NovelToon NovelToon
Tua Dalam Luka

Tua Dalam Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Beda Usia / Pelakor / Suami Tak Berguna
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB

Aku langsung melangkah cepat keluar rumah, menghampiri tukang becak yang hendak menurunkan Ramli ke ruang tamu.

“Jangan turunkan di sini, Pak. Biar saja di becak. Saya nggak mau dia masuk ke dalam rumah ini,” ucapku dingin sambil menyilangkan tangan di dada.

Tukang becak itu menatapku bingung, lalu melirik ke arah Ibu Ramli yang berdiri tak jauh darinya.

“Astaghfirullahaladzim, Rukayah! Kamu ini keterlaluan!” bentak ibu mertuaku sambil menunjukku dengan marah.

“Sudah nggak punya hati, ya? Itu suamimu, loh! Mau mati dulu baru kamu kasihan?”

Aku menghela napas berat, lalu menatap tajam ke arah beliau.

“Bu, saya bukan malaikat. Saya sudah cukup sabar bertahun-tahun. Dikhiananti begitu aja, disakiti, diduakan. Sekarang giliran dia susah, semua orang minta saya rawat dia? Emang saya siapa?”

Ramli yang masih di atas becak hanya bisa memejamkan mata. Tubuhnya gemetar karena sakit, tapi tak mampu berkata apa-apa.

“Kamu itu perempuan jahat, Rukayah!”

“Saya jahat karena saya lelah, Bu. Bukan karena saya senang lihat dia menderita. Tapi semua ini karena pilihan dia sendiri. Jangan minta saya yang perbaiki,” ujarku tenang, walau hatiku sebenarnya bergemuruh.

Ibu mertuaku menatapku dengan penuh kemarahan dan kekecewaan.

“Kalau kamu masih punya hati, bukakan pintu itu sekarang juga dan biarkan suamimu dirawat di dalam! Jangan bikin dosa tambah besar!”

Aku terdiam. Ada getir di dada. Tapi untuk pertama kalinya, aku memilih mempertahankan harga diriku.

“Saya minta maaf, Bu. Tapi saya nggak bisa.”

“Rukayah, kamu itu perempuan, harus tahu tempatmu!”

Aku tertawa kecil, getir. “Tempat saya di mana, Bu? Di dapur? Di belakang? Atau di bawah kaki suami yang bahkan lebih percaya sama perempuan lain ketimbang saya?”

Ia terdiam. Tapi aku belum selesai.

“Selama ini Ramli selalu kirim uang ke Ibu, ke adik-adiknya juga. Saya diam. Nggak pernah saya protes. Saya tahu itu kewajiban dia sebagai anak. Tapi sekarang, kenapa pas dia jatuh sakit, malah saya yang disuruh bertanggung jawab?”

Aku menatap Ramli yang hanya bisa memejamkan mata, tak sanggup menatap balik.

“Saya ini bukan pembantu, Bu. Saya juga bukan perawat dadakan. Kalau Ibu memang sayang sama anak Ibu, rawat sendiri. Itu anak kandung Ibu. Bukan tanggung jawab saya lagi.”

Ibu Ramli menggertakkan gigi, marah dan tersinggung. Tapi aku tidak peduli.

“Saya sudah cukup sabar, Bu. Tapi hari ini batasnya.”

Aku melangkah ke arah pintu, dan menoleh sekali lagi.

“Silakan dibawa pulang. Rumah ini bukan tempatnya lagi.”

“Durhaka kamu, Rukayah! Kamu perempuan serakah, tega lihat suamimu kayak begini! Uang dia kamu ambil, tapi giliran dia sakit kamu nggak mau ngurus!”

Aku mendengus sinis. “Uang apa, Bu? Bukankah selama ini justru uang Ramli habis buat Wulan dan keluarganya? Bahkan untuk saya dan anak-anaknya sendiri dia pelit. Sekarang tiba-tiba saya dituntut sebagai istri yang harus ngurus dia?”

“Ngomong kamu seenaknya, dasar istri nggak tahu diuntung!” bentaknya sambil melotot. “Kamu pasti pengin dia mati biar harta jatuh ke kamu semua, ya?!”

Aku menarik napas panjang menahan diri, tapi tatapanku tak goyah.

“Harta apa, Bu? Waktu saya menikah dengan Ramli, kami berdua masih miskin. Saya yang kerja, saya yang kelola toko selama bertahun-tahun, tapi saya juga yang dituduh serakah? Bukankah justru anak ibu yang selama ini membohongi saya, berselingkuh di belakang saya, menghabiskan harta bersama perempuan lain?”

Ibu mertuaku terdiam sesaat, lalu kembali membentak, lebih keras.

“Kalau kamu perempuan baik-baik, kamu pasti tetap jaga suamimu! Biar dia salah, kamu tetap harus berbakti!”

Aku menggeleng pelan. “Bu. Pengabdian saya sudah habis dipijak. Kalau Ibu masih merasa berhak atas anak Ibu, silakan bawa pulang dan rawat sendiri. Saya sudah cukup sabar dijadikan penonton atas hidup saya sendiri.”

Ibu Ramli mencak-mencak, suaranya makin melengking. Tapi aku tak lagi mendengarkan. Hari itu, aku memilih menghargai diriku sendiri—meski dibayar dengan cap "durhaka.

Suasana mendadak sunyi. Hanya suara napas berat Ramli dan dengkuran motor di kejauhan yang terdengar. Lalu perlahan, ibu mertua menggandeng tangan tukang becak.

" Kamu sudah keterlaluan Rukayah, nyesel saya dulu mengizinkan kamu menikah dengan Ramli."

"Saya juga menyesal, Bu. Menikah dengan pria miskin seperti anak ibu. Giliran sudah kaya raya diakui ke semua orang. Bahkan tanpa rasa malu kalian semua terus saja merongrong harta yang kami cari bertahun-tahun hingga mempunyai segalanya. Kalau bukan karena menikah dengan saya, anak ibu tidak akan bisa seperti ini!"

"Jangan sombong kamu Rukayah! Kamu pikir harta yang kamu punya akan bertahan lama. Ingat, roda kehidupan berputar."

"Terserah apa katamu, Bu. Yang jelas aku tidak mau rawat anak ibu. Silakan urus anak ibu dengan baik."

Wajah ibu mertuaku mulai menunjukkan keraguan. Tadi ia begitu marah-marah, menggebu-gebu menuduhku sebagai istri durhaka. Tapi sekarang, ketika Ramli sudah di hadapannya dalam keadaan lemas, terbaring tak berdaya di becak, ia hanya bisa berdiri terpaku. Jelas terlihat ia tak siap untuk merawat anak lelakinya sendiri.

Melihat itu, aku menarik napas panjang, lalu bicara dengan nada yang tetap tenang namun tegas.

“Kalau Ibu merasa keberatan merawat Mas Ramli, saya bisa bantu carikan solusi. Ibu bisa hubungi Wulan, istri mudanya. Bukankah sekarang dia yang menjadi tanggung jawab Mas Ramli?”

Ibu mertua menoleh cepat padaku, wajahnya memerah.

“Wulan itu nggak bisa diandalkan! Perempuan macam apa yang ninggalin suami sakit begini?!”

Aku mengangguk kecil, menyiratkan kesepakatan.

“Justru itu, Bu. Supaya adil. Selama ini Mas Ramli lebih memilih dia, bahkan Ibu dan keluarga pun ikut menerima uang dari Mas Ramli selama masih enak. Tapi saat susah begini, kenapa semuanya lempar tangan ke saya?”

Ibu mertuaku mengatupkan mulutnya, tak bisa langsung membantah. Aku lanjutkan, masih dengan suara yang tenang namun jelas terdengar kekecewaan.

“Saya bukan perempuan berhati batu, Bu. Tapi saya juga bukan boneka yang bisa terus dituntut dan disalahkan. Wulan yang harusnya tanggung jawab sekarang. Biar dia yang urus Mas Ramli. Kalau perlu, Ibu tunggu saja di sini sampai dia datang.”

Aku melangkah pelan menuju pintu, membuka sedikit lalu kembali menoleh ke belakang.

“Atau kalau Ibu tetap bersikeras menyuruh saya, silakan bawa Mas Ramli ke rumah sakit dan tulis nama saya sebagai penanggung jawab. Tapi saya tidak akan datang, Bu. Saya sudah cukup disakiti.”

Suasana mendadak hening. Yang terdengar hanya napas berat Ramli dan desir angin sore yang menerobos dari sela-sela pintu. Ibu mertuaku tertunduk—mungkin baru sadar bahwa keputusannya membela Wulan dan membiarkan luka ini tumbuh dalam diamku kini berbalik jadi tanggung jawab yang berat.

1
Ninik
Thor kenapa tokoh rukhayah dibikin jd pendendam gitu kayak dah dikuasai iblis jadi manusia tak berhati aku JD g suka
Ninik
tp rukhayah kebablasan hidupnya jd dikuasai dendam kalau kata org Jawa tego warase Ra tego ro larane tego larane ratego ro ngelihe tego ngelihe Ra tego ro patine
Ninik
aku suka perempuan kaya rukayah sepemikiran dgn ku ini
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
laki tua g tau diri
kalea rizuky
kapok
kalea rizuky
laki dajjal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!