Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Sasaran
Begitu kalimat itu keluar dari mulut Boqin Changing, suasana di lorong gelap itu langsung berubah. Enam sosok muncul hampir bersamaan, seperti bayangan yang terlepas dari dinding. Dua orang melangkah ke depan, menghadang jalan mereka, sementara empat lainnya menyebar ke belakang dan sisi kiri dan kanan, menutup semua jalur mundur. Gerakan mereka rapi dan terlatih, jelas bukan perampok jalanan biasa.
Boqin Changing berhenti sepenuhnya. Tatapannya menyapu satu per satu sosok yang menghadang mereka, tenang tanpa sedikit pun gelombang emosi. Dengan sekali pandang, ia sudah bisa merasakan kekuatan yang tersembunyi di balik aura mereka. Dua pendekar raja, empat pendekar ahli.
Sha Nuo menyeringai tipis. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik ke arah Boqin Changing, suaranya penuh ejekan.
“Enam orang begini berani menghadang kita? Sampah.”
Salah satu dari mereka, pria bertubuh kurus dengan pedang panjang di pinggangnya, melangkah maju. Wajahnya dipenuhi bekas luka, dan senyumnya menyeringai kejam. Ia salah satu pendekar raja yang mengepung Boqin Changing dan Sha Nuo.
“Serahkan semua harta kalian,” katanya dingin. “Cincin ruang, senjata, semuanya.”
Matanya menyipit tajam.
“Jika tidak… kami akan membunuh kalian di sini.”
Ia lalu mengangkat dadanya, seolah bangga dengan identitasnya sendiri.
“Kami dari Kelompok Serigala Badai Utara. Nama itu seharusnya cukup untuk membuat kalian gemetar ketakutan.”
Sha Nuo menoleh ke arah Boqin Changing, alisnya terangkat sedikit.
“Kau kenal kelompok itu?” tanyanya santai.
Boqin Changing menggeleng pelan.
“Tidak tahu.”
Jawaban itu membuat keenam orang tersebut membeku sesaat. Ekspresi percaya diri di wajah mereka berubah menjadi heran. Biasanya, siapa pun yang mendengar nama Kelompok Serigala Badai Utara akan langsung panik, setidaknya menunjukkan rasa takut. Namun dua orang di hadapan mereka justru tampak… biasa saja.
Pria yang tadi bicara mendengus keras. Tangannya mencengkeram gagang pedang, lalu perlahan menariknya keluar dari sarung. Suara logam beradu terdengar nyaring di lorong sunyi itu.
“Kalau begitu, biar pedangku yang menjelaskannya,” katanya dengan nada mengancam. “Kukatakan sekali lagi. Jika nyawamu ingin selamat, serahkan semua hartamu.”
Boqin Changing menatapnya dengan pandangan meremehkan.
“Kalian ini hanya sekelompok orang miskin,” katanya datar, suaranya bahkan tidak meninggi, “yang tidak punya kemampuan selain merampok orang lain.”
Wajah pria itu langsung memerah. Matanya dipenuhi amarah.
“Kau mencari mati!”
Ia menggeram, lalu menghentakkan kaki dan melesat ke depan. Pedangnya terangkat tinggi, aura tajam menyelimuti bilahnya saat ia berlari lurus ke arah Boqin Changing.
Sha Nuo sudah bersiap. Tubuhnya sedikit mencondong, telapak tangannya mengepal, aura kuat mulai beriak di sekelilingnya. Namun Boqin Changing bergerak lebih dulu. Ia tidak mundur. Tidak menghindar. Ia hanya mengangkat telunjuk tangan kanannya.
Cahaya tipis, lurus, dan dingin menyala di ujung jarinya, seperti garis cahaya yang dipahat dari malam itu sendiri. Dalam sekejap, garis cahaya itu melesat. Tanpa suara ledakan, tanpa perlawanan.
“Cahaya Satu Jari!”
Garis cahaya lurus itu langsung menghantam kepala pria tersebut. Kepalanya meledak seketika. Tubuhnya masih sempat melangkah satu langkah sebelum roboh ke tanah dengan bunyi berat, pedangnya terlepas dan berguling di lantai batu, darah dan pecahan tulang memercik ke segala arah.
Lorong gelap itu kembali sunyi. Lima orang yang tersisa membeku, wajah mereka pucat, mata mereka membelalak penuh ketidakpercayaan.
Para perampok itu tampak gemetar ketakutan. Kepercayaan diri yang tadi masih tersisa lenyap seketika, digantikan oleh rasa dingin yang merayap dari telapak kaki hingga ke ubun-ubun. Empat pendekar ahli tanpa sadar mundur setengah langkah, napas mereka memburu, sementara satu pendekar raja yang tersisa menelan ludah dengan susah payah.
Pendekar raja itu menatap Boqin Changing dengan mata bergetar, suaranya serak saat akhirnya ia berbicara.
“Tidak mungkin… penampilan semuda itu…” gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kemampuannya… setidaknya… pendekar suci…”
Kalimat itu menghantam pikiran mereka semua. Orang-orang yang lain semakin ketakutan mendengarkannya. Wajah mereka berubah pucat pasi, keringat dingin mengalir di pelipis. Keinginan untuk melawan benar-benar runtuh. Yang tersisa hanyalah satu pikiran, kabur.
Namun sebelum mereka semua sempat berbalik dan melarikan diri, telunjuk Boqin Changing kembali terangkat.Cahaya dingin itu muncul lagi. Empat garis cahaya melesat hampir bersamaan.
Dalam satu napas pendek, empat kepala meledak satu demi satu, seperti labu yang dihantam panah api. Tubuh-tubuh itu roboh tanpa sempat menjerit, darah dan pecahan tulang mengotori lantai lorong yang gelap. Kini, hanya tersisa satu orang.
Sha Nuo melirik pemandangan itu dengan ekspresi datar, lalu menoleh ke arah Boqin Changing.
“Apa memang kau selalu suka menyisakan satu orang terakhir?” tanyanya santai.
Boqin Changing menurunkan tangannya dan menjawab tenang.
“Setidaknya ada yang bisa kita tanya.”
Satu-satunya orang yang tersisa tampak gemetar hebat. Kakinya melemah, dan tanpa berpikir panjang ia langsung berlutut di lantai batu. Kepalanya menunduk dalam-dalam, tubuhnya bergetar, sama sekali tidak berani kabur.
Boqin Changing tidak langsung memperhatikannya. Ia justru melangkah mendekati mayat-mayat yang tersisa. Ia mengambil cincin ruang dari jari mereka. Setelah itu, ia mengangkat telapak tangannya.
Api muncul. Api itu begitu panas hingga udara di sekitarnya terdistorsi. Dalam beberapa tarikan napas, jasad-jasad itu dilalap sepenuhnya, berubah menjadi abu tanpa menyisakan tulang sedikit pun.
Sha Nuo mengamati sambil menyilangkan tangan di dada.
“Mengapa tidak memasukkan jasad mereka ke dalam tanah seperti sebelumnya?” tanyanya.
Boqin Changing menjawab tanpa menoleh.
“Di kota ini, sebaiknya jangan meninggalkan barang bukti.”
Ia melanjutkan kegiatannya, mengambil cincin ruang yang tersisa dan membakar jenazah terakhir hingga lorong itu kembali bersih, seolah tidak pernah terjadi pembantaian barusan.
Sha Nuo kembali bertanya, nadanya ringan.
“Cincin ruang mereka isinya pasti tidak terlalu bagus.”
Boqin Changing menyimpan cincin-cincin itu dan berkata singkat.
“Yang kubutuhkan bukan hartanya.”
Sha Nuo menoleh.
“Lalu apa?”
“Petunjuk,” jawab Boqin Changing singkat.
Sha Nuo mengangguk paham.
Setelah selesai melaksanakan tugasnya, Boqin Changing akhirnya berbalik. Langkahnya perlahan namun mantap saat ia mendekati satu-satunya orang yang masih hidup, sosok yang masih berlutut gemetar di lantai, bahkan tidak berani mengangkat kepalanya.
Boqin Changing berhenti tepat di hadapan pria itu. Bayangan tubuhnya jatuh menutupi sosok yang berlutut, membuat tekanan tak kasatmata semakin menyesakkan.
Ia menunduk sedikit, suaranya datar, tenang, namun justru itulah yang membuatnya terdengar lebih mengerikan.
“Aku ingin bertanya sesuatu,” kata Boqin Changing pelan. “Jika jawabanmu memuaskan, aku akan memberimu satu kesempatan hidup.”
Tubuh pria itu bergetar lebih hebat. Keningnya menyentuh lantai batu, dahinya basah oleh keringat dingin.
“A-aku akan menjawab apa pun!” katanya tergesa-gesa. “Apa pun yang Tuan Muda ingin tahu!”
Boqin Changing melirik sekilas ke sekeliling lorong gelap itu. Meskipun sudah dibersihkan dari jejak darah dan mayat, tempat ini tetap bukan lokasi yang cocok untuk menggali informasi. Terlalu terbuka. Terlalu mudah dilalui orang lain.
Ia lalu berbalik sedikit dan melangkah ke arah lorong yang lebih sempit di samping, sebuah jalan kecil yang nyaris tak dilalui orang, dipenuhi tumpukan peti kayu kosong dan bau lembap yang menyengat.
“Berdiri,” perintahnya singkat.
Pria itu terkejut, namun langsung menurut. Kakinya masih gemetar saat ia bangkit, nyaris jatuh jika tidak segera menyeimbangkan diri.
Sha Nuo mendekat dan menepuk bahu pria itu sekali. Tepukan ringan, namun cukup membuatnya tersentak seperti disambar petir.
“Jangan macam-macam,” kata Sha Nuo sambil tersenyum tipis. “Aku tidak sebaik dia dalam mengendalikan emosiku.”
Pria itu mengangguk cepat, napasnya tersengal. Mereka bertiga kemudian bergerak meninggalkan lorong utama, masuk ke gang sempit yang lebih sepi. Cahaya lentera di sana redup, dindingnya retak-retak, dan suara langkah kaki mereka menggema pelan. Hampir tak ada orang yang lewat.
💥💥💥💥
🔥🔥🔥