Alana Xaviera merasa seperti sosok yang terasing ketika pacarnya, Zergan Alexander, selalu terjebak dalam kesibukan pekerjaan.
Kecewa dan lapar akan perhatian, dia membuat keputusan nekad yang akan mengubah segalanya - menjadikan Zen Regantara, pria berusia tiga tahun lebih muda yang dia temui karena insiden tidak sengaja sebagai pacar cadangan.
"Jadi, statusku ini apa?" tanya Zen.
"Pacar cadangan." jawab Alana, tegas.
Awalnya semua berjalan normal, hingga ketika konflik antara hati dan pikiran Alana memuncak, dia harus membuat pilihan sulit.
📍Membaca novel ini mampu meningkatkan imun dan menggoyahkan iman 😁 bukan area bocil, bijak-bijaklah dalam membaca 🫣
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red_Purple, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 : TCB
"Zen... Ayo, lanjutkan! Papa mendukungmu."
Zen terkejut mendengarnya, dia mengangkat wajahnya cepat. Begitupun dengan Jihan, dia lebih terkejut lagi, dia pikir suaminya akan menasehati putra mereka, tapi ini malah sebaliknya. Memberikan dukungan full.
"Papa ini gimana sih, anak nikung kok malah didukung!" Jihan memprotes, melangkahkan kakinya mendekat.
"Biarkan saja lah, Ma. Mereka ini kan masih muda dan masih ingin bersenang-senang," sahut Bram. "Harusnya Mama bangga, anak laki-laki kita satu-satunya ingin menjalin hubungan serius dengan seorang wanita."
Jihan mendesah panjang, "Bangga sih bangga, Pa. Tapi ini yang mau diseriusin sudah punya calon suami, apanya yang mau dibanggakan coba?"
"Mama seperti tidak pernah muda saja, dulu pas Papa deketin Mama kan Mama juga sudah punya pacar," ungkap Bram yang membuat tawa Zen hampir meledak, namun dia tahan karena tidak ingin kena amuk sang Mama.
"Ikh! Papa kok buka aib didepan anak sih!" kesal Jihan, kemudian beralih menatap pada Zen. "Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu putuskan hubungan kamu dengan Alana dan cari pacar lain. Kalau perlu kamu balikan sama Nessa saja tuh, mantan kamu pas SMA."
"Mama nggak mau hubungan baik mama sama Tante Amara renggang cuma gara-gara kamu menjalin hubungan dengan putrinya." ujarnya mengimbuhkan, kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan depan.
Bram menatap pada kepergian istrinya, kemudian menghela napas panjang dan menepuk pundak Zen. "Kamu sudah dewasa dan pasti tahu apa yang terbaik untuk kamu dan masa depan kamu. Kalau begitu Papa mau istirahat dulu dikamar."
Beberapa saat setelah papanya pergi, Zen pun masuk kedalam kamarnya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya dan duduk di sofa kamarnya. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dan memperlihatkan kontak Alana disana.
-
-
-
Keputusan sudah final. Kenyataan bahwa keluarga mereka sudah saling setuju dengan hubungan mereka nyatanya tidak bisa membuat Alana protes. Ditambah lagi dengan keseriusan yang Zergan tunjukkan dan ucapkan, membuat mama dan papanya semakin setuju dengan rencana itu.
Suara pintu yang dibuka dari luar membuat jantung Alana berdebar sedikit lebih kencang. Dia mengangkat wajahnya secara perlahan dan melihat bayangan mamanya yang masuk di cermin. Dengan wajah yang tampak serius dan langkah yang terkontrol, Amara berjalan mendekat dan berdiri disamping Alana yang sedang berdiri di depan cermin toilet.
"Alana, Mama ingin bicara serius." Amara membuka obrolan. "Kamu jangan coba-coba bicara pada Zergan tentang hubungan yang pernah terjalin antara kamu dan Zen selama Zergan pergi keluar kota kemarin."
"Lupakan tentang kejadian itu dan lupakan Zen. Jangan sampai kamu merusak rencana yang sudah kami sepakati. Semua ini demi kebaikan dan kebahagiaan kamu, Alana." tekan Amara, menegaskan.
Alana menundukkan wajahnya, senyuman tipis diwajahnya nyaris tak terlihat.
"Tapi aku juga mencintai Zen, Ma." ucapnya pelan.
"Jangan bodoh, Alana." sahut Amara, menatap lekat wajah putrinya. "Seiring berjalannya waktu kamu akan melupakan cinta sesaatmu itu. Dengan kamu sering menghabiskan waktu bersama dengan Zergan, perasaan kamu pada Zen pasti lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Kamu hanya merasa kesepian saja karena Zergan sibuk, makanya kamu menganggap kehadiran Zen begitu berarti buat kamu."
"Tadi siang Mama juga sudah kerumah Tante Jihan." ucap Amara yang membuat Alana terkejut. "Mama meminta Tante Jihan untuk menasehati Zen dan memintanya untuk tidak mendekati kamu lagi."
"Harusnya Mama tidak melakukan itu." Alana menatap kecewa. "Yang terjalin antara aku dan Zen bukan cinta-cintaan anak remaja yang akan hilang dengan begitu saja. Aku benar-benar mencintainya, kami saling mencintai!"
"Lalu bagaimana dengan Zergan?!" potong Amara cepat, napasnya mulai terdengar berat karena menahan amarah.
Amara menghela napas panjang, "Mama tidak ingin berdebat disini, Alana. Zergan dan orang tuanya sudah menunggu, sebaiknya kita kembali sekarang."
Amara memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan toilet, suasana kembali hening dengan Alana yang memilih untuk berdiri disana dengan pikiran yang berkecamuk. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Alana keluar dan terkejut saat melihat Zergan sudah menungguinya didepan toilet.
"Kamu pergi ke toilet lama sekali, karena khawatir aku menyusul untuk melihatmu dan memastikan kamu baik-baik saja." Zergan mengusap lembut wajah Alana.
"Zergan, harusnya kamu bicara denganku lebih dulu jika ingin membuat acara pertemuan keluarga seperti ini, jangan membuat keputusan sepihak." Alana memprotes.
"Sayang," panggilnya lembut. "Aku pikir kamu pasti tidak akan keberatan dan malah akan senang. Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiran kamu? Apa kamu sudah tidak ingin menikah denganku?"
"Malam itu saat merayakan ulang tahunmu bukankah kamu sendiri yang bertanya kapan aku siap untuk menikahi kamu, lalu kenapa sekarang malah kamu terlihat seperti tidak senang? Sebenarnya ada apa, Sayang? Apa yang membebani pikiran kamu?"
Begitu banyak pertanyaan yang Zergan ajukan, Alana sampai bingung harus memulainya darimana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dia tidak ingin terus-terusan menutupi hubungannya dengan Zen yang membuatnya merasa sangat bersalah karena telah mengkhianati Zergan. Tapi dia juga belum bisa membuat keputusan untuk memilih salah satu dari keduanya.
"Zergan, sebenarnya ada rahasia besar yang aku sembunyikan dari kamu." Alana memberanikan diri untuk berbicara. "Selama kamu pergi keluar kota kemarin, sebenarnya aku---"
"Zergan... Alana...."
Suara Imelda memanggil keras, membuat keduanya menoleh. Imelda melangkahkan kakinya mendekat dan langsung merangkul pundak Alana dengan akrab.
"Ayo cepat kembali, kalian sudah ditunggu loh," ajak Imelda.
"Iya, Ma, ini juga kami sudah mau kembali." jawab Zergan.
"Ayo sayang," ajak Imelda pada Alana, membawa calon menantunya itu kembali ke meja makan dengan diikuti Zergan yang berjalan dibelakang mereka.
Padahal, Alana ingin bicara jujur pada Zergan tentang hubungannya dengan Zen. Tapi sepertinya dia tidak bisa menceritakannya malam ini dan akan mencari momen yang pas untuk menceritakannya nanti. Alana tidak ingin terus-terusan menutupi hubungannya dengan Zen yang membuatnya semakin merasa bersalah pada Zergan.
-
-
-
Setelah hampir semalaman tidak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan acara pertunangan yang akan berlangsung besok, pagi ini Alana tetap bangun lebih awal karena dia sudah berjanji pada Kayla kalau dia akan mengunjungi gadis kecil itu lagi dirumah sakit.
Setelah selesai dengan penampilannya, Alana bergegas turun ke lantai bawah untuk berpamitan pada mamanya. Awalnya Amara tidak mengijinkannya pergi, tapi Alana bilang jika dia ingin pergi ke kantor Zergan karena ingin membicarakan tentang acara pertunangan besok berdua. Dan dengan berat hati akhirnya Amara memberikan izin.
"Nanti Mama akan telefon Zergan untuk memastikan kamu benar-benar pergi kesana atau tidak." ucap Amara begitu Alana membuka pintu mobilnya, dia hanya ingin memastikan jika putrinya tidak berbohong.
Alana mengangguk dengan yakin, "Mama telefon saja kalau tidak percaya."
Pintu mobil ditutup dengan keras setelah Alana masuk dan duduk di kursi kemudi. Setelah menemui Kayla nanti, Alana memang berniat untuk menemui Zergan dikantornya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sebelum kerumah sakit, Alana lebih dulu mampir ke toko mainan dan membelikan sebuah boneka Barbie dengan ukuran jumbo untuk Kayla. Mengingat cerita tentang Kayla, jujur Alana merasa kasihan pada anak itu.
Dengan penuh percaya diri, Alana melangkahkan kakinya menuju ke ruang rawat Kayla setelah dia turun dari mobilnya, senyuman manis bahkan terus bertengger diwajahnya. Dia sangat tidak sabar ingin segera bertemu dengan Kayla dan memberikan hadiah itu padanya.
Alana membuka pintu ruangan dimana Kayla tengah dirawat. Senyuman diwajahnya perlahan memudar dan digantikan dengan ekspresi terkejut yang tidak bisa dia sembunyikan saat melihat Karina yang sedang berdiri di samping ranjang dan sedang menyisiri rambut Kayla.
"Karina? Jadi... Kayla ini anak kamu?"
-
-
-
Bersambung....
mo komen di paragrap gak bisa,, lagi repisi katanya🤧🤧
gonjang-ganjing hubungan
selamat berpusing ria ya lana 😂
Kalo zergan, Dateng lagi Jan diterima ya rin.dia ngebuang kelean sebegitu enaknya
sory ini ya Alana Mungin agak jahat. tapi Karin cerita aja dech.
biar bisa dapet selotip yang baek