---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - KERAS KEPALA RIANTY
Sudah entah untuk keberapa kalinya Rianty datang ke kantor itu.
Dan setiap kali ia muncul, udara seolah berubah — dari tenang menjadi gaduh, dari profesional menjadi penuh bisik-bisik yang tak bisa dibendung.
Langkah kakinya menggema di lantai marmer, diiringi dengung pendingin ruangan yang tiba-tiba terasa lebih keras dari biasanya.
Perempuan itu melangkah anggun, dengan gaun lilac lembut yang membalut tubuh rampingnya, sepatu hak tinggi berkilau di bawah sinar lampu neon.
Senyumnya lembut, tapi di balik kelembutan itu ada sesuatu yang tajam, sesuatu yang membuat siapa pun yang menatapnya tak berani bersuara terlalu keras.
“Eh, datang lagi tuh, perempuan cantik itu…”
“Kayaknya nyari Mas Raka lagi, deh.”
“Duh, kalau aku yang dikejar secantik itu mah, udah tak suruh datang tiap hari!”
Bisik-bisik kecil itu bertebaran seperti angin, menyelusup dari meja ke meja.
Namun Rianty tidak peduli.
Matanya hanya tertuju pada satu orang — Raka.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Dika baru saja keluar dari ruang kontrol dengan tumpukan berkas di tangan. Begitu melihat sosok Rianty, ia langsung menepuk dahinya.
“Ya ampun, dia datang lagi,” gumamnya dengan ekspresi setengah frustasi. “Ini cewek kayak iklan YouTube, nongol terus tiap hari dan gak bisa di-skip!”
Raka yang duduk di belakang meja kerjanya hanya menatap layar komputer, tapi matanya kosong. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
Sudah terlalu hafal dengan aroma parfum Rianty yang samar tapi menusuk itu.
“Aku udah bilang jangan datang ke sini lagi, Dik,” desisnya pelan. “Tapi kayaknya percuma. Dia gak akan berhenti.”
Langkah sepatu hak tinggi itu semakin dekat.
Tuk… tuk… tuk…
Suara yang dulu terasa elegan, kini terdengar seperti detak jam kematian bagi ketenangan Raka.
Begitu pintu kaca terbuka, semua orang otomatis menunduk pura-pura sibuk. Tapi mata mereka diam-diam memantul di permukaan monitor, atau dari pantulan kaca jendela.
Semua menunggu — tanpa suara, tapi penuh rasa ingin tahu.
“Mas Raka…”
Suara itu lembut, tapi menggetarkan.
Raka mendongak, menatapnya datar. “Ada apa lagi, Rianty?”
Rianty tersenyum. Senyum itu bukan sekadar basa-basi — ada rasa percaya diri di sana, juga sedikit kesedihan yang tersembunyi.
“Aku cuma mau ngasih ini.”
Ia mengulurkan sebuah kotak berwarna krem muda. “Aku masak sendiri loh. Buat kamu.”
Dika yang masih berdiri di pojok langsung bersiul kecil.
“Wih, bro, ini baru namanya privilege. Aku aja dikasih gorengan udah bahagia, ini dikasih masakan buatan tangan!”
Raka melirik tajam ke arah Dika, memberi isyarat agar diam. Dika hanya mengangkat tangan, pura-pura tak bersalah, lalu kabur pelan-pelan sambil terkekeh.
Kini hanya mereka berdua.
Sunyi.
Hanya suara AC yang berdengung.
“Rianty, aku udah bilang… jangan ke sini lagi,” ucap Raka akhirnya, nada suaranya datar tapi terdengar getir. “Orang-orang bisa salah paham.”
Rianty meletakkan kotak itu perlahan di meja, lalu menatap Raka dengan sorot mata yang tenang tapi keras kepala.
“Terserah mereka mau ngomong apa,” katanya. “Aku cuma pengen lihat kamu.”
Kalimat itu sederhana, tapi setiap katanya seperti menampar hati Raka.
Ia menggigit bibir, menahan emosi. “Rianty, kamu sadar gak, yang kamu lakuin ini salah?”
“Salah?” Rianty tersenyum miris. “Kalau mencintai seseorang yang bahkan udah punya istri itu salah, maka biar aku yang tanggung dosanya.”
Raka memejamkan mata.
Kata “cinta” dari mulut Rianty terasa seperti racun yang manis — memabukkan tapi mematikan.
Ia tahu Rianty tulus, tapi justru ketulusan itulah yang membuat segalanya jadi berbahaya.
“Rianty, kamu gak ngerti…” suaranya berat. “Aku udah beristri. Aku punya anak. Aku gak mau nge rusak semuanya.”
Rianty melangkah maju. Kini jarak mereka tinggal sejengkal.
Wangi parfumnya menyusup di antara mereka, membuat jantung Raka berdetak lebih cepat meski otaknya menolak.
“Kalau kamu gak mau nge rusak,” bisik Rianty, “kenapa kamu masih nyimpen nomor aku? Kenapa kamu masih ngebales pesan waktu itu?”
Raka membeku.
Pertanyaan itu menghantamnya seperti pukulan telak.
Ia ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu.
Ia tahu Rianty tidak sepenuhnya salah. Di satu titik, Raka memang lemah — membalas pesan itu, karena rindu, karena nostalgia, karena kebodohan sesaat.
Suasana ruangan menegang.
Beberapa karyawan mencuri pandang dari balik dinding kaca, pura-pura mengetik tapi jari mereka berhenti di udara.
Mereka tidak mendengar isi percakapan, tapi aura di dalam ruangan itu terasa seperti api yang siap meledak.
“Rianty…” suara Raka pelan, tapi tegas. “Kamu pulang. Sekarang juga. Aku gak mau ngomong apa-apa lagi.”
Namun Rianty tidak bergerak.
Wajahnya berubah — lembutnya hilang, berganti keteguhan dan luka yang lama ditahan.
“Tapi aku belum selesai!” bentaknya, membuat semua orang di luar ruangan saling pandang.
“Aku udah berjuang, Mas! Aku datang bukan buat main-main!”
Suaranya bergetar. Air mata mulai menggenang, tapi ia tahan mati-matian.
“Setiap malam aku mikirin kamu. Aku tahu kamu juga gak bisa lupain aku. Aku lihat dari cara kamu liat aku waktu terakhir ketemu di lobi. Mata itu… masih sama.”
Raka bangkit dari kursinya, wajahnya berubah tegang. “Berhenti, Rianty. Cukup.”
Nada suaranya tajam, tegas — tapi di balik ketegasan itu, ada suara lain yang gemetar, suara orang yang sedang menahan diri agar tidak runtuh.
Keheningan yang panjang menyusul.
Hanya tatapan mereka yang tersisa — dua orang yang sama-sama terluka, tapi berada di dua sisi yang berbeda.
Akhirnya, dengan napas tersengal, Rianty memalingkan wajah.
Ia meraih kotak krem di meja, lalu meletakkannya kembali dengan tangan bergetar.
“Kalau kamu gak mau makan, buang aja. Tapi jangan pernah bilang aku gak pernah berjuang.”
Dan tanpa menunggu jawaban, ia berbalik.
Langkahnya cepat, tegas, tapi setiap hentakan sepatu seperti memecahkan udara.
Begitu pintu kaca tertutup, suara bisik-bisik kembali memenuhi ruangan — lebih pelan, tapi lebih panas.
Dika muncul lagi dari arah lorong, membawa segelas kopi. Ia menatap Raka yang kini terduduk lemas di kursi.
“Gue gak tahu masalah lo apa, Rak,” katanya pelan, nada suaranya kali ini tak lagi bercanda, “tapi yang jelas, kalau dua orang sekeras kalian saling maksa, gak akan ada yang menang. Dua-duanya bakal hancur.”
Raka tak menjawab.
Kedua tangannya menutupi wajah, napasnya berat, dada terasa sesak.
Kotak krem muda itu masih di atas meja, belum tersentuh.
Aromanya samar, tapi cukup untuk membuat hatinya bergetar — mengingatkan pada masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur.
Ia lelah.
Bukan hanya karena Rianty…
tapi karena dirinya sendiri yang tak sepenuhnya bisa menolak.
#tbc
Selamat sore
Happy reading
Jangan lupa komen and like nya..