Di malam yang sama, Yu Xuan dan Chen Xi meregang nyawa. Namun takdir bermain jiwa Yu Xuan terbangun dalam tubuh Chen Xi, seorang budak di rumah bordil. Tak ada yang tahu, Chen Xi sejatinya adalah putri bangsawan Perdana Menteri, yang ditukar oleh selir ayahnya dengan anak sepupunya yang lahir dihari yang sama, lalu bayi itu di titipkan pada wanita penghibur, yang sudah seperti saudara dengan memerintahkan untuk melenyapkan bayi tersebut. Dan kini, Yu Xuan harus mengungkap kebenaran yang terkubur… sambil bertahan di dunia penuh tipu daya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22.Yang ditunggu.
Huan Xuan berdiri diam di tangga batu, menatap kesibukan di sekelilingnya dengan alis berkerut. Cahaya sore mulai menurun, memantulkan semburat keemasan di atas genting pavilun timur.
“Madam Qiu,” katanya perlahan, nadanya tetap datar namun tegas, “sejak kapan Ibu mempersiapkan semua ini?”
Madam Qiu menunduk dalam-dalam. “Sejak pagi, Tuan Muda. Nyonya bahkan belum beristirahat sama sekali. Ia memilih sendiri bunga-bunga dari taman barat, memeriksa meja, bahkan mengganti semua lentera di aula timur.”
Huan Xuan terdiam sejenak, lalu menatap paviliun timur yang kini tampak bagaikan istana mini.
“Dan kau bilang ini bukan untuk pejabat atau bangsawan?”
Madam Qiu menggeleng cepat. “Tidak, Tuan Muda. Tapi… dari cara Nyonya mempersiapkannya, saya rasa tamu itu… sangat istimewa untuk nyonya.”
Kata istimewa membuat sesuatu di dada Huan Xuan bergetar samar. Ia tahu ibunya jarang menaruh perhatian berlebihan pada seseorang bahkan tamu-tamu penting dari keluarga besar pun tak pernah mendapat sambutan seheboh ini.
Apa yang datang keluarga Zhu dari jauh?,jika benar itu berarti rumah ini akan sangat ramai malam ini. Akhirnya rumah ini ada pesta, tanpa si selir Wu yang cari muka dan adik yang nyebelin Yun xin. suara hati Huan xuan yang mulai membayangkan malam ini.
Ia menghela napas panjang. “Baik. Aku akan menunggu di aula utama,segera kabari aku tentang tamu ibu. ”
“Baik tuan muda. ”jawab madam Qiu.
Namun baru ia melangkah beberapa langkah, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari arah belakang.
“Tidak perlu, Xuan’er.”
Huan Xuan menoleh. Nyonya Shen berdiri di ujung koridor, mengenakan jubah panjang berwarna ungu lembut dengan bordir teratai putih di tepinya. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sisir giok tua. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya hidup ada sinar hangat yang jarang terlihat di sana.
“Ibu,” Huan Xuan segera menunduk hormat. “Apakah Ibu yang memerintahkan semua ini?”
Nyonya Shen tersenyum lembut. “Benar. Hari ini, Ibu menunggu tamu yang sangat penting.”
“Siapa, Ibu?” tanyanya tanpa bisa menahan rasa ingin tahu.
Namun wanita itu hanya menatapnya dengan pandangan dalam, lalu menjawab samar, “Seseorang yang kita nantikan,sepertinya kamu pernah bertemu dengan nya.”
Jawaban itu membuat alis Huan Xuan berkerut lebih dalam. “Pernah bertemu? dimana? Maksud Ibu—”
“Xuan’er,” potong Nyonya Shen lembut, tapi tegas. “Kau tidak perlu bertanya sekarang. Saat kau melihatnya sendiri nanti, kau akan mengerti.”
Nada lembut itu tidak memberi ruang untuk membantah.
Huan Xuan hanya bisa menatap ibunya lama, mencoba membaca sesuatu dari ekspresinya, namun wanita itu sudah berbalik dan berjalan menuju aula timur dengan langkah mantap.
Angin sore berembus, mengibaskan lengan bajunya, membawa aroma bunga teratai yang samar.
“Sejak kapan Ibu menyimpan rahasia dariku…” gumam Huan Xuan lirih, menatap punggung ibunya yang semakin menjauh.
Menjelang matahari tenggelam, paviliun timur diselimuti cahaya keemasan. Pelayan berdiri berjajar di sepanjang lorong, lentera-lentera telah dinyalakan, memantulkan kilau lembut di atas lantai batu putih.
Di dalam aula, Nyonya Shen duduk di kursi utama. Di depannya, teko teh dari porselen putih sudah terisi, uapnya naik pelan membawa aroma lotus yang manis. Tangannya yang halus mengetuk meja tanpa sadar pertanda ia gelisah menunggu.
Bibi Chan masuk perlahan dan memberi hormat. “Nyonya, kereta nona telah melewati gerbang selatan. Mereka akan tiba sebentar lagi.”
Wajah Nyonya Shen langsung berubah. Ada cahaya lembut di matanya yang nyaris menyerupai air mata.
“Benarkah?” suaranya bergetar.
“Benar, Nyonya. Nona muda akan sampai beberapa detik lagi di gerbang utama.”
Nyonya Shen menarik napas dalam. “Baiklah. Suruh semua pelayan bersikap sopan dan menyambutnya. Aku ingin ia merasa nyaman berada di rumah nya,walaupun hanya sebentar.”
“Baik, Nyonya.”
Saat Bibi Chan beranjak pergi, Nyonya Shen menatap jendela besar di sisi aula. Langit mulai memerah kejinggaan. Di dalam dirinya, rasa haru dan takut bercampur menjadi satu.
Sebelum menyambut kedatangan Chen xi, nyonya Shen menanyakan pertanyaan yang rahasia pada bibi Chan. “Chan, apa kamu sudah menemukan bidan yang menangani kelahiran anakku waktu itu?. ”
“Maafkan saya nyonya, bidan itu sudah kembali ke desa dan kami akan menjemputnya secara diam-diam agar bersaksi melawan selir Wu. ”
“Baiklah, aku ingin bertemu dengan putriku. ”
Nyonya Shen pun menegakkan tubuhnya dan berjalan anggun untuk menemui putrinya, dengan diikuti bibi Chan di belakangnya.
Senja telah turun sepenuhnya ketika kereta kecil berhenti di depan gerbang megah kediaman keluarga Shen. Langit berwarna oranye keemasan, memantulkan cahaya lembut di atas atap genting yang berlapis kaca giok.
Di depan kereta, seorang gadis berbusana sederhana berdiri diam. Angin sore memainkan ujung jubahnya yang berwarna abu muda, sementara wajahnya tertutup topi lebar bercadar tipis yang hanya menampakkan dagu mungil dan sedikit garis bibirnya.
“Lian,” suara itu pelan namun tenang, “kau saja yang bicara. Katakan pada mereka… nona Chen xi ingin memenuhi undangan Nyonya Shen.”
Lian menatap tuannya sejenak matanya ragu. “Tapi nona… kita kesini tanpa sepengetahuan nyonya Heng tidak apa-apa?”
Chen Xi menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresinya di balik cadar. “Tenang saja,malam ini ibu tidak pulang karena di Yue zhi ada acara pesta bangsawan istana,pasti ibu sibuk dengan urusan bisnisnya.”
Nada suaranya lembut, tapi ada tekanan halus di baliknya keyakinan yang membuat Lian tak sanggup menolak.
Lian pun mengetuk pintu gerbang rumah keluarga Shen, lalu seorang pelayan membuka pintu gerbang dengan cela sedikit.
Pelayan di gerbang utama menatap mereka dengan tatapan curiga. Dua perempuan berpakaian sederhana di depan gerbang besar keluarga Shen bukanlah pemandangan biasa. Apalagi satu di antaranya menutupi wajah seperti hendak menyembunyikan sesuatu.
Lian melangkah maju dengan sopan, menunduk. “Permisi, kami kemari untuk memenuhi undangan nyonya Shen. Tolong kabari ke dalam bahwa kami sudah tiba.”
Pelayan jaga menatapnya atas bawah, tampak ragu.“Nyonya memang memberi pesan kalau dirinya sedang menunggu tamu, sebaiknya saya laporkan dulu. saya harap agar nona-nona sekalian untuk bersabar menunggu. ”
Lian menggigit bibir, gugup. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara lembut namun berwibawa terdengar dari arah halaman dalam.
“Biarkan mereka masuk.”
Semua kepala serentak menunduk. Dari arah lorong, Bibi Chan muncul dengan langkah tergesa, matanya langsung tertuju pada sosok berselubung abu-abu di depan gerbang.
“Nona Chen xi, silahkan masuk nyonya sudah menunggu di halaman” ucap bibi Chan dengan hormat.
Udara sore yang lembut menyusup di antara pepohonan pinus di halaman depan kediaman Shen. Cahaya lentera mulai menari di sepanjang jalan batu, memantulkan bayangan oranye di permukaan air kolam kecil yang tenang.
Chen Xi melangkah perlahan melewati gerbang besar itu. Setiap langkahnya terasa berat entah karena tanah yang lembut oleh embun, atau karena dada yang tiba-tiba terasa sesak. Lian berjalan setengah langkah di belakangnya, menunduk sopan sambil sesekali menatap wajah tuannya yang tertutup cadar.
“Lewat sini, nona,” kata Bibi Chan dengan lembut, memimpin mereka melalui lorong panjang menuju paviliun timur. “Nyonya sudah menunggu sejak lama. Ia bahkan belum menyentuh teh nya karena terlalu gelisah.”
Ucapan itu membuat langkah Chen Xi berhenti sejenak. Tangannya tanpa sadar menggenggam ujung jubahnya erat. Ada rasa asing di hatinya hangat, tapi menyakitkan.
“Maaf bi, saya tidak membawa hadiah untuk nyonya Shen,karena bingung harus memberikan apa pada nyonya?”
“Tidak apa-apa nona, ”ucapnya dengan senyum. “kehadiran nona adalah hadiah yang ditunggu nyonya. ”Gumamnya dengan pelan seakan hanya dirinya yang dengar.
Bibi Chan menoleh singkat, dan dalam tatapan tuanya terselip kelembutan yang sulit disembunyikan. “Nona… sudah datang merupakan hadiah untuk nyonya kami.”
Chen Xi menunduk, menahan perasaan yang mulai mengguncang hatinya. Lian menatap tuannya khawatir, namun tak berani berkata apa pun.
Bunga teratai putih menghiasi tepian jalan, menebar wangi manis yang bercampur dengan hawa senja. Dan di ujung jalan itu berdiri sosok Nyonya Shen, dalam balutan jubah ungu lembut, menunggu.
Ketika tatapan mereka bertemu, waktu seperti berhenti.
Nyonya Shen melangkah maju perlahan. Mata tuanya memerah, gemetar menahan emosi.
Chen Xi menunduk hormat, kemudian perlahan menyingkap cadarnya. Cahayanya lentera memantul di wajahnya,wajah lembut yang serupa dengan masa muda Nyonya Shen, hanya lebih tenang, lebih dewasa, namun masih menyimpan bekas luka yang tak terlihat.