Lucinda de Vries mengira acara wisudanya akan menjadi hari kebahagiaannya sebagai sarjana kedokteran akan tetapi semua berakhir bencana karena dia harus menggantikan kakak kandungnya sendiri yang melarikan diri dari acara pernikahannya.
Dan Lucinda harus mau menggantikan posisi kakak perempuannya itu sebagai pengantin pengganti.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Lucinda de Vries nantinya, bahagiakah dia ataukah dia harus menderita ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 IRONIS
Wanita berambut ikal itu tersenyum menyeringai ke arah Sugeng dan Makuta susai menyapa mereka.
"Se-selamat siang, nyonya besar, apa gerangan membuat nyonya disini ?"
Sugeng membalas sapaan wanita paruh baya itu dengan sikap hormat.
"Aku hanya ingin menjenguk putra tiriku, Kevin, bagaimana keadaannya ?"
"Saya rasa tetap sama kondisi raden, masih berbaring di tempat pembaringannya seperti dulu, nyonya besar."
"Antarkan aku kesana, Sugeng !"
Perintah wanita itu sembari mengibaskan tangannya pelan.
"Ba-baik, nyonya besar...'
"Kita pergi sekarang, aku sudah tidak sabar untuk melihatnya disana !"
Sekali lagi wanita itu memberi perintah pada Sugeng agar dia mengantarkannya ke kamar Kevin Jansen.
Panembahan Sugeng mengangguk pelan lalu melangkah mendahului wanita itu sedangkan Makuta mengikuti mereka dari belakang.
"Sudah lama nyonya besar tidak kemari, sekarang kenapa tiba-tiba nyonya datang kesini ?"
"Aku ada urusan kecil, kebetulan juga suamiku memintaku menjenguk putranya disini."
"Nyonya datang sendirian kemari ?"
"He-eh, yah, aku sendirian kesini..."
"Kenapa tidak diantar pengawal pribadi ?"
"Aku terlalu repot mengurusi mereka sedangkan aku ingin pergi sendirian saja, tapi mereka sedang menungguku diluar rumah."
Oh, begitu, ya... ?!"
"Ya, begitu lah..."
Panembahan Sugeng melirik sekilas ke arah wanita yang dipanggilnya nyonya besar itu lalu dia mengalihkan pandangannya ke depan.
Tidak banyak kata yang terucap diantara mereka ketika menuju ke ruangan kamar Raden Mas Ningrat Kevin Jansen.
Jalan ke arah kamar Kevin terbilang jauh dari ruangan utama bahkan tangga naik ke lantai tiga dimana kamar Kevin tinggal cukup jauh jaraknya dari ruangan lainnya.
"Tap... ! Tap... ! Tap... !"
Sugeng menaiki tangga melingkar menuju lantai atas, sengaja dia tidak menggunakan Lift.
Suara langkah kaki mereka terdengar menggema, hal itu disebabkan dinding ruangan dirumah ini sangat tinggi sekali, sehingga suara yang ada disekitar ruangan akan memantul keras.
"Tap... ! Tap... ! Tap.... !"
Mereka naik lebih tinggi lagi, hampir sampai fi lantai kedua.
"Apa Liftnya rusak ?"
"Saya belum melihatnya, nyonya Saraswati."
"Lainkali kau periksa dulu jika aku kesini, kau tahu aku sudah cukup tua untuk naik lewat tangga."
"Mohon maaf atas kelambatan saya, akan saya pertimbangkan sara nyonya besar, dan sekali lagi saya minta maaf."
"Tidak masalah, selesai ini, tolong siapkan aku hidangan kegemaranku, kau pasti tahu apa yang aku sukai, panembahan."
"Siap, nyonya besar, saya akan segera menyiapkannya dan saya tidak lupa hidangan kegemaran nyonya Saraswati."
"Baguslah, kamu masih bisa diandalkan mengurus rumah tangga, Sugeng."
Sugeng tertawa renyah lalu mengangguk penuh hormat pada wanita bernama Saraswati itu.
"Kita sudah sampai di lantai dua, satu lantai lagi maka kita sampai dilantai tiga, aku sudah tidak sabar untuk menjenguk putra tersayangku itu..."
Saraswati tersenyum simpul lalu berjalan melewati anak tangga setelah sampai di lantai dua.
"Aku akan memeriksa Lift, rupanya tenagaku tidak sebesar dulu lagi..."
Saraswati mengedarkan pandangannya seraya berputar pelan.
"Oh, iya, dimana letak Lift itu berada ?"
"Disebelah kiri dari tangga naik ini, nyonya besar !"
"Oh, iya, aku hampir lupa letak ruangan dirumah ini, mungkin aku terlalu lama tidak berkunjung kesini."
"Ya, barangkali itu bisa menjadi faktor utamanya, nyonya besar."
"Ah, aku juga sudah tua jadi semua urusan menjadi terlupakan begitu saja..."
Saraswati melangkah anggun, pinggulnya bergoyang lembut saat dia berjalan menuju Lift di lantai dua.
Wajahnya masih awet muda bahkan terlihat sangat kencang dari umurnya.
"Ya, ampun, jauh juga, ya, letak Liftnya... ?!"
Sugeng hanya tersenyum simpul, mendengar ucapan Saraswati dan terus mengikutinya.
Mereka sampai di Lift yang ada di sebelah kiri dari ruangan lantai dua ini, bergegas Sugeng menekan tombol Lift untuk naik.
"KLING... !!!"
Lift tiba di lantai tiga, ketiga orang itu keluar dari Lift.
Tampak Saraswati berjalan mendahului kedua pria itu menuju kamar tidur Raden Mas Ningrat Kevin Jansen.
"Biarkan aku sendiri yang masuk menemuinya, kalian bisa menunggu diruangan lainnya !"
"Baik, nyonya besar..."
Panembahan Sugeng mengangguk hormat pada Saraswati lalu berlalu pergi.
Saraswati menarik pelan pegangan pintu kamar lalu masuk ke dalam, dia berjalan dengan kepala agak terangkat ke atas.
Seketika lampu menyala terang ketika Saraswati berada didalam kamar mewah itu, dan dia sendirian disana.
Saraswati menoleh pelan ke arah tempat pembaringan Kevin Jansen lalu tersenyum datar sembari menghampiri ranjang itu.
"Betapa malangnya putraku ini, sudah lama sekali aku tidak menjengukmu, nak..."
Saraswati berdiri disisi ranjang tidur sembari menatap dingin ke arah Kevin yanh terbaring diam.
"Kau sangat tampan, sayangnya nasibmu tak semujur yang diperkirakan semua orang, kau terbaring tak berdaya diusia mudamu, sungguh disayangkan sekali, Kevin..."
Saraswati membelai lembut helaian rambut Kevin Jansen.
"Coba saja waktu itu kau mendengarkan nasihat ibu kandungmu, mungkin kau tidak akan pernah bernasib seburuk ini, nak."
Saraswati memperhatikan ke seluruh tubuh Kevin yang hanya diselimuti oleh kain tipis dan terbaring kaku.
"Seharusnya kamu tidak pernah menyentuh buah neraka itu karena buah apel merah itu mengandung racun yang bisa membuat seseorang tertidur lama, nak."
Bisik Saraswati didekat telinga Kevin Jansen yang terbujur diam di atas pembaringannya yang sunyi.
"Nasibmu ibaratkan putri salju yang harus berbaring dalam kotak kaca sepi, tapi nasib kalian agak berbeda jauh karena kau hidup di dunia modern yang serba canggih, sehingga kau masih bisa bertahan hidup sampai detik ini, putraku..."
Saraswati tertawa terbahak-bahak sembari menutupi mulutnya yang terbuka lebar.
Suara tawanya benar-benar melengking nyaring bagaikan suara onta bungkuk merindukan bulan.
"Hahahahaha... !"
Saraswati masih tenggelam dalam kesenangannya tanpa memperdulikan keadaan Kevin Jansen yang merupakan putra tirinya itu.
"Ehem..., aku datang kemari ingin memberikan berkat langit padamu, tapi sayang sekali aku hanya bisa menaruh hadiah itu didekatmu tanpa kau dapat melihatnya, nak !"
Saraswati mengeluarkan sebuah kotak dari tas jinjing yang dibawanya lalu meletakkan hadiah pemberiannya disisi Kevin.
"Anggap saja ini adalah hadiah kecil sebagai persembahan rasa terimakasihku padamu karena mau memberikan cap jari tanganmu."
Saraswati meraih tangan Kevin ke atas lembaran kertas kemudian dia mencelupkan jari jempol itu ke dalam wadah tinta emas dan menandai lembaran kertas itu, dengan cap jari Kevin.
"Oh, oh, oh, aku baru saja membeli property hotel bintang lima !"
Saraswati mendekap erat-erat lembaran kertas ditangannya itu.
"Oh, sayangku, aku sangat berterimakasih atas pemberianmu ini, anggap saja ini adalah hadiah ulang tahunku, nak."
Saraswati tersenyum jahat lalu mencibir sinis ke arah Kevin Jansen.
"Aku akan sering-sering mengirimimu hadiah dari hasil keuntunganku hotel nanti, sebagai rasa terimakasihku kepadamu, nak. Sebab kau mau bersedia membantuku membeli hotel mewah ini dengan suka rela !"
Saraswati melihat ke arah lembaran kertas ditangannya itu, tersenyum bahagia saat dia berhasil mendapatkan hotel mewah yang dia idam-idamkan selama ini.
Tentu saja dia membelinya dengan uang putra tirinya yaitu Kevin Jansen.
Satu kali cap jari tangan milik Kevin maka uang akan segera cair dari rekening bank yang menjadi sumber kekayaan kerajaan Klinting kuning.
"Aku tak menduga akan sekaya ini, dan aku berterimakasih padamu karena berkat dirimu maka aku bisa semakmur ini, nak."
Saraswati segera menaruh lembaran kertas ke map lalu memasukkan map itu ke dalam tasnya, diliriknya Kevin yang terbaring diam.
"Rupanya berkat langit tak selalu turun dari langit, tapi bisa berupa berkat keuangan yang menguntungkan, nak !"
Saraswati tertawa keras sembari berlalu pergi, dia meninggalkan Kevin tanpa bermaksud merawatnya ataupun mau memeriksa perkembangan kesehatannya bahkan wanita itu sangat mengacuhkan putra tirinya itu.
Setelah Saraswati pergi dari kamar mewah milik Kevin Jansen.
Dari sudut mata Kevin Jansen yang terbaring diam itu, tampak linangan air mata mengalir turun dari sudut matanya yang terpejam rapat.