Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25.
Fany's Pov.
Aku sudah memutuskan. Aku setuju membantu Sean untuk memilihku. Semua ini demi Anakku. Anakku tidak boleh kehilangan ayahnya. Begitu pula denganku yang tidak ingin berpisah dari anakku jika suatu saat nanti Sean memilih untuk bersama Arinka.
Ya biar saja jika Sean saat ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama Arinka tanpa ku ketahui. Tapi, setidaknya Sean adalah milikku secara hukum. Aku jauh lebih berhak atas Sean dibandingkan dengan wanita manapun termasuk Arinka.
Aku sengaja mengajak Sean pergi ke rumah keluarganya. Aku sengaja meminta bantuan mommy Sean untuk menahan Sean agar kami menginap beberapa hari di sana. Dengan begitu Sean tidak akan berani untuk keluar malam secara diam-diam menemui Arinka.
Aku masih datang ke kantor seperti biasa. Aku juga masih sekretaris Sean. Kami juga berangkat dari rumah bersama. Tapi, saat bekerja, Sean memang sudah tidak seperti biasanya. ia lebih jarang memanggilku, ia seakan merangkap pekerjaanku. Tapi, aku tidak akan menyerah. Aku tahu apa maksud Sean. Ia hanya ingin aku berhenti bekerja. Tapi, tidak semudah itu. Aku akan tetap pergi bekerja.
"Itu bukannya Nona Arinka?" Samar-samar aku mendengar beberapa pegawai membicarakan seseorang yang namanya sudah tidak asing lagi bagiku, Arinka. Kenapa wanita itu bisa sampai datang ke kantor? Apa Sean yang mengundangnya.
Aku menoleh ke belakang, mencari sumber yang sedang dibicarakan. Ya, Arinka memang ada disini. ia berjalan dengan anggun dan menebar senyum kepada siapapun yang berlalu lalang di depannya seakan ia sudah mengenal mereka lama.
"Permisi, apa kamu sekretaris Sean? Apa Sean ada di ruangannya?"Tanyanya.
" Tunggu sebentar! Saya telfon pak Sean dulu." Jawabku.
"Baiklah." Jawabnya dengan suara pelan. Ia memang seorang wanita yang sopan. Pantas saja Sean begitu mengaguminya. Ah ini bukan saatnya untuk memikirkan hal ini.
Aku ingin tahu bagaimana reaksi Sean saat aku memberitahunya tentang kedatangan kekasihnya itu. Bagaimana dia akan mengambil sikap terhadap wanita ini di depanku, istri sahnya?
"Hallo, pak Sean. Nona Arinka ada di depan ruangan anda. Dia ingin bertemu denganmu." Ucapku setelah panggilan melalui telepon yang kulakukan dijawab oleh Sean.
"Fan, jangan bermain-main denganku!" Ujarnya seperti memperingatkanku untuk tidak membuat masalah dengannya.
"Nona Arinka sudah menunggu anda. Dipersilahkan masuk atau tidak?" Tanyaku lagi. Sepertinya Sean memang tidak percaya bahwa Arinka datang ke kantor. Sebaiknya aku suruh Arinka masuk saja langsung daripada aku harus berdebat dengan Sean dan akan semakin membuat hatiku sakit.
"Fan, ku peringatkan sekali lagi! Jangan bermain-main denganku!" Ujar Sean lagi.
"Tapi, nona Arinka sangat ingin bertemu dengan anda sekarang!" Kataku.
"Fany, tidak peduli kau membenciku atau tidak. Jika dia disini, suruh masuk saja. Tidak perlu menelfonku!"
Tut... Tut... Tut... Panggilan diputuskan oleh Sean sebelum aku menjawabnya. Baiklah, ternyata memang Arinka adalah wanita yang paling berharga di mata Sean. Aku tidak bisa mengelak lagi.
"Nona, silahkan anda masuk! Pak Sean sudah menunggu anda." Ucapku.
"Baiklah. Terimakasih!" Ucap wanita itu sambil berjalan ke arah ruangan Sean. Ia memegang gagang pintu ruangan Sean dan mendorongnya. Sampai pintu itu terbuka aku yang berdiri tepat beberapa meter di belakang Arinka bisa melihat langsung bagaian reaksi Sean.
Awalnya Sean menegang dan tampak gugup melihat Arinka dan aku secara bergantian. Tapi tatapannya itu hanya kubalas dengan senyuman.
"Sean, akhirnya aku bisa datang ke kantor lagi seperti dulu. Hanya beberapa jam saja aku sudah sangat merindukanmu." Ujar Arinka sambil berhambur ke pelukan Sean.
Sungguh miris sekali, aku istri sah Sean harus melihat dan menahan sakit hatiku begitu Suamiku berpelukan dengan wanita lain di depan mataku.
"Selamat bersenang-senang, Sean! Kali ini aku tidak akan mengganggumu." Ucapku dalam hati. Aku harus pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat semua itu lebih lama. Atau pertahanan akan runtuh dan menangis di depan Sean yang justru akan membuatku semakin sakit.
Sean's Pov.
Kenapa?
Kenapa bisa jadi seperti ini?
Kenapa Fany menatapku seperti itu? Senyumnya justru membuatku semakin merasa bersalah. Aku tidak menyangka bahwa hari ini, Arinka akan datang menemuiku.
"Sean, dari tadi apa yang kau pikirkan?" Memikirkan Fany kenapa aku bisa jadi melupakan Arinka? Ia sudah datang menemuiku hari ini.
"Tidak memikirkan apa-apa. Hanya sedikit lelah saja." Jawabku.
"Sean. Apa yang kau sembunyikan dariku?" Tanyanya.
"Tidak ada." Jawabku.
"Bertahun-tahun kita berpisah, banyak hal yang kulewatkan seharusnya sudah biasa. aku hanya ingin tahu apakah ada yang salah dengan keadaan yang sekarang ini?" Tanyanya lagi.
"Apa kau tidak percaya padaku? Sejak kapan itu terjadi?" Tanyaku. Meskipun sebenarnya aku memang sedang menyembunyikan sebuah rahasia besar darinya.
"Bukan begitu, Sean. Hanya saja aku merasa kau sedikit berbeda." Katanya.
"Berbeda?" Tanyaku.
"Ya, dulu kau yang paling berinisiatif. Tapi, sekarang kau seperti orang lain." Ujarnya.
"Itu hanya perasaanmu saja." Ucapku.
"Seharusnya kau akan terlihat bahagia saat aku kembali. Itu jika kau masih mencintaiku. Apa ternyata kau sudah tidak mencintaiku?" Tanyanya lagi.
"Cukup, Arinka! Jangan membahas hal yang tidak penting seperti ini lagi! Kedepannya aku akan menjelaskan sesuatu padamu. Tapi tidak sekarang. Akan ada waktunya nanti." Kataku. Aku memang harus memberitahu tentang hubunganku dengan Fany sebelum Arinka mengetahuinya dari orang lain. Hanya saja untuk saat ini aku belum bisa berkata jujur pada Arinka.
"Sean. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Kau sedang tidak begitu senang dengan kedatanganku." Ujarnya sambil berdiri.
"Arinka, tolong jangan dimasukkan ke hati! Aku hanya merasa lelah karena pekerjaanku yang cukup banyak." Ucapku. Semoga saja dia memang tidak marah karena kegelisahan yang kurasakan saat ini.
"Aku baik-baik saja. Kau memang tidak boleh diganggu dulu. Kalau kau sudah baikan, tolong temui aku!" Ucapnya.
"Baiklah. Sopir akan mengantarmu pulang!" Ucapku sambil berdiri dan memberikan kecupan singkat di bibirnya.
"Aku pulang dulu!" Ucapnya yang ku jawab dengan anggukan pelan.
Dia pergi, dan sekarang aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi Fany. Bagaimana mungkin Fany tidak marah atas apa yang terjadi pada hari ini? Bagaimana mungkin?
........
Seharian aku tidak melihat Fany di kantor setelah Arinka datang menemuiku. Kupikir karena dia merasa kecewa, dia pulang duluan. Tapi, saat ku sampai di rumah, semua ruangan masih gelap dan Fany juga tidak ada. Sedangkan ponselnya tidak dapat dihubungi. Kemana Fany pergi?
Aku juga sudah mencoba menelfon mommy dan juga ayah mertuaku tapi, mereka juga tidak tahu dimana Fany berada. Fany, apa kau benar-benar ingin bersembunyi?
Kring... Kring....
Ponselku berdering. Siapa malam-malam begini menelfon?
"Hallo, pak sean. Saya satpam kantor pak." Jelas terdengar seorang yang tengah menelfon ku itu sedang menghawatirkan sesuatu.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Saya ingin melapor bahwa nona Fany tidak sadarkan diri di ruang meeting pak." Mataku membulat seketika mendengar laporan satpam kantor. Pantas saja aku tidak bisa menemukan Fany seharian ini.
"Saya segera kesana." Jawabku. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa pada mereka. Fan, tunggu aku!
.......
Author's Pov.
Setelah mendengar kabar dari kantor, Sean cepat-cepat pergi ke kantor untuk menjemput Fany. Sampai di ruang meeting, Sean benar-benar melihat Fany yang terduduk lemas di salah satu kursi meja panjang itu.
"Fan." Ujar Sean saat ia mendekati Fany dan menyentuh kening dan pipi Fany yang menghangat.
"Kalian boleh pergi!" Ujar Sean pada dua petugas keamanan yang menemukan Fany beberapa menit yang lalu.
"Baik Pak. " Jawab Keduanya serempak. Sepeninggalan kedua petugas keamanan itu Sean menatap Fany dengan khawatir.
"Fan, apa kamu baik-baik saja? Perlu ke rumah sakit?" Tanya Sean memberondong Fany yang hanya diam menatapnya. Wanita itu menggeleng pelan.
"Aku ingin pulang." Jawab Fany.
"Baiklah. Kita pulang sekarang." Ucap Sean kemudian menggendong Fany dan membawa Fany pergi dari ruangan itu.
Sean menyempatkan diri untuk memberi kabar pada ibu dan juga mertuanya bahwa Fany sudah ditemukan dan sedang dalam perjalanan pulang sekarang agar mereka tidak memikirkan hal-hal buruk. Kegiatan Sean yang menyetir sambil menelfon membuat Fany semakin tidak mengerti pada sikap Sean yang sebenarnya. Jika Sean lebih mencintai Arinka, untuk apa ia mencari Fany sampai seperti itu? Tapi jika ia lebih mencintai Fany, kenapa Sean tidak meninggalkan Arinka?
Sampai di rumah, Sean membaringkan Fany di atas ranjang dan menyelimuti istrinya dengan selimut sampai sebatas dada. Ia bisa merasakan tangan dan kaki Fany yang dingin sedingin es.
"Kamu yakin tidak perlu dokter? Aku bisa memanggilnya kesini." Ujar Sean masih tidak bisa mengabaikan kekhawatirannya.
"Aku tidak apa-apa. Jangan pedulikan aku!" Ucap Fany ketus dan Sean mengerti tentang sikap Fany saat ini.
"Tentu saja aku peduli, Fan. Kenapa kau berkata seperti itu?" Protes Sean.
"Jika kau peduli pada kami, tinggalkan wanita itu!" Ujar Fany membuat Sean mematung. Benar, semua wanita pasti hanya ingin prianya memiliki dirinya seorang. Sementara saat ini di hati Sean masih ada wanita lain di antara mereka.
"Fan."
"Kenapa? Kau tidak bisa kan? Apa itu bentuk kepedulianmu?" Sinis Fany.
"Fan. Aku peduli. Peduli terhadap kamu dan anak kita." Ujar Sean.
"Anak kita? Kau bahkan tidak menginginkan anak ini, sekarang kau mengakui anak ini sebagai anakmu juga? Apa otakmu sedang bermasalah karena wanita itu?" Ujar Fany emosi.
"Tenang, Fan. Kamu tidak boleh emosi! Aku akan jelaskan semuanya." Ucap Sean.
"Apa yang bisa kau jelaskan? Kau ini sungguh manusia biadab." Ujar Fany lagi.
"Pada awalnya aku memang tidak ingin kau hamil, semua itu bukan karena aku tidak menginginkan anak. Semua berawal dari kesalahanku yang pernah membuat Arinka hamil dan kabar tentang kematian Arinka saat melahirkan anak kami pun membuatku takut jika hal itu terjadi padamu. Aku takut kehilangan kamu." Fany terdiam mendengar pengakuan Sean dan membiarkan Sean melanjutkan kata - katanya. "Tapi, semenjak aku melihat bahwa beberapa di antaranya adalah sebuah kebohongan, aku baru bisa menerima kenyataan tentang dirimu yang mengandung anakku." Lanjut Sean.
"Sean, katakan saja apa kau mencintaiku atau tidak? Diantara aku dan Arinka, siapa yang kau pilih? Jika kau lebih mencintai Arinka, Aku akan pergi." Ucap Fany membuat Sean semakin bingung.
"Kau tidak boleh pergi, Fan. Aku sudah memutuskan membawamu ke dalam hidupku. Kamu tidak boleh pergi!" Ujar Sean dengan nada lembut.
"Tapi, kau tidak boleh membiarkan wanita lain diantara kita. Kau harus memilih, Sean." Ucap Fany benar-benar tidak ingin berada di posisinya saat ini. "Aku hanya ingin kau hanya milikku seorang. Kali ini biarkanlah aku egois, aku tidak mau yang lain lagi." Ucap Fany sambil terisak.
"Fan. Aku milikmu." Ucap Sean.
"Dan juga wanita itu." Lanjut Fany membuat Sean semakin bersalah. Air mata Fany yang semakin deras meluncur membasahi pipinya membuat hati Sean semakin teriris.
"Beri aku waktu, Fan. Beri aku waktu untuk menghapus perasaan yang sudah bertahun-tahun tertanam di hatiku. Ini sulit bagiku tapi bukannya tidak mungkin. Aku mohon beri aku waktu!" Ucap Sean pelan.
"Jika kau ingin aku memberikan waktu, kau dan dia tidak boleh bertemu, apa lagi di depan mataku." Ucap Fany. Sean mengerti bagaimana perasaan istrinya saat ini. Itu semua adalah kesalahannya yang sungguh biadab. Ya, dia menyadari bahwa dirinya adalah bajingan. Tidak seharusnya ia mempermainkan perasaan istrinya seperti sekarang.
"Aku akan berusaha, Fan. Sekarang kamu tenanglah! Jangan menangis! Istirahatlah disini, aku akan memelukmu sampai kau merasa baikan." Ucap Sean. Fany tidak menjawab lagi. Ia memang harus berhenti menangis dan beristirahat. Bagaimana pun bayi di dalam kandungannya membutuhkan itu. Ia mengangguk pelan sebelum akhirnya memejamkan matanya untuk menghentikan air matanya yang keluar.
Sean pun mengambil posisi berbaring di samping Fany dan memeluk tubuh kurus Fany yang semakin lama semakin membuat Sean merasa nyaman saat memeluknya.
"Tidurlah! Aku bersamamu." Ucap Sean menyerupai bisikan. Kemudian ia mengecup singkat bibir Fany sebelum ia berusaha untuk tidur.
......
Setelah mendengar kabar bahwa Fany sudah ditemukan tadi malam, pagi-pagi sekali Keisha mendatangi anak dan menantunya itu. Ia merasa sesuatu mungkin terjadi di antara anak dan menantunya itu sehingga Fany sempat menghilang dan membuat Sean khawatir.
Tanpa mengetuk pintu, Keisha langsung masuk ke dalam kediaman anaknya itu. "Mereka lupa mengunci pintunya, apa mereka sudah bangun dan pergi beraktivitas?" Gumam Keisha sambil berjalan ke arah kamar Sean.
Pintu kamar Sean juga tidak ditutup rapat. Hal itu membuat Keisha bisa masuk ke dalam kamar Sean dengan mudah. Melihat Sean dan Fany sedang tertidur dengan saling berpelukan membuat Keisha yang awalnya beranggapan bahwa mereka sedang dalam masalah pun berfikir bahwa mereka baik-baik saja.
"Anak ini benar-benar-" Gumam Keisha tidak melanjutkan kata-katanya. Kemudian Keisha pergi ke dapur dan memeriksa bahan makanan di dalam kulkas. Ia berniat membuat sarapan untuk anak dan menantunya itu.
"Eenngghh... " Fany menggeliat, ia merasa lengan kekar Sean masih melingkar di perutnya. Ia menatap pria yang masih terlelap tidur itu sambil menyentuh pipi Sean dengan lembut.
"Apa yang kau lakukan? Aku masih ingin tidur." Ujar Sean merasa tidurnya terusik oleh sentuhan Fany. Fany menatap jam di digital di dinding dan segera membangunkan Sean lagi.
"Sean, sudah jam sembilan." Ujar Fany.
"Biar saja. Aku ingin memelukmu sampai besok lagi, besoknya lagi, dan besoknya lagi juga begitu seterusnya." Jawab Sean seperti orang sedang ngelantur.
"Kau suka menunda pekerjaan sekarang. Kalau kau sibuk kau jangan mengeluh lagi di kemudian hari!" Ujar Fany mengingatkan.
"Apa aku pernah mengeluh? Seingatku belum." Ujar Sean membuat Fany kesal kemudian menyentil bibir Sean hingga Sean membuka matanya lebar-lebar.
"Dasar." Ujar Fany sambil menyingkirkan lengan Sean yang masih melingkar di perutnya.
"Mau kemana? Nggak boleh pergi!" Ujar Sean dengan rengekan manja.
"Mandi." Jawab Fany singkat. Kemudian Sean kembali melingkarkan lengannya ke perut Fany dan mencium tengkuk Fany membuat wanita itu merinding seketika.
"Nanti dulu. Aku lapar banget." Ucap Sean lagi.
"Aku akan masak. Lepaskan aku dulu!" Ujar Fany.
"Tidak boleh. Aku sangat lapar sekarang." Kata Sean lagi.
"Kalau tidak masak, bagaimana mau makan?" Tanya Fany kesal.
"Aku bukan lapar yang itu. Tapi, ini." Ucap Sean sambil mengusap bagian bawah Fany dari luar celana dalam Fany. Fany masih mengenakan rok pendek kerjanya yang kemarin sehingga Sean mengungkapnya untuk mempermudah dirinya untuk menyentuh area terlarang itu.
"Sean. Kau tahu tidak, kau terlalu mesum. Ini sudah siang dan kau masih-ummplhhhh..." Fany tidak dapat melanjutkan kata-katanya Sean mencium bibir nya secara tiba-tiba.
"Sean jorok. Kau belum sikat gigi." Protes Fany setelah Sean mengakhiri ciumannya.
"Biar saja. Enak kok." Jawab Sean cuek.
"Sean ssssshh..." Lagi, Sean tidak membiarkan Fany bicara, ia menghisap leher Fany untuk membuat tanda kemerahan di sana, seakan ia sedang menandai bahwa Fany adalah miliknya.
Sedangkan tangan nakal Sean tidak berhenti bermain-main di bawah sana. Sepertinya Fany tidak akan bisa lari lagi. Sean terlalu pintar membuat Fany tidak berdaya.
........
"Dasar kamu, Sean. Sudah tahu istri sedang hamil, harusnya kamu bisa tahan sedikit. Untung Fany tidak apa-apa." Omel Keisha setelah melihat bekas kemerahan di leher Fany. Fany dan Sean terbangun setelah mencium aroma masakan yang Keisha buat. Padahal mereka belum memasak, dan itu membuat mereka berdua curiga dan memutuskan untuk keluar dari kamar. Setelah melihat ada seseorang di dapur, barulah mereka pergi ke dapur dengan penampilan acak-acakan akibat pergulatan pagi mereka.
"Istriku baik-baik saja, mom. Kami selalu melakukannya." Jawab Sean yang langsung mendapat cubitan kecil dari Fany. Sementara wanita itu hanya terdiam sambil tertunduk malu sudah tertangkap basah melakukan itu.
"Fan, kalau kau tidak suka, kau berhak menolak. Sean akan terus seperti itu, sesuka hatinya jika kau tidak mengatakan apapun." Ucap Keisha pada Fany. Fany hanya mengangguk kaku.
"Mom. Aku harus pergi ke kantor sekarang. Ada pertemuan penting beberapa menit lagi. Mommy jaga mantu dan calon cucu mommy sementara aku pergi ya!" Ujar Sean sambil menghabiskan suapan terkahir menu makanan yang Keisha siapkan.
"Baiklah. Pergilah. Mommy akan memanjakan mereka." Ujar Keisha dengan semangat.
"Aku pergi dulu. Kalian baik-baik di rumah. Aku akan segera kembali setelah semuanya selesai." Ucap Sean pada Fany setelah mengecup puncak kepala Fany. Fany tidak menjawab, ia hanya mengangguk karena perasaannya mengatakan bahwa Sean pergi bukan hanya soal pertemuan penting saja. Pasti ada sesuatu yang Sean sembunyikan.
.......
Bersambung....