisnya. “Aku seharian di galangan kapal. Bosen banget, sumpah.”

Aku agak kaget, bukan jawaban yang aku harapkan.

“Ngapain kamu di galangan kapal?”

Dia santai banget jawabnya, “Aku punya armada yang ngangkut barang ilegal ke seluruh dunia.”

Aku cuma bisa mengangguk sambil menyeruput Wine. “Berapa banyak bisnis yang kamu punya?”

“Santera, Rosemary, Midnight Heavens, sama armada itu.” Dia terlihat makin santai, suasananya jadi enak. “Tapi aku paling sering ada di klub.”

Karena aku enggak terlalu tahu soal Midnight Heaven, selain kalau Amilio suka nongkrong di sana. Jadi aku bertanya, “Kayaknya Sabtu malam pasti sibuk ya di sana. Kamu mau urus itu ke sana habis makan?”

Dia menggeleng. “Udah ada orang yang ngurus itu semua. Weekend ini, aku cuma buat kamu.”

Dia milikku?

Kata-kata itu menyenggol hatiku, sampai aku langsung habiskan sisa Wine.

“Oh, iya. Sebelum aku lupa,” katanya sambil bersandar ke kursi, “Kita bakal ke Langkawi, Malaysia sebentar lagi. Kamu punya paspor?”

Aku menggeleng. “Belum.”

“Nanti aku urusin, aku bakal buatin untukmu.”

“Maksud kamu … kita mau bulan madu?” Ada rasa senang yang meledak di dadaku. “Kenapa Langkawi?”

“Ada urusan yang harus aku beresin, dan aku pingin kamu ketemu keluargaku.”

Sial.

Aku bahkan enggak terpikirkan tentang keluarganya.

Seketika perutku sesak karena gugup.

“Aku ambil alih bisnis dari pamanku, tapi dia masih bantuin ngurusin semuanya di Langkawi. Dia pasti senang tahu aku akhirnya nikah.”

Aku mainkan gelas anggur, pura-pura santai.

“Nanti pas kita ke sana, jangan kaget kalau mereka mulai ngomongin soal penerus keluarga,” katanya.

Aku menatapnya. “Aku enggak masalah kalau mereka bahas itu.”

Dia menatapku serius. “Aku enggak mau kamu merasa tertekan buat punya anak.”

Aku tertawa, agak canggung. “Aku enggak pakai alat kontrasepsi, dan kamu juga enggak pakai kondom semalam.”

Tatapannya langsung menyipit. “Kamu keberatan?”

Aku buru-buru menggeleng. “Enggak. Kita, kan udah nikah.”

“Amilio sempat bilang kalau kamu pingin jadi Mama,” ujarnya.

Ya, Tuhan.

Aku bahkan enggak kepikiran Amilio lagi sejak pernikahan itu.

Sial, dia bahkan enggak datang menjengukku.

“Iya, aku emang pingin punya anak. Cuma enggak pernah nyangka aja bakal sama Remy Arnold.”

Aku memperhatikan wajahnya, dan sempat berpikir, apa dia bakal jadi ayah yang baik?

“Kalau itu bikin kamu bahagia, berarti enggak usah kita pikirin lagi soal kontrasepsi,” katanya pelan.

Aku tersenyum, membayangkan aku gendong bayi. “Aku bakal senang banget.”

Remy tarik tanganku, jarinya menyapu kulitku pelan. Tubuhku langsung bereaksi, merinding disko. Tatapannya terpaku sama reaksi aku itu.

Jarinya menelusuri punggung tanganku, dan aku balik posisi telapak, merangkul jemarinya. Pandangan dia lurus ke wajahku. Perutku rasanya seperti dikocok dari dalam.

Aku mengumpulkan keberanian dan bilang, “Aku benaran pingin pernikahan ini berhasil.”

Wajahnya melunak. Untuk pertama kalinya, aku melihat kasih sayang di matanya.

“Aku juga, kucing kecil.”

Rasanya, dadaku meledak. Aku senyum kecil, terus menceletuk, “Kamu harus ganti panggilan sayang kamu buat aku, tuh.”

“Kenapa?” tanyanya pelan.

Aku menyeringai, “Aku cuma gugup kalau dipanggil gitu.”

Sudut bibirnya pun tersungging. “Berarti kamu mulai terbiasa sama aku, ya?”

Jempolku sempat menyentuh kulit tangannya yang hangat. “Iya.”

“Senang dengar itu,” suaranya rendah dan dalam banget, nadanya bikin merinding, menyebar dari ujung leher sampai ke ujung jari.

Aku tarik napas dalam, lihat piring kita yang sudah kosong. “Kamu siap buat Dessert?”

“Ada Dessert?”

Aku tersenyum kecil, melepas tangan dari genggamannya, terus mulai bereskan meja. Dia ikut berdiri, membantuku bawa piring dan gelas ke dapur.

Saat aku buka kulkas untuk mengambil Stroberi sama Whipped Cream, aku bertanya, “Kamu ada alergi makanan, enggak?”

“Enggak.” Dia bukannya balik ke ruang makan, malah duduk di Counter top. “Kamu sendiri?”

Aku menggeleng sambil taruh bahan di meja marmer. “Enggak juga. Aku pingin yang simpel aja, tetap pakai buah.”

Sama seperti malam kemarin, Remy menepuk pahanya yang tertutup jeans. “Sini, duduk!”

Wajahku langsung panas. Tapi aku nurut juga, duduk di pangkuannya sambil melingkarkan tangan di lehernya.

Posisinya dekat banget.

Intim banget.

Dia ambil satu Strowberi, oleskan Whipped Cream di atasnya, terus menyodorkannya ke bibirku.

Jantungku berdetak kencang. Aku buka mulut, siap menggigit. Tapi saat gigiku baru menyentuh buahnya, dia bilang pelan, “Jangan bergerak!”

Aku pun bengong. “Kenapa?”

Dia condongkan badan, memiringkan kepala, terus gigit setengah Stroberinya dari sisi lain. Bibirnya menyenggol sedikit bibirku sepersekian detik, dan itu cukup membuatku kehilangan arah.

Sial.

Kepalaku seperti diremas gara-gara sentuhan kecil itu.

Mata kami saling bertemu. Aku jadi penasaran, bagaimana rasanya mencium dia.

Dia telan potongan stroberinya, terus tertawa pelan. “Makan buahnya, kucing kecil penggoda.”

Aku mendengus pelan, setengah tersenyum. "Lucu. Padahal yang tergoda tuh aku, bukan kamu."

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!