NovelToon NovelToon
Legenda Kaisar Roh

Legenda Kaisar Roh

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Spiritual / Reinkarnasi / Roh Supernatural / Light Novel
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Hinjeki No Yuri

Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.

Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Persiapan Perbekalan, Ramuan dan Relawan Desa

Kabut pagi masih telah menghilang ketika para relawan mulai berdatangan di depan tenda persiapan. Setiap wajah tampak antusias, meski di balik semangat itu terdapat raut kekhawatiran akan perjalanan berat di depan. Liang Feng berdiri di samping Nenek Li, memeriksa daftar nama relawan yang terpilih. Di sampingnya, Bai Xue menyalurkan aura peraknya secara ringan agar menjadi lentera hidup di sela-sela sinar lentera kristal.

“Ada yang belum lengkap?” tanya Liang Feng, mengangkat alisnya sambil menyentuh ujung pedang naga yang tergantung di punggungnya.

Wei Xin, yang sejak semalam menyiapkan kotak perbekalan, menggeleng. “Semua barang pokok sudah siap, Feng-san. Makanan cukup untuk tiga hari penuh, ramuan penyembuh, bahkan obat penahan dingin untuk bermalam di gunung.”

Di barisan belakang, Lin Hua mengangguk seraya meletakkan gulungan catatan di atas meja kayu. “Aku mencatat setiap detail persediaan. Jika ada yang salah, kita langsung tahu.”

Pertama-tama, perhatiannya tertuju pada meja panjang yang dipenuhi bekal makanan. Nasi liwet dalam bungkusan daun pisang, onigiri isi ikan asap, roti gandum kukus, serta potongan sayur acar dalam botol kaca, semuanya itu disusun dengan rapi. Nenek Li mendorong setumpuk kantong kain kecil berisi kacang edelweiss goreng, “Makanan ringan ini bagus untuk menahan lapar di sela-sela pendakian.” jelasnya.

Seorang ibu muda, Mei Lin, mengangkat kantong kacang. “Kami juga menyiapkan kemasan teh bunga kamelia.” katanya sambil membuka botol kecil, aroma floral menyebar dengan tipis. “Setiap relawan dapat satu kantong untuk menghangatkan badan di malam dingin.”

Liang Feng menepuk punggung Mei Lin. “Hebat, Mei Lin. Ini akan sangat membantu.”

Bai Xue melompat ke meja, mencolek potongan roti gandum. “Aku suka ini.” bisikannya membuat relawan tertawa kecil. Anak-anak desa yang ikut serta berebut menyuapi rubah peraknya dengan potongan roti, menambah keceriaan dalam persiapan serius.

Di sudut lain tenda, para pertapa menyiapkan ramuan. Ada botol berisi cairan perak yang berpendar, ramuan penyembuh untuk luka ringan dan ampul kecil berisi tetesan darah Bai Xue yang dicampurkan dengan sari akar tomatodo untuk memulihkan energi roh. “Kekuatan ramuan ini.” kata Pertapa Zhao, “dapat menyembuhkan luka cakaran Defender Spirit dalam hitungan menit.”

Pertapa Wu menambahkan ampul berwarna biru kehijauan. “Ini ramuan penahan dingin untuk campuran sari akar echinacea dan air embun matahari. Siapkan satu untuk setiap orang di malam pertama pendakian.”

Liang Feng memegang salah satu botol. “Pastikan setiap relawan tahu cara meminumnya.” pesannya pada Wei Xin. “Kesalahan dosis bisa berakibat fatal.”

Setelah makanan dan ramuan, tiba giliran perlengkapan teknis. Di satu meja, terhampar panah penerang dengan anak panah kecil berujung wolfram tipis, bisa menyala dengan asap biru hingga sepuluh menit. “Gunakan ini untuk menandai jalur di kegelapan.” instruksi Nenek Li.

Di dekatnya, tersedia kantong tali pengikat perak yang penting untuk menurunkan beban atau mengamankan tenda gunung. Seorang tukang tenun desa, Ah Bo, menunjukkan satu gulungan tali. “Kami anyam dengan benang rambut kuda hutan, ini dapat membuatnya kuat dan ringan.” paparnya bangga.

Di sudut lain, Lin Hua memegang kompas kayu yang merupakan alat warisan pertapa kuno. “Setiap orang dapat satu kompas.” ujarnya sambil membagikan. “Ini akan membantu kita memantau orientasi, terutama di kabut tebal Puncak Perak.”

Meski sudah tiba waktu siang, Nenek Li menghentikan pembagian perlengkapan sejenak. “Sebelum bergerak, kita butuh latihan singkat dengan formasi yang terstruktur.” ucapnya. Para relawan segera membentuk lingkaran di lapangan kecil di depan tenda. Liang Feng memimpin. “Ingat formasi akan dibagi menjadi dua dengan barisan depan untuk menembus jebakan roh, sedangkan barisan belakang untuk menahan gelombang kegelapan.”

Ia mencontohkan gerakan dengan kaki kanan melangkah serempak, pedang naga diarahkan ke depan, lalu kaki kiri menggantikan agar irama langkah kaki seirama detak jantung. Bai Xue menirukan gerakan itu dengan ekor peraknya, menciptakan pusaran cahaya perak yang menyemangati.

Wei Xin mencoba memimpin barisan, namun satu relawan terantuk akar pohon saat melakukan simulasinya. “Hati-hati!” teriak Liang Feng sambil menahan tawa dan memegangi rekan yang terantuk. “Gunakan gerakan ringan, bukan membanting otot!”

Di akhir latihan, Nenek Li mengangguk puas. “Formasi siap.” katanya. “Sekarang, kita ulang sekali lagi sebelum bertolak.”

Menjelang sore, persiapan mendekati selesai. Para relawan mengenakan jimat bambu di leher masing-masing, dirapal mantra penolak gelombang kegelapan oleh Nenek Li. Bayangan rubah perak melayang menyentuh ujung jimat, menambah perlindungan roh.

“Sekarang, kita berkumpul untuk doa bersama.” ajak Nenek Li. Ia menancapkan tongkat kayu putih di tanah, membentuk lingkaran cahaya biru. Setiap relawan menutup mata, mengangkat tangan ke atas, dan bersama-sama melafalkan.

> “Bambu suci, tolak gelap,

Lindungi langkah, bimbing napas.”

Cahaya jimat berdenyut lembut seperti detak jantung kolektif yang membuat setiap wajah tertunduk merasakan hangatnya ikatan.

Usai doa, Nenek Li memanggil satu per satu relawan mendekat. Ia menatap mata mereka, lalu mengucapkan pesan penguat. “Ketika badai roh mengguncang, ingatlah desah embun di hutan perak, ingat kicauan burung dan tawa anak desa. Itu adalah rumah kalian. Jaga semangat, karena semangatlah yang menuntun kaki kalian pada jalan terang.”

Ia berhenti di depan Lin Hua. “Catat setiap jejak dan kisah kalian akan menjadi legenda yang menginspirasi.” Pada Wei Xin, ia berbisik, “Berlatih kekuatan, tapi jangan lupakan kelembutan hati. Tanpa hati, parang terkuat hanya menjadi besi tajam tanpa jiwa.”

Sore semakin mendalam ketika peta perjalanan kembali dibuka. Di bawah cahaya lentera, Liang Feng memetakan tiap pos:

Pos Celah Hijau – Jalur berbatu licin dengan semak berdaun hijau tua. Diprediksi ditempuh dalam 2 jam.

Reruntuhan Batu Naga – Pintu batu berukir naga, berfungsi sebagai gerbang awal. Wajib menyesuaikan ulang jalur aura.

Lembah Kabut – Lembah sempit berlumut tebal. Risiko ilusi roh tinggi.

Pos Bayangan – Pangkalan terakhir sebelum padang salju. Tempat istirahat dan perbaikan segel.

Trek Salju – Lereng batu tertutup salju abadi.

Lereng Terjal – Tantangan fisik terbesar sebelum puncak datar.

Puncak Perak – Titik tertinggi, di sinilah Hati Bumi terletak.

Liang Feng menunjukkan titik pertemuan di setiap pos. “Kita berangkat pada saat fajar tiba. Jika ada yang tertinggal, hentikan langkah di pos terdekat. Kita satu kesatuan, tak ada yang akan ditinggalkan.”

Lin Hua mengangguk tekun, menuliskan koordinat tiap pos ke buku catatannya.

Malam menjelang, relawan duduk berkelompok di depan tenda. Beberapa bermain seruling bambu, beberapa lagi menulis catatan. Liang Feng duduk bersama Wei Xin dan Lin Hua, memberi mereka porsi terakhir sup akar klinci hangat.

“Apa kau gugup?” tanya Wei Xin sambil memakan sup.

Liang Feng tersenyum tipis. “Sedikit. Tapi lebih dari itu, aku merasa bersemangat.” Ia menatap Lin Hua, “Bagaimana denganmu? Kesannya menikmatinya?”

Lin Hua mengangkat buku catatannya. “Sangat. Aku menulis setiap momen, dari mulai kedipan mata perak Bai Xue hingga gemuruh lembah kabut. Cerita ini akan jadi saksi perjuangan kita.”

Bai Xue meloncat mendekat, menyalurkan aura peraknya ke sup Wei Xin yang menghangatkan kuah dengan sinar lembutnya. “Ini kehangatan persahabatan.” ucapnya dengan bangga.

Para relawan menertawakan kehangatan suasana, seakan malam itu melupakan lelah hari-hari penuh ritual dan pertempuran.

Ketika lentera satu per satu dipadamkan, hanya tiga lentera tersisa di dekat tenda utama. Liang Feng menyelimuti diri dengan selimut sutra, memejamkan mata sejenak. Bai Xue meringkuk di pangkuannya, bulu peraknya berkilauan redup. Ia meraih tangan rubah suci itu, merasakan kehangatan yang menenteramkan hati.

“Selamat malam, Bai Xue.” bisik Liang Feng. “Besok akan jadi hari yang panjang.”

Bai Xue membalas dengan mendesis lembut. “Istirahatlah, Pelindung. Besok, kita akan menulis babak baru di langit.”

1
senjani jingga
wahh bagus.. rapi banget penulisannya..👍
Hinjeki No Yuri: Selamat Membaca Bab Selanjutnya 😉
total 1 replies
Oertapa jaman dulu
Menarik dan berbeda dg cerita lainya
Awal cukup menarik... 👍👍
Hinjeki No Yuri: Selamat Membaca Bab Selanjutnya 😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!