🌺Judul sebelumnya Pesona Cleopatra🌺
Cleopatra, wanita yang biasa dipanggil Rara menghipnotis banyak kaum adam termasuk kakak beradik Fahreza dan Zayn.
Tepat di detik-detik pernikahan Rara dan Reza, Zayn merenggut kehormatan Rara.
Rasa cinta Reza yang besar tak menyurutkan langkahnya untuk tetap menikahi gadis cantik bak ratu mesir di zaman dahulu itu. Namun, noda yang ada pada sang istri tetap membekas di hati Reza dan membuat ia lemah untuk memberi nafkah batin selama pernikahan.
Apakah Reza benar-benar tulus mencintai Rara? Atau Zayn, pria yang memang lebih mencintai Rara? bagaimana nasib Rara selanjutnya?
Baca sampe tuntas ya guys.
Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepaskan penat
Tak terasa sudah hampir satu bulan Mirna dan Kemal berada di negara ini. Namun, mereka tetap intens berkomunikasi dengan Zayn. Putra keduanya itu memang bisa diandalkan untuk mengurus butik Mirna di sana. Lusa, Kemal dan Mirna akan kembali ke Paris. Mereka merasa kebersamaannya sudah cukup bersama sang putra, menantu dan sahabatnya.
Selama di sini, Kemal juga memantau bisnis yang saat ini dikelola sang putra. Seringkali ia dan Reza bertandang ke Bandung untuk melihat perkembangan pabrik baru mereka.
“Kamu hebat, Za. Semua berjalan dengan lancar. Bahkan pabrik Papa semakin banyak,” kata Kemal ketika mereka masih berada di Bandung.
“Bukan hanya itu, Pa. Sekarang hampir semua produk di negeri ini menggunakan kemasan dari bahan kita.”
Kemal mengangguk dan menepuk bahu Reza. “Bagus, Papa bangga padamu.”
Reza tersenyum. Ia memang selalu unggul.
“Oh, iya. Apa sore ini kita akan pulang?” tanya Kemal pada putranya.
“Besok pagi saja, Pa. Nanti malam Reza ingin menghadari reuni SMA. Kebetulan mereka sedang ada di kota ini juga.”
“Oh, begitu. Kamu tidak mengajak istrimu?”
“Kebetulan mereka juga tidak membawa istri. Hanya lima atau enam orang saja.”
“Bukannya kamu tidak memiliki teman dekat sebanyak itu sewaktu sekolah?” tanya Kemal lagi.
“Ya, kebetulan salah satu teman dekatku ikut. Jadi Reza juga ingin sesekali ikut acara itu.”
“Baiklah, terserah kamu. Kalau begitu ayo kita makan siang!”
Reza tersenyum dan mengangguk.
Kemal dan Reza segera meninggalkan pabrik dan mencari tempat makan yang tidak jauh dari tempat itu.
Dari satu minggu yang lalu, Reza memang sudah memberitahu sang istri untuk menghadiri acara itu malam ini.
****
“Bu Rara, Bu Husna.” Sapa salah seorang guru laki-laki, ketik kedua wanita itu melintas dan hendak berjalan menuju kantin.
Rara dam Husna kerap di sapa beberapa pengajar yang juga mengajar di yayasan itu, terutama mereka di sapa oleh pengajar yang berjenis kelamin laki-laki.
“Bu Rara cantik mau ke kantin?” tanya petugas keamaan yang mereka lewati.
“Iya, Pak.” Rara tersenyum dan mengangguk.
“Bu Husna juga main cantik,” kata petugas keamaan itu lagi.
Husna pun tersenyum senang. “Tuh kan kalau jalan sama Mbak Rara, pasti saya kecipratan dibilang cantik.”
Rara pun tertawa.
“Pokoknya, Mbak Rara ngga boleh bawa bekal lagi dar rumah. Makan di kantin aja bareng aku. Klau bawa bekal harus dua,” kata Husna lagi saat mereka masih berjalan menuju kantin.
“Kok gitu?” tanya Rara.
“Iya karena satunya lagi buat aku. Sedekah buat anak kosan mbak.”
Rara kembali tertawa.
Sudah dua minggu Rara kembali mengajar dan selama satu minggu kemarin ia memang selalu membawa bekal.
“Hay, ternyata kalian di sini.” sapa Widya dan Nayra, ketika melihat Husna dan Rara duduk di tengah-tengah kantin.
“Si emak mana?” tanya Husna yang menanyakan Ratmi.
“Sholat zuhur dulu katanya,” sahut Widya.
“Aduh aku kasihan sama si emak. Dia murung terus,” kata Nayra.
“Emangnya suaminya jadi kawin lagi? Udah aki-aki kawin mulu,” tanya Widya.
“Iya, kurang sabar apa lagi coba Bu Ratmi. Udah dipoligami dari muda. Eh sekarang anak-anakanya udah gede sampe udah punya cucu, suaminya masih mau kawin lagi juga. Astaghfirulloh. Itu dia yang bikin saya takut mau nikah, Mbak,” kata Husna.
Rara masih diam dan mendengarkan teman-temannya bicara. Ia tahu tentang keadaan Ratmi saat ini, karena Ratmi pun sering mencurahkan isi hatinya pada Rara. Walau Rara tidak bisa memberi petuah apapun pada Ratmi. Ia hanya bisa menjadi pendengar saja, karena menurutnya Ratmi adalah wanita yang hebat yang mampu berbagi cinta selama lebih dari dua puluh tahun.
“Ngga semua pria seperti itu, Na.” Kata Rara.
“Ia, contohnya suami Rara. Udah ganteng, kaya, ngga macem-macem, setia lagi,” celetuk Widya.
“Aamiin.” Rara hanya mengaminkan ucapan Widya.
“Eh ... Eh ... ada pemilik yayasan,” ucap Nayra.
“Uuuh ... gantengnya sih Pak Raihan.” Husna melting sendiri.
“Ck, elu Na. Semua cowok ganteng disukain.”
“Tapi yang ini duren mbak, Duda keren.”
“Loh memang istrinya Pak Reihan meninggal? Kapan? Kok aku ngga tahu?” tanya Rara bertubi-tubi.
“Satu-satu atuh non, tanyanya.” Kata Nayra.
“Waktu kamu lagi cuti panjang kemarin, Ra. Kasihan deh Pak Rei, mana anaknya masih kecil-kecil, anaknya baru umur dua tahun,” sahut Widya.
“Anaknya Pak Rei itu kembar kan?” tanya Rara lagi.
Widya dan Nayra mengangguk.
“Aduh, aku rela deh jadi ibu sambung buat mereka,” sahut Husna.
“Hush, katanya anak-0anaknya buandel banget. Mungkin nanti Tk nya di sini. siap-siap aja ngadepin anak-anak itu.”
“Emang iya?” tanya Rara tak percaya.
“Ssstt ... kek nya Pak Rei ngeliatin ke arah kita terus deh,” kata widya,
“Itu karena ada Rara di sini,” sahut Nayra.
“Apaan sih,” ucap Rara tak terima.
“Beneran Ra, aku sering liatin dia lagi ngeliatin kamu. Kayanya pak Rei tuh kalau lagi liatin kamu ampe ngga kedip,” kata nayra lagi.
“Mulai deh, gosip.” Rara semakin tak terima.
“Wah gosip baru nih,” ledek Husna.
****
Di kamar, Rara kembali mengecek ponselnya. Tidak ada telepon dari Reza. Biasanya sang suami selalu menelepon, bahkan dalam satu hari, sang suami bisa menelepon sebanyak lima kali. Namun hari ini, Reza hanya meneleponnya satu kali, tepat pada saat ia sampai di Bandung dan hanya mengabari bahwa ia dan sang ayah tiba di kota itu dngan selamat.
“Ternyata, dia sangat menikmati kebersamaannya dengan teman-temannya,” gumam Rara yang tahu bahwa malam ini Reza sedang reunian.
Di Bandung, Reza larut dalam acara reuni yang dihadiri oleh kaum adam. Ini adalah kali pertama Reza mengikuti acar ini. sebelumnya, ia tidak begitu menyukai pesta. Tetapi karena ada salah satu teman dekatnya yang hadir membuat ia pun ingin sesekalim melepaskan penat. Keasyikan dan keseruan di tempat ini, melupakannya untuk berkomunikasi dengan sang istri.
“Wah Za, lu baru pertama kali minum?” tanya salah satu teman Reza di sana.
Reza menggeleng. “Ngga juga. Tapi gue ngga bisa minum banyak.”
“Yah, cemen lu,” sahut salah satu teman Reza yang lain.
Kemudian mereka tertawa.
Di sana, Reza benar-benar melepaskan penatnya. Ia memang butuh hiburan, setelah apa yang telah ia lalui. Bercengkrama dengan teman-temannya itu memiliki keasyikan tersendiri bagi Reza. Ia bisa tertawa lepas dan sepertinya ia akan menghadiri pertemuan ini lagi, jika ada waktu yang pas.