Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Rapat
Boris membuka map tebal di tangannya, mengeluarkan beberapa foto berwarna, lalu meletakkannya di meja satu per satu. Foto-foto itu memperlihatkan Surya di pelabuhan: bertemu orang asing, mengawasi truk kontainer, dan berbicara dengan wajah serius.
“Pak,” kata Boris, “ini bukti terbaru. Surya memungut pajak dari dua jalur pelabuhan yang seharusnya di bawah kendali kita. Dan ini” Boris menunjuk foto lain “pertemuannya dengan orang-orang Silver Claw.”
Beberapa anggota terdengar bergumam pelan. Nama Silver Claw bukan nama sembarangan. Sindikat kriminal internasional itu terkenal kejam dan ambisius. Sekali mereka masuk ke sebuah kota, mereka tidak akan berhenti sampai semua jalur perdagangan gelap ada di bawah kendali mereka.
Pak Arman mengambil salah satu foto, menatapnya lama. Rahangnya mengeras.
“Dia kira dia siapa?” suara Pak Arman rendah, tapi membuat udara di ruangan terasa berat. “Mengundang orang luar masuk ke wilayah saya?”
Boris menatap anggota lain, lalu berkata, “Pak, kalau Silver Claw benar-benar dapat akses ke pelabuhan, mereka tidak akan berhenti di situ. Senjata, narkoba, manusia semua akan mereka bawa masuk. Dalam beberapa bulan, kita akan kehilangan setengah kota.”
Pak Arman meletakkan foto itu di meja. Tangannya mengetuk permukaan kayu tiga kali, kebiasaan lamanya saat menahan amarah.
“Surya… Surya…,” ia bergumam pelan. “Lupa siapa yang membuatnya bisa berdiri di sana. Lupa siapa yang mengangkatnya dari orang jalanan jadi bos jalur pelabuhan.”
Seorang anggota berani bertanya, suaranya pelan, “Pak… mungkin dia hanya mencoba cari untung lebih?”
Pak Arman menatapnya tajam. “Untung lebih?” suaranya naik sedikit. “Dengan menjual jalur kita ke orang luar? Itu bukan untung. Itu pengkhianatan.”
Ruangan langsung hening lagi.
Boris menambahkan, “Pak, Surya bilang kalau kita tidak setuju bagi hasil, dia akan serahkan jalur itu ke Silver Claw. Mereka sudah mengirim utusan minggu lalu.”
Pak Arman menyandarkan tubuhnya di kursi. Wajahnya tetap datar, tapi semua orang tahu ia sedang berpikir keras.
“Berapa orang yang Surya bawa sekarang?” tanyanya.
“Sekitar dua puluh,” jawab Boris. “Bersenjata lengkap.”
“Dan Silver Claw?”
“Belum masuk,” kata Boris. “Mereka menunggu jawaban Surya.”
Pak Arman mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita beri Surya panggung terakhirnya. Minggu depan. Di gudang pelabuhan. Saya ingin dengar langsung dari mulutnya.”
Boris bertanya, “Pak, kalau dia menolak?”
Pak Arman berhenti mengetuk meja. Tatapannya tajam seperti pisau.
“Kalau dia menolak,” suaranya serendah bisikan tapi membuat semua merinding, “maka malam itu akan jadi malam terakhirnya.”
Boris mengangguk tanpa ragu. “Siap, Pak. Saya akan siapkan semua orang. Jalur keluar ditutup, atap dijaga penembak, dan tim bersenjata di gudang sebelah.”
Pak Arman memandang semua anggota di ruangan itu. “Kita sudah terlalu lama membiarkan orang lupa siapa yang berkuasa di kota ini. Minggu depan, kita ingatkan mereka.”
Salah satu anggota berkata pelan, “Pak… kalau Silver Claw marah?”
Pak Arman tersenyum tipis, senyum yang membuat semua orang merasa dingin di punggungnya.
“Biar mereka marah,” katanya tenang. “Jakarta bukan kota mereka. Dan selama saya hidup, tidak akan pernah jadi kota mereka.
Setelah rapat bubar, para anggota pergi satu per satu. Boris tinggal sebentar untuk menerima perintah detail soal posisi orang-orangnya minggu depan. Setelah semuanya jelas, Boris pamit dengan anggukan singkat.
Pak Arman berjalan ke lantai atas villa, masuk ke ruang kerjanya yang luas. Di sana, di atas meja kerjanya, ada sebuah foto Stefany—putri semata wayangnya yang kini jauh di Jerman, melanjutkan kuliah.
Ia memegang foto itu lama. Wajah kerasnya sedikit melunak.
“Stefany…,” gumamnya pelan. “Kau beruntung tidak melihat semua ini.”
Di balik rasa sayangnya sebagai ayah, Pak Arman tahu dunianya penuh darah dan pengkhianatan. Itulah sebabnya ia mengirim Stefany jauh-jauh, agar tidak pernah terlibat dalam kekaisaran gelap yang ia bangun.
Tapi malam ini, pikirannya hanya dipenuhi satu nama: Surya.
Ia menatap keluar jendela ke arah lampu-lampu kota Jakarta.
“Minggu depan,” katanya pelan tapi penuh ancaman, “semuanya akan berakhir.”
Setelah keluar dari villa Pak Arman, Boris tidak langsung pulang. Ia melangkah ke arah garasi belakang di mana beberapa mobil hitam terparkir rapi. Di sana sudah menunggu enam pria berbadan tegap, wajah mereka keras seperti batu. Mereka adalah tim inti Boris orang-orang yang paling setia dan paling berbahaya di antara semua pasukan Pak Arman.
Malam itu angin berhembus dingin. Lampu-lampu taman villa memantulkan cahaya ke mobil-mobil hitam yang mengilap.
Boris berhenti di depan mereka, kedua tangannya bersedekap.
“Dengar baik-baik,” suaranya berat tapi jelas. “Minggu depan kita akan berhadapan dengan Surya. Pak Arman ingin rapat itu berjalan tenang… kecuali Surya berani menantang.”
Salah satu anak buahnya, pria berambut cepak bernama Reno, bertanya pelan, “Kalau dia menantang, Bos?”
Boris menatap Reno lurus-lurus. “Kalau dia menantang,” suaranya menurun tajam, “dia tidak akan keluar dari gudang itu hidup-hidup.”
Keenam pria itu saling pandang. Tidak ada yang terkejut. Mereka sudah terbiasa dengan perintah semacam ini. Di dunia mereka, pengkhianat hanya punya dua pilihan: tunduk… atau hilang selamanya.
Boris membuka peta pelabuhan yang ia bawa. Peta itu penuh dengan tanda panah merah dan biru. Ia menunjuk sebuah gudang besar di sisi timur pelabuhan.
“Rapat diadakan di sini,” katanya. “Surya akan datang dengan orang-orangnya lewat pintu utama. Kita akan pasang dua penembak di atap sini dan sini” ia menunjuk dua titik di peta“lalu tiga orang di pintu belakang. Jalur keluar harus tertutup rapat.”
Pria lain, Dimas, bertanya, “Kalau Surya bawa lebih banyak orang dari perkiraan?”
Boris menggeleng pelan. “Tidak peduli berapa banyak orangnya. Begitu Pak Arman kasih kode… semua selesai dalam lima menit.”
Reno tersenyum tipis. “Seperti waktu kita bereskan gerombolan Laskar Timur dulu, ya, Bos?”
Boris hanya mengangguk. Semua yang ada di situ masih ingat malam berdarah itu. Lima tahun lalu, sebuah geng lokal mencoba merebut jalur senjata Pak Arman. Dalam satu malam, mereka semua lenyap. Tidak ada yang berani menyentuh wilayah itu lagi sejak saat itu.
Setelah rencana dipaparkan, suasana di garasi terasa semakin tegang. Mereka semua tahu, berhadapan dengan Surya bukan hal sepele.
“Bos,” kata Dimas lagi, kali ini suaranya lebih hati-hati, “kalau Silver Claw benar-benar ikut campur… kita siap?”
Boris menatapnya lama sebelum menjawab. “Kalau mereka ikut campur, kita kirim pesan jelas: Jakarta bukan tempat mereka. Dan kalau perlu… kita bakar semua yang mereka punya di kota ini.”
Reno tertawa pendek, tapi tidak ada humor di suaranya. “Itu pasti akan bikin perang besar, Bos.”
“Kalau perang yang mereka mau,” Boris berkata dingin, “perang yang akan mereka dapat.”
Tidak ada yang membantah. Semua orang tahu Boris bukan tipe yang bicara kosong.
Setelah keluar dari villa Pak Arman, Boris tidak langsung pulang. Ia melangkah ke arah garasi belakang di mana beberapa mobil hitam terparkir rapi. Di sana sudah menunggu enam pria berbadan tegap, wajah mereka keras seperti batu. Mereka adalah tim inti Boris orang-orang yang paling setia dan paling berbahaya di antara semua pasukan Pak Arman.
Malam itu angin berhembus dingin. Lampu-lampu taman villa memantulkan cahaya ke mobil-mobil hitam yang mengilap.