Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Hari itu, langit sedikit mendung, tapi tidak hujan seperti beberapa hari sebelumnya. Suasana di dalam restoran kecil yang biasa mereka datangi terasa lebih hangat daripada biasanya. Entah karena pengunjung sedang ramai, atau karena Nathan akhirnya menguatkan hati.
Kayla duduk di depannya, menyendok sup jagung perlahan. Sesekali, ia memandang ke arah Nathan yang sejak tadi tak banyak bicara. Sudah beberapa hari ini suasana mereka sedikit berbeda. Tak ada pertengkaran, tapi juga tak ada percakapan yang mengalir semudah biasanya.
Nathan duduk agak tegak hari ini. Kemejanya rapi, jam tangannya sedikit longgar di pergelangan tangan. Tapi Kayla tahu, bukan soal penampilan. Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan Nathan. Kayla hanya belum tahu, apa.
"Makanannya enak?" Nathan membuka percakapan, meski terdengar sedikit dipaksakan.
Kayla mengangguk pelan. "Iya. Kamu nggak habisin ayamnya?"
Nathan menggeleng. "Nanti aja. Lagi nggak terlalu lapar."
Ada jeda. Sendok Kayla terhenti di atas mangkuk.
"Nat."
"Hm?"
"Kamu yakin nggak ada yang lagi kamu pikirin?"
Nathan menatap Kayla beberapa detik. Dalam hatinya, suara Alea terngiang kembali
"Kalau kamu mau ngomong, jangan tunggu Kayla yang tanya dulu. Nanti kamu bakal kehilangan momen terbaik buat jujur."
Dan sekarang... ini momen itu.
Nathan meletakkan sendoknya. Tangannya menyatukan jari-jari, lalu ia menyandarkan tubuh sedikit ke depan. Matanya menatap Kayla dengan serius. Ini saatnya.
"Aku... ada yang harus aku bilang ke kamu."
Kayla menegakkan punggung. Suara Nathan terlalu berat untuk hal biasa.
"Apa?" tanyanya pelan, hati-hati.
Nathan membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar beberapa detik pertama. Ia menelan ludah. Tenggorokannya kering.
"Aku cuma kepikiran satu hal," katanya akhirnya. Suaranya datar, berusaha terdengar biasa saja. "Kalau... misalnya… seseorang harus pergi untuk sementara waktu karena kerjaan, menurut kamu... hubungan itu masih bisa jalan nggak?"
Kayla terdiam. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, terlalu spesifik untuk dianggap sekedar basa-basi.
"Perginya... sejauh apa dulu?" tanyanya pelan.
Nathan mengangkat bahu, pura-pura tak pasti. "Ya… mungkin beda negara. Mungkin agak jauh. Tapi sementara. Bukan pergi selamanya."
Kayla menatap Nathan lebih lama sekarang. Supnya sudah dingin, tapi ia bahkan tidak sadar. "Kamu nanya gitu kenapa? Ada proyek luar negeri?"
Nathan menggeleng cepat. "Nggak. Maksudku... ini cuma pertanyaan aja. Kan siapa tahu suatu hari nanti... hal kayak gitu kejadian. Pengen tahu aja... menurut kamu gimana."
Kayla mengernyit. "Tergantung, sih. Kalau jaraknya jauh, waktunya lama, dan nggak jelas ke depannya gimana, ya... sulit juga. Tapi kalau dua-duanya saling percaya, saling terbuka, dan jelas tujuannya buat apa, aku rasa masih bisa. Hubungan itu kuat bukan karena selalu dekat, tapi karena saling percaya. Kalau dua-duanya terbuka, jarak sejauh apa pun bisa dilalui."
Nathan mengangguk pelan. Tapi napasnya terdengar berat seolah jawaban itu malah membuatnya makin gugup.
Kayla memperhatikan ekspresi Nathan yang tidak seperti biasanya. "Nat, kamu nanya gitu karena kamu mau pergi, atau karena kamu lagi mikir untuk pergi?"
Nathan kembali membuka mulut. Tapi belum sempat menjawab, pelayan datang membawa tambahan minuman ke meja mereka. Suara gelas yang diletakkan terdengar nyaring di antara mereka.
Dan Nathan, sekali lagi gagal memanfaatkan momen itu.
"Jawabannya nanti aja, ya. Aku haus banget," katanya cepat, mengambil gelas lemon tea dan menyeruputnya lama-lama.
Kayla hanya menatap, diam.
Dalam hatinya, ada bagian yang mulai merasa benar-benar tidak enak.
Beberapa menit setelah makan siang, di dalam mobil.
Di dalam mobil, hanya suara AC dan lalu lintas yang terdengar samar. Kedua tangan Nathan menggengam erat setir di depannya. Di sebelahnya, Kayla memutar tubuh sedikit, melihat keluar jendela. Tapi ekspresinya tenang.
Nathan melirik sekilas ke arahnya. Hatinya masih penuh oleh kata-kata Kayla yang terucap saat makan siang tadi.
"Hubungan itu kuat bukan karena selalu dekat, tapi karena saling percaya. Kalau dua-duanya terbuka, jarak sejauh apa pun bisa dilalui."
Kata-kata itu terngiang terus di kepala Nathan. Ia menelan ludah pelan. Ujung lidahnya sudah sampai di titik pengakuan, tapi ada ketakutan yang menahan.
"Kay..."
"Hmm?" Kayla menoleh pelan, menatapnya.
Nathan menarik napas. Suaranya agak serak.
"Kay, aku sebenernya—"
Tring! Tring!
Suara dering ponsel Kayla memotong kalimatnya. Wanita itu buru-buru merogoh tasnya, mengangkat telepon dengan suara agak kaget.
"Halo? Iya, Bu Dita... Oh, sekarang? Oke, saya ke sana, ya."
Setelah menutup telepon, Kayla menatap Nathan dengan wajah sedikit panik. "Sorry, aku harus naik dulu. Bu Dita minta presentasi minggu depan diganti temanya."
Nathan hanya mengangguk pelan, menepikan mobil di depan gedung kantor.
Kayla mencium pipinya sekilas. "Nanti lanjut ngobrol lagi, ya?"
Nathan tersenyum kecil. "Iya. Hati-hati naiknya."
Kayla melambaikan tangan sebelum masuk ke lobi. Nathan masih diam di dalam mobil. Ia menatap setir, lalu menggertakkan rahangnya pelan.
"Selalu ada aja halangan..." gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri.
Ia memukul setir pelan, lalu bersandar di jok. Tatapannya menerawang, menembus kaca depan yang mulai mengembun.
Nathan tetap duduk di balik kemudi. Tangannya masih menggenggam setir, kali ini lebih longgar, tapi sorot matanya jauh dari tenang. Jalanan di depan tampak ramai, tapi pikirannya kosong.
Ia menengadah, menyandarkan kepala ke sandaran kursi, memejamkan mata sejenak. Dalam diam, ia mencoba membungkam keraguan yang terus berbisik sejak pagi tadi.
‘Harusnya tadi aku langsung ngomong.’
Tapi ia tahu, rasa takut itu belum pergi. Takut Kayla akan kecewa, takut semuanya runtuh karena satu kalimat yang ia ucapkan.
Nathan meraih ponsel dari konsol tengah, membuka layar, dan menatap satu pesan yang belum dikirim.
Sebuah draft pesan yang sudah ia tulis semalam
[Aku harus ke Kanada. Dua tahun. Tapi aku nggak akan pergi tanpa ngomong langsung ke kamu dulu.]
Ia menatap tulisan itu lama, lalu menghapusnya. Lagi.
Layar ponsel padam. Ia menyender, menatap langit yang makin mendung, seolah menduplikasi isi kepalanya sendiri.
Nathan tahu waktu semakin sempit.
Kalau bukan hari ini… maka besok.
Kalau bukan besok, maka entah kapan.
Tapi ia sadar, satu hal pasti. Kayla harus tahu. Dan ia harus dengar langsung dari mulut Nathan sendiri, bukan dari siapa pun, bukan dari mana pun.
Nathan membuka matanya, menggenggam setir lagi, dan menghidupkan mesin mobil.
Waktu untuk diam sudah terlalu lama.