Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meniru Langkah Nannan Jiejie
Jingnan segera meninggalkan kamar dan membersihkan wajahnya. Air dingin menyentuh kulitnya, menghapus tinta yang menempel—namun tidak sepenuhnya menghapus rasa kesal yang masih berdiam di dadanya. Ia menatap bayangannya di permukaan air, menghela napas panjang sebelum kembali menegakkan sikap seperti jenderal yang disegani semua orang.
Sementara itu, di dalam kamar, suasana masih dipenuhi sisa tawa dan kehangatan.
Wei Yu melirik Mei Yin yang berdiri dengan senyum penuh kemenangan, sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah.
“Mei Yin,” ucapnya pelan tapi tegas, “bisakah kau membuat kakakmu tenang?”
Mei Yin mengedipkan mata, lalu menghela napas dramatis.
“Tapi Ayah, kalau aku tidak mengganggu Nannan jiejie, aku harus apa?”
Ia melipat tangannya di dada, wajahnya menunjukkan protes yang tak bisa disembunyikan.
“Aku ingin menjadi jenderal wanita tidak boleh,” lanjutnya cepat, “mengganggu Nannan jiejie tidak boleh, jalan-jalan mengelilingi pegunungan ini bahkan tidak boleh. Jadi aku harus apa, Ayah?”
Weifeng yang berdiri tak jauh dari mereka melirik Mei Yin sekilas.
“Memangnya apa yang mau kau lihat di gunung ini?”
“Apa saja boleh,” jawab Mei Yin cepat, “asal bukan adegan romantis kalian semua.”
Ucapannya keluar begitu polos hingga beberapa orang langsung menoleh. Mei Yin sendiri tersenyum, seolah tak menyadari betapa kata-katanya barusan mengundang tawa.
“Hah… aku juga ingin merasakan hal-hal romantis,” lanjutnya sambil menatap kosong ke kejauhan, “jalan-jalan romantis misalnya.”
Ia bahkan tersenyum sendiri, seakan membayangkan dirinya berjalan anggun di bawah kabut Pegunungan Longfeng, ditemani seorang pria yang menatapnya penuh kasih.
Tak!
Sebuah pukulan ringan mendarat di kepalanya.
Weifeng memukul kepala Mei Yin pelan menggunakan gagang pedangnya.
“Weifeng Gege!!!” teriak Mei Yin nyaring.
“Weifeng, jangan begitu kepada adikmu,” tegur Wei Yu.
“Huwaaa, Ayah! Hukum saja dia!” Mei Yin langsung memeluk lengan Wei Yu, pura-pura menangis sambil mengeluarkan air mata palsu. Ia menunjuk Weifeng dengan penuh drama.
Wei Yu menghela napas, lalu menepuk bahu putrinya.
“Sudah, sudah. Jangan menangis. Baru begitu saja sudah menangis, bagaimana nanti kalau kau benar-benar menjadi jenderal seperti Nannan?”
Ia kemudian menarik Mei Yin keluar dari kamar Jingnan.
“Ayah! Weifeng Gege kenapa tidak dihukum?!” Mei Yin menoleh sambil berteriak.
“Tidak,” jawab Wei Yu ringan, “yang salah kan kau.”
Jingyan tersenyum kecil, begitu pula Weifeng, dan Lu Jianhong. Bahkan Ling An yang biasanya tenang pun tak bisa menahan senyum melihat kelucuan Mei Yin.
Canda tawa itu menghangatkan hatinya, namun di saat yang sama menyayat perasaannya.
Ada kehangatan yang membuat dadanya terasa penuh, tetapi juga luka yang kembali berdenyut pelan.
Seandainya ayahnya masih ada…
apakah ia pun akan merasakan kehangatan seperti ini—tawa yang sederhana, kebersamaan yang utuh, dan rasa aman yang kini hanya bisa ia pandangi dari kejauhan?
“Tapi—” Mei Yin hendak membantah.
“Sudah,” potong Wei Yu, “ayo ikut Ayah melatih prajurit.”
“Eh… ya sudah!” Mata Mei Yin langsung berbinar. Ia segera berjalan di belakang ayahnya.
Langkahnya dibuat anggun namun kaku, bahunya ditegakkan, dan tatapannya dibuat dingin—jelas meniru cara berjalan Jingnan. Setiap langkahnya terasa dibuat-buat, tapi penuh semangat.
Weifeng yang berjalan di belakang Wei Yu mengernyit melihat tingkah Mei Yin.
“Kau ini kenapa?”
“Diam, Gege,” bisik Mei Yin serius, “aku sedang meniru Nannan jiejie agar terlihat seperti jenderal sejati.”
Weifeng menahan tawa.
Sesampainya di hadapan para prajurit, Mei Yin justru mondar-mandir di depan barisan dengan gaya berjalan yang sama. Para prajurit saling melirik, bingung sekaligus heran.
Mei Yin berhenti mendadak, lalu tertawa lepas.
“Hahahaha!”
Wei Yu mengusap keningnya.
“Kau kenapa sebenarnya?”
Weifeng langsung menarik tangan Mei Yin agar berdiri di sampingnya.
“Cukup.”
“Tunggu dulu, Gege!” Mei Yin melepaskan tangannya dan kembali ke posisi semula.
Ia menegakkan punggung, mengangkat dagu, lalu menatap para prajurit dengan penuh percaya diri.
“Bagaimana? Apakah aku sudah terlihat seperti jenderal wanita sejati?”
Para prajurit terdiam sejenak, lalu serempak menjawab lantang,
“Iya! Putri Mei Yin sudah terlihat seperti jenderal wanita sejati!”
Mei Yin tersenyum bangga.
Di barisan belakang, dua prajurit saling berbisik.
“Kalau kita punya jenderal seperti Putri Mei Yin, entah bagaimana nasib kita.”
“Mungkin nanti perang diganti lomba petak umpet,” balas yang lain pelan.
Tawa kecil pun menyebar di antara para prajurit—pagi di Junwei Jun kembali hidup, diwarnai kelucuan, kehangatan keluarga, dan bayang-bayang takdir yang perlahan bergerak maju.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️