Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25—PPMITMC
Kendatipun ucapannya benar. Hanna tak terima sahabat baiknya dicecar seperti itu, dia tersulut emosi—mendatangi meja lebih dekat dan Hanna tak segan-segan menggebrak meja.
Brakk!!
Flat white yang baru diteguk sebagian kecil dari gelas itu, setengahnya tumpah akibat Hanna, sedang Yuzdeline berusaha tenang, tidak terpancing oleh kemarahan gadis kecil di depannya.
"Jaga ucapan Anda!" bentak Hanna menunjuk, tajam Yuzdeline dengan telunjuk runcingnya, "Ya! Kami hanya orang mis kin! Tapi ...!"
Hanna membawa telunjuk kembali ke dirinya, kemudian dia mendengkus, geram, sambil mengepalkan tangan, kuat-kuat. "Kami gak gila har ta!" sambungnya dengan intonasi suara lebih tinggi.
"Ambil kembali ua ng Anda, dan kembali sana! Kembalikan sahabat saya! Dasar orang kaya gak tahu diri, bed*bah si a lan!"
Oh sh it!
Hanna memang tidak bisa mengontrol emosinya, ditambah dia lumayan kesal dengan perangai gila Yuzdeline, setengah karena cerita dari Caroline, sisanya karena ucapan Yuzdeline yang selalu merendahkan orang lain.
Wajah Yuzdeline Barbara memerah padam, ada gumpalan amarah yang menggunung di sana, ingin segera melepas diri, namun wanita ini sadar, di sini dialah yang membutuhkan bantuan si mis kin.
"Oke. Saya minta maaf, tapi ..., bukan saya yang membawanya ke hadapan Calvino," elaknya mencoba tenang, "Setelah obrolan kita malam itu, saya gak ada mencarinya ataupun berusaha untuk membujuknya lagi."
Benarkah?
Hanna berdecak dalam hatinya.
Wajahnya kian mengerut. Menerawang wanita di depannya untuk memastikan, apakah yang dia katakan benar atau salah.
"Lalu ...? Kalau bukan rencana Anda, kenapa Anda mengatakan kalau Caroline mengundurkan diri dari pekerjaannya, seolah Anda emang udah menyiapkan semua ini." Hanna menginterogasi dengan tatapan serius.
Yuzdeline terkekeh, dia menggeleng sambil mengusap rambut di area pelipis dan turun ke telinga. "Sepertinya saya gak sepintar itu, sampai saya harus menyiapkan rencana sabotase semulus itu."
Yang menjadi perhatian utama Hanna, bukan ucapan wanita itu, melainkan kebiasaan mengusap kepala di area pelipis dan turun ke telinga itu ..., benar-benar nyaris sama seperti yang sering dilakukan Caroline.
Hanna mengerutkan wajah karena itu, namun dia memendamnya sendiri, tidak dia katakan, yang dia katakan .... "Jadi ..., seperti apa?"
"Malam itu ..., saya hanya kehilangan arah. Enggan untuk pulang, karena mansion mewah itu tidak menjamin kebahagiaan saya, saya kesal, marah, dan kecewa tentunya, tapi Calvino gak pernah peduli akan hal itu," embus Yuzdeline.
Pahatan senyum tipis nan anggun tadi mendadak lenyap. Dalam sekejap, bara amarah membuncah di tatapan Yuzdeline. "Cinta Calvino udah habis di istri pertamanya, meski saya menawarkan diri dan merendahkan diri saya, dia ..., tetap gak akan peduli. Lalu ..., saya melihat mobil Calvino melesat di sebuah jalan, dan saya mengikutinya."
Tiap siratan kata yang keluar dari mulut Yuzdeline bak jala yang memerangkap ikan dengan umpannya, melodi waktu menarik ke-duanya tenggelam ke ingatan yang dibagikan Yuzdeline.
Ia adalah malam mencekam yang dingin, kemudian menjelma menjadi ingatan yang terasa nyata, terjadi di depan mata dengan detail, beserta aroma malam yang terasa dingin dan bau khasnya.
"Aku gak mau kembali ke mansion Calvino! Aku sakit hati, Kak ...," rengek Yuzdeline dalam sebuah mobil yang terparkir di sudut sebuah jalan besar yang sunyi.
"Keterlaluan! Calvino itu bener-bener laki-laki si a lan! Kalau gak suka, 'kan bisa hidup masing-masing sampai waktu yang ditentukan," tandas seseorang di balik panggilan telepon.
"Aku mengira ..., kalau Calvino punya dendam tersendiri sama orangtuanya sendiri, dan aku juga gak bisa mengelak dari tugas-tugas yang diberikan oleh orangtuanya, taruhannya perusahaan mama dan papa," ucap sendu Yuzdeline.
"Maafkan aku, Sayang, aku ..., gak bisa berbuat apa-apa, kita sangat bergantung dengan keluarga Calvino, meski kita bekerja sama dengan orangtuanya, bukan dengan perusahaan inti, tetap aja, orangtuanya sangat licik."
Whoosh ....
Melesat cepat bagai kecepatan cahaya—sebuah mobil hitam nan mewah jenis Lamborghini Aventador SVJ mendadak melintas di depan Yuzdeline.
Saking cepatnya, wanita di dalam mobil itu terhempas oleh kecepatan kendaraan itu, karena jendela mobilnya memang sengaja dibuka, untuk membiarkan udara masuk ke sana, menemani malam yang membosankan ini.
"Aaaa ...." Yuzdeline membungkuk ke dalam, menangkup sambil melindungi telinga yang baru saja dilempar oleh angin.
Namun, tak berselang lama dari itu, dia bangkit dan menyipitkan mata, satu per satu angka eksklusif di plat nomor mobil itu terlihat tak asing di ingatan Yuzdeline.
"Calvino?" serunya bertanya-tanya, "Mau ke mana dia? Biasanya malam-malam begini dia akan ada di B*r dengan wanita-wanita murah*n si a lan itu," katanya nyaris bergumam.
Tak menunggu lama dari itu, Yuzdeline segera menyusul Calvino, sampai akhirnya mereka sama-sama terhenti di area sekitar sebuah coffee shop yang telah tutup.
Coffee shop itu telah menghening. Bangunan itu sunyi dan hitam, layaknya langit di atas sana, aroma khas malam ini terasa lebih pekat.
Ia adalah aroma alam yang dingin. Calvino terlihat membawa seorang wanita masuk ke mobilnya dan Yuzdeline tetap bersembunyi di sebuah pohon besar di ujung jalan, yaitu pohon tabebuya dengan bunga-bunga cantiknya.
"Laki-laki itu sangat membenciku, sampai dia gak tahu yang dia bawa bukanlah aku," katanya menyeringai.
Kemiripanku dengan gadis bernama Caroline itu emang bener-bener gak bisa dibedakan, seperti kita adalah saudara kembar. Batin Yuzdeline.
Saudara kembar yang keluar dari mulut Yuzdeline hanyalah perumpamaan tepat yang pantas antara dirinya dengan Caroline—akan tetapi ..., ada sebuah energi aneh yang menyeruak dalam tubuh.
Bukan angin. Bukan rasa, atau sejenisnya. Ia adalah gumpalan aneh yang berhasil membawa Yuzdeline hanyut, denyut jantung dan nadinya berseteru.
Dia meringis mencengkeram dada yang terasa keram. "Argh ..., kenapa ini?" keluh Yuzdeline seraya memandangi mobil Calvino yang menjauh membawa Caroline pergi.
Semakin dirasakan, sesuatu yang mengembun dalam dada, kian mencekiknya. "Aneh. Kenapa aku merasa sakit melihat wanita itu dibawa, apakah aku cemburu juga?" katanya menduga-duga perasaan yang sedang menerjangnya.
Kemudian Yuzdeline menepisnya. "Enggak. Ini malah bagus! Aku mencintai Kak Ken, pasanganku itu Kak Ken, dan selama dua tahun ini, aku hanya menjalankan perintah," ungkapnya berusaha menepis semua yang membingungkan.
"Wanita itu udah ada di tangan Calvino, jelas dia gak akan bisa melarikan diri. Ini waktunya aku bisa melarikan diri, seenggaknya sampai masa kontrak berakhir."
Lamunan dari ingatan Yuzdeline telah sepenuhnya diceritakannya pada Hanna, tidak ada yang dia tutupi, kecuali bagian sesak yang tiba-tiba datang tanpa aba-aba.
Hanna terdiam. Ini jelas bukan rencana yang disusun, melainkan semesta lah yang mempertemukan mereka. "Kalau begitu, kenapa Anda gak kembali dan bertukar peran lagi, kembali ke kehidupan Anda, sahabat sa—"
Ck.
Decak dari Yuzdeline memotong ucapan Hanna. "Oh no, sayang ...."
"Itu yang aku mau, aku menghilang tanpa meninggalkan kewajibanku untuk memenuhi persyaratan pernikahan kontrak itu, hanya ..., kebetulan semesta merestuinya," sambung Yuzdeline berbangga diri.
Si al!
Hanna menggeram. "Nyonya, Anda bener-bener gila!" cibir Hanna, kesal.
"Sahabat saya punya tanggungjawab bisnis coffee shop ini dan membiayai ibunya yang sakit, bagaimana bisa Anda dengan entengnya mengambil kesempatan di situasi salah paham ini!"
Yuzdeline di ujung meja lekas mendekat. "Telepon sahabat kamu, dan mari kita bicara," paparnya sengan senyum menyebalkan.
"Percuma mengelak juga, sahabatmu udah masuk ke kehidupan Calvino, dia gak akan lolos begitu aja, jika aku bertukar saat ini, Calvino akan bingung dengan perubahan sikap yang sangat ..., intens," kata Yuzdeline sambil mengetuk meja dengan cincin berlian yang melingkari jari manis.
Hanna terdiam. Apakah ini keputusan?
Ah tapi ..., ini terlalu gila!
To be continued .....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt