NovelToon NovelToon
Sebelum Segalanya Berubah

Sebelum Segalanya Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Dunia Masa Depan / Fantasi / TimeTravel
Popularitas:810
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."

Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.

Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.

Manakah yang akan di pilih oleh Rania?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#23

Happy Reading...

.

.

.

Keesokan harinya, Rania tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Tidak ada yang berbeda. Ia bangun pagi, melangkah ke dapur kecil apartemen itu lalu mulai memasak sarapan sederhana untuk dirinya sendiri. Aroma tumisan bawang memenuhi ruangan itu tetapi tidak mampu memberi rasa nyaman di hati Rania.

Ia kemudian bekerja di depan laptopnya selama beberapa jam meski hari ini hari liburnya. Ia menyelesaikan beberapa laporan yang terpaksa ia bawa pulang, membaca ulang dokumen, dan melakukan semua tugas kantor lainnya seakan ingin menghindari pikirannya sendiri. Setelah itu, ia membereskan apartemen yang katanya milik Arkana itu. Sampai saat ini Rania masih bingung, mengapa pria itu mengizinkannya tinggal disini, namun tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun.

Hari itu berjalan seperti biasanya. Tidak ada gangguan, tidak ada percakapan dengan siapa pun, tidak ada hal yang memaksanya untuk melakukan aktivitas di luar. Saat malam tiba, hanya ada cahaya televisi dan suara yang mengisi ruangan, meskipun Rania sama sekali tidak memperhatikan apa yang tayang di sana.

Ia duduk bersandar pada sofa, kedua tangannya terlipat di pangkuannya.  Dan untuk kesekian kalinya, ia mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidupnya. Bahkan setelah berulang kali merenung, ia tetap tidak mengerti.

Hidup yang ia jalani sekarang terasa seperti ruangan gelap yang tidak memiliki pintu untuk keluar.

Entah kenapa tiba-tiba ia kembali teringat dengan Melisa dan Alisa. Dua nama yang tidak sengaja ia lupakan.

“Sekarang mereka ada di mana?” Gumamnya pelan penuh tanda tanya.

Pertanyaan itu muncul begitu saja. Bayangan wajah dua orang yang dulu ia panggil keluarga itu muncul di kepalanya.

Bagaimana kehidupan mereka sekarang? Apakah mereka berdua baik-baik saja? Apa mereka masih tinggal di tempat lama? Apa mereka makan dengan benar?

"Jika ini hampir lima tahun, bukankah Alisa sudah lulus kuliah? Apa dia sudah bekerja? Apa dia yang menghidupi mama?" Tanya Rania lagi pada dirinya sendiri. Entah kenapa hatinya terasa seperti diremas secara perlahan.

Selama bertahun-tahun, Rania menjadi tulang punggung keluarga. Ia yang bekerja, ia yang memberikan uang... Ia yang selalu mengalah, ia yang selalu mengurus semuanya. Tapi pada akhirnya ia juga yang diabaikan. Ia yang dijadikan kambing hitam atas kematian papanya.

Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya, tapi semua hanya berakhir menjadi gumaman lirih yang hilang bersama suara televisi yang menyala tanpa arti.

Apa mereka rindu? Apa mereka membencinya? Apa mereka menganggap ia tidak berguna?

Atau…

“Apa mereka hidup lebih bahagia tanpa aku sekarang?” Tanyanya lirih, suaranya nyaris tenggelam.

Mata Rania tetap fokus ke arah televisi, meskipun matanya tampak kosong. Ia tidak berusaha menghapus air yang menggenang di kedua matanya. Ia membiarkannya begitu saja.

Di tengah lamunannya itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Suara getaran kecil itu justru membuat Rania tersentak dari lamunannya. Ia menoleh perlahan, menatap layar ponsel yang memperlihatkan nama Sonya di sana. Ia mengusap kedua pipinya.

Kening Rania langsung berkerut. Ia melirik jam di atas dinding. Sudah hampir pukul sembilan malam.

“Kenapa dia menelefon malam- malam begini?” bisiknya dengan nada bingung.

Ia menghela napas perlahan sebelum menggeser tombol hijau dan mengangkat telepon. “Sonya? Ada apa menelefon malam- malam begini?” tanya Rania, suaranya tenang namun terdengar jelas bahwa ia merasa sedikit terganggu.

Di seberang, suara Sonya terdengar bergetar.

“M-maaf, Bu Rania... apa saya mengganggu waktu Ibu?”

Rania mulai merasa bersalah. “Tidak... Tidak apa- apa. Ada apa? Kenapa kamu terdengar cemas.”

Sonya terdiam beberapa detik, seakan sedang menelan tangis yang ditahannya. “Bu.. saya.. saya ingin..Saya ingin meminta izin.” katanya akhirnya.

“Izin?” Rania mengulang, bingung.

"Ya.. Bu..."

“Iya. Tapi izin untuk apa? Apa ada masalah?”

“Nenek saya.. Nenek saya sedang sakit bu. Saya harus pergi besok pagi. Dia satu- satunya keluarga yang saya miliki bu... Apa.. apa saya boleh tidak masuk kerja besok?” Sonya bertanya sangat pelan, seakan takut salah bicara.

Rania langsung menjawab tanpa berpikir panjang.

“Tentu saja boleh. Kamu boleh izin kapan pun jika ada urusan penting seperti itu.”

“Tapi Bu.. saya.. saya hanya minta satu hari saja. Satu hari saja cukup bu.. Tidak lebih.”

“Kamu bisa ambil cuti satu minggu jika perlu..” ucap Rania lembut. “Saya izinkan.”

Hening beberapa detik. Tidak ada suara apa pun dari seberang, hingga akhirnya Sonya bicara lagi dengan panik.

“T-tidak, Bu! Satu hari saja! Saya... saya tidak....”

“Kenapa?” Potong Rania bertanya. "Apa kamu tidak ingin menjaga nenek kamu?"

“Bukan begitu, Bu.” Suara Sonya terdengar semakin tidak stabil. “Saya… saya masih membutuhkan pekerjaan ini bu..."

Rania langsung membeku. Matanya membesar sedikit, dan jantungnya terasa jatuh. Ia bahkan sampai duduk lebih tegak tanpa sadar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Kilasan balik saat dirinya memecat seseorang tanpa mau mendengarkan penjelasannya membuat Rania kembali merasakan rasa bersalah.

“Sonya...” Rania berkata sangat pelan. “Siapa yang bilang saya akan memecatmu?”

Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara sesenggukan kecil dari seberang telepon.

“Sonya?” ulang Rania lebih lembut. “Katakan pada saya... kenapa kamu berpikir begitu?”

Suara Sonya pecah. " Maaf bu, tapi saya tidak mau sampai ibu memiliki alasan untuk memecat saya bu.. Saya masih butuh uang bu.. Saya masih butuh pekerjaan ini." Ulangnya.

Rania memejamkan matanya pelan. Ada rasa perih yang merayap naik dari dadanya hingga ke tenggorokan.

“Sonya, dengarkan saya baik-baik.” ucap Rania dengan suara yang halus tapi tegas. “Tidak ada seorang pun... saya ulangi, tidak akan ada seorang pun... yang akan memecatmu hanya karena kamu meminta izin menjenguk keluargamu yang sakit.”

“Tapi Bu..”

“Kamu selama ini sudah bekerja dengan sangat baik,” lanjut Rania. “Kamu disiplin. Kamu tidak pernah membuat masalah. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk memecatmu. Bahkan saya sendiri.”

Suara Sonya terdengar gemetar.

“Saya.. saya minta maaf. Saya hanya.. saya hanya terlalu takut.”

Rania menggeleng pelan, meski Sonya tidak bisa melihatnya.

“Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu tidak salah apa pun.” ucapnya.

Sonya terdiam. Rania bisa merasakan gadis itu menangis tanpa suara.

“Kamu ambillah cuti untuk besok,” lanjut Rania. “Jika kamu butuh waktu tambahan atau membutuhkan sesuatu kabari saya.”

“Baik, Bu.. terima kasih... terima kasih banyak.”

“Jaga dirimu, Sonya. Dan semoga nenek kamu lekas sembuh."

Panggilan itu berakhir.

Rania meletakkan ponselnya perlahan. Ia menatap benda itu cukup lama, seakan ponsel tersebut menyimpan jawaban dari sesuatu yang selama ini tidak ia sadari.

Setelah itu tanpa disadarinya, air mata mulai mengalir di pipinya. Perlahan tapi menyakitkan.

Ia mengusap wajahnya kasar, namun air mata lain jatuh lagi. Ia terlalu mengerti rasa takut Sonya. Karena Ia juga pernah berada pada posisi yang sama... Dipaksa bertahan dalam pekerjaan yang membuatnya terluka, dimanfaatkan tanpa henti oleh orang-orang yang seharusnya menghargai usahanya. Bahkan setelah kematian papanya ia hampir saja di lecehkan oleh salah satu atasannya.

Rania menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa. Televisi tetap tetap di biarkan menyala. Malam itu Rania membiarkan hatinya terlihat rapuh tanpa menutupinya dengan senyum atau wajah datar seperti biasanya.

.

.

.

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...

1
Erni Kusumawati
nyesek bgt jd Rania😭😭😭😭
Puji Hastuti
Seru
Puji Hastuti
Masih samar
Puji Hastuti
Semakin bingung tp menarik.
Erni Kusumawati
masih menyimak
Puji Hastuti
Menarik, lanjut kk 💪💪
Erni Kusumawati
duh.. semoga tdk ada lagi kesedihan utk Rania di masa depan
Puji Hastuti
Masih teka teki, tapi menarik.
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya ya, duh penasaran jadinya.
Puji Hastuti
Gitu amat ya hidup nya rania, miris
Erni Kusumawati
luka bathin anak itu seperti menggenggam bara panas menyakitkan tangan kita sendiri jika di lepas makan sekeliling kita yg akan terbakar.
Erni Kusumawati
pernah ngalamin apa yg Rania rasakan dan itu sangat menyakitkan, bertahun-tahun mengkristal dihati dan lama-lama menjadi batu yg membuat kehancuran untuk diri sendiri
Erni Kusumawati
mampir kk☺☺☺☺
chochoball: terima kasih kakak/Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Puji Hastuti
Carilah tempat dimana kamu bisa di hargai rania
Puji Hastuti
Ayo rania, jangan mau di manfaatkan lagi
Puji Hastuti
Bagus rania, aq mendukungmu 👍👍
chochoball: Authornya ga di dukung nihhh.....
total 1 replies
Puji Hastuti
Memang susah jadi orang yang gak enakan, selalu di manfaatkan. Semangat rania
Puji Hastuti
Kasihan rania
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!