NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Menguping

Soedarsono berjalan sempoyongan ke meja rias, meraup air dalam baskom enamel putih besar yang sudah disiapkan sejak pagi.

Soedarsono membungkuk, membasuh wajahnya berkali-kali dengan gerakan tergesa. Air memercik ke meja, membasahi kain yang terlipat rapi di sisinya.

Dia meraih kain itu, mengusap wajah yang masih lembab dengan gerakan kasar, tidak seperti biasanya yang selalu rapi dan teratur.

Pariyem mengambil beskap hitam dari gantungan, membantunya memakai. Jari-jarinya bergerak cekatan mengancingkan satu per satu kancing dari bawah ke atas.

Tangannya merapikan setiap lipatan kain jarik, memastikan semuanya sempurna.

Soedarsono meraih sisir dari meja, mulai menyisir rambutnya yang acak-acakan. Tapi tiba-tiba gerakannya melambat.

Pria itu menatap pantulan dirinya di cermin kuno dengan bingkai kayu berukir, cermin yang sudah redup, permukaannya sedikit menghitam di sudut-sudut.

Pariyem yang sedang merapikan lipatan terakhir kain jarik menjadi heran. Dia memberanikan diri memperhatikan di sela-sela pekerjaannya.

Wajah Soedarsono di cermin itu ... murung. Tatapannya kosong, seperti memikirkan sesuatu yang jauh sekali, sesuatu yang menyakitkan.

Lalu ekspresinya berubah. Murung berganti kesal. Rahangnya mengeras. Gigi terkatup rapat.

Mata yang tadi kosong kini penuh emosi; marah, frustrasi, kelelahan yang sudah menumpuk terlalu lama.

Tangannya bergerak lagi, memasang rantai jam saku seperti biasa, gerakan santai, tidak lagi terburu. Yang lebih mengejutkan, begitu selesai, Soedarsono berbalik, memeluk Pariyem dengan erat.

Pariyem tersentak. Tubuhnya kaku. Ini tidak biasa. Soedarsono tidak pernah memeluknya seperti ini setelah merapikan pakaian; penuh emosi, seperti orang yang sedang mencari pegangan.

"Suwun, Yem," bisiknya lembut di telinga Pariyem. Suaranya bergetar sedikit. "Enak sekali rasanya tidur di sini. Badan lebih segar. Aku belum pernah tidur senyenyak ini setelah menjadi bupati."

Pariyem tersenyum, senyum yang dipaksakan meski hatinya berdebar bingung. "Tidak perlu berterima kasih, Ndoro. Sudah tugas saya."

Soedarsono menarik dagu Pariyem dengan lembut, memaksanya mendongak. Mata mereka bertemu, mata gelap Pariyem yang bingung, dan mata Soedarsono yang ... sedih.

Lalu dia mengecup bibir tipis itu. Sekali. Dua kali. Kecupan-kecupan lembut lain di sepanjang rahang. Turun ke leher. Menghirup wangi minyak melati yang melekat di kulit.

Pariyem semakin bingung. Ini aneh. "Ndoro," ucapnya pelan, berusaha melepaskan diri dengan halus. "Gusti Ayu sudah menunggu. Ndoro harus—"

"Biarkan saja," bisik Soedarsono, suaranya serak. "Aku masih merindukanmu."

Pelukannya semakin erat. Seperti tidak mau melepas. Seperti takut kehilangan.

Tapi kemudian, terdengar ketukan dari arah depan. Soedarsono menegakkan punggung dengan kesal.

Rahangnya mengeras lagi. Dia melepaskan pelukan, menatap Pariyem sekali lagi dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Aku temui Ibu dulu," suaranya pelan.

Tangannya mengusap pipi Pariyem dengan lembut, lalu mengecupnya sekali lagi, sebelum berjalan keluar dengan langkah yang dibuat tegap dan penuh wibawa.

Pariyem mengintip dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka.

Soedarsono berjalan menyusuri longkangan menuju dalem dengan postur yang tegak, kepala terangkat, seperti bupati pada umumnya.

Tapi Pariyem bisa melihat, bahu yang sedikit tegang, kepalan tangan yang terlalu kuat di sisi tubuh.

Pria itu sedang memaksakan diri.

Di luar pintu, beberapa abdi dalem berjongkok di sisi kanan dan kiri pintu dengan kepala tertunduk dalam. Begitu Soedarsono mendekat, mereka serentak membungkuk lebih dalam dengan dua tangan membentuk sembah di depan wajah.

"Punten dalem sewu, Ndoro. Gusti Ayu menunggu di dalem." (Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Tuan.)

Soedarsono mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia masuk dalem lewat pintu samping dengan langkah yang lambat, seperti orang yang berjalan menuju tempat eksekusi.

Dari dalam sudah terdengar suara omelan keras yang membuat telinga gatal.

"Sudah hampir setengah jam aku menunggu! Apa dia pikir waktuku tidak berharga?! Aku harus mengatur kadipaten, mengatur upacara adat, mengawasi cucuku, mengatur—"

Soedarsono menutup pintu dengan pelan, memotong suara itu menjadi lebih samar.

Pariyem melihat beberapa abdi dalem yang tadi berjongkok di luar kini perlahan bangkit, saling melirik dengan wajah lega, lega karena tidak perlu mendengar omelan lagi.

Lalu dengan langkah sangat pelan, dia keluar dari gandhoknya, berjalan menyusuri longkangan dengan tubuh membungkuk.

Dia tahu ada satu tempat. Tempat rahasia yang sudah dia gunakan berkali-kali untuk menguping percakapan di dalem.

Pariyem memasuki dalem dari pintu belakang yang menuju ke ruang penyimpanan, ruang kecil gelap yang biasa dipakai untuk menyimpan tikar, bantal, dan barang-barang rumah tangga lain sebagai cadangan.

Dari ruang penyimpanan itu, ada pintu kecil menuju kamar utama (kamar yang dulu untuk istri sah), sekarang kosong.

Dan dari kamar itu, ada gebyok, dinding kayu berukir yang memisahkan kamar dengan ruang lapang di depannya.

Pariyem merangkak mendekati gebyok dengan gerakan seperti cicak. Tubuhnya memipih ke lantai yang dingin.

Telinganya menempel ke ukiran gebyok yang memiliki celah-celah kecil, cukup untuk mendengar dengan sangat jelas apa yang terjadi di ruang tengah.

Dan yang dia dengar membuat jantungnya berdebar kencang.

"Darsono, kau ini keterlaluan!"

Suara Raden Ayu Kusumawati keras, tapi dijaga agar tidak terlalu nyaring. Suara yang penuh amarah yang ditahan.

Tidak ada sahutan.

Pariyem yang penasaran mengintip dari lubang ukiran yang agak lebih besar. Matanya menyipit, mencoba melihat dengan jelas.

Soedarsono duduk di kursi jati berukir dengan postur tegak. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dua tangan terlipat di depan perut.

Tapi matanya ... ada sorot tertekan di sana. Seperti anak kecil yang sedang dimarahi tapi tidak bisa membela diri.

Raden Ayu Kusumawati berdiri di depannya dengan tangan di pinggang, dagu terangkat tinggi. "Kau memberikan uang kepada para kuli itu?! Uang pribadimu?! Tanpa izinku?! Bagaimana bisa Darsono? Kau sudah tidak menganggap ibumu ini ada? Aku yang melahirkanmu? Aku yang membesarkanmu. Yang memberikanmu segalanya. Mengupayakan kau sampai bisa naik jabatan menjadi bupati."

Hening sejenak.

"Mereka sudah bekerja keras, Ibu," jawab Soedarsono dengan bahasa Jawa krama inggil yang masih dimengerti Pariyem. Suaranya datar, tanpa emosi. Halus tapi tegas. "Upah mereka memang belum dibayar penuh. Itu hak mereka."

"Hak?!" Raden Ayu tertawa, tawa yang tidak ada humornya. "Sejak kapan rakyat jelata punya hak?! Mereka itu berkewajiban bekerja untuk kita! Dari dulu, dari zaman nenek moyang kita, dari zaman belum ada Belanda, rakyat memang mengabdi untuk raja-rajanya! Mereka menyisihkan waktu dan tenaga untuk kerajaan tanpa dibayar! Itu bentuk penghormatan."

Dia melangkah mendekat, menatap Soedarsono dengan tajam. "Kita ini keturunan raja, Darsono! Darah biru mengalir di nadimu! Rakyat itu berkewajiban mengabdi pada kita! Sebelum ada pajak dari pemerintah kolonial, rakyat sudah sejak lama membayar upeti untuk raja. Upeti dalam bentuk uang, barang, ternak, ataupun, tenaga."

Soedarsono menghela napas panjang. Seperti orang yang sudah terlalu lelah untuk berdebat.

1
Hanz
awas diracun
Hanz
perempuan cerdas. realistis.
EL M, rizky
alhamdulillah yem masih paham agama..🤭
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!