Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: TINTA TERAKHIR: DOA YANG DITULIS DENGAN DARAH
Malam di Pulau Cadas Sunyi terasa lebih pekat dari biasanya. Udara lembap sisa air pasang yang hampir menenggelamkan tempat perlindungan Bara masih menyisakan bau garam dan pembusukan vegetasi yang menyengat. Di bawah rimbunnya Pohon Cemara Laut yang daunnya hijau gelap kusam, Bara duduk bersimpuh. Tubuhnya yang kurus kering hanya dibalut sisa kemeja yang sudah koyak di bagian bahu dan dada.
Di hadapannya, Buku Doa Musafir itu tergeletak pasrah. Sampulnya yang lusuh masih terasa dingin karena lembap. Tinta dari doa-doa yang ia tulis pada hari-hari awal terdampar mulai luntur, membentuk noda biru keabu-abuan yang tak terbaca, seolah laut sedang berusaha menghapus sejarah spiritual yang ia bangun dengan susah payah.
Bara meraba saku kemejanya. Ia menarik sepotong kecil arang yang tersisa—hanya seukuran kuku jari kelingking. Dengan tangan gemetar karena dehidrasi, ia mencoba menggoreskan arang itu ke halaman yang masih kosong. Namun, benda hitam itu pecah menjadi butiran debu saat menyentuh kertas yang lembap. Pensil pendek milik Mala yang ia bawa sejak awal juga telah lama patah hingga ke pangkalnya.
"Satu doa lagi, Bara. Hanya satu lagi yang harus kau sempurnakan," bisik sebuah suara yang muncul dari balik kegelapan.
Bara tidak perlu menoleh. Ia tahu Syeikh Tua, sang Wali Allah, berdiri di sana dengan tongkat musafirnya yang melayang satu jengkal di atas pasir. Sosok itu tidak pernah memberikan solusi fisik, hanya tekanan spiritual yang memaksa Bara melampaui batas kemanusiaannya.
"Pensilku sudah habis, Syeikh. Arang ini pun hancur. Bagaimana aku bisa memenuhi janji untuk Nirmala?" tanya Bara, suaranya parau, nyaris hilang.
"Seorang musafir tidak pernah kehabisan cara jika tujuannya adalah Allah melalui keikhlasan. Alat tulis hanyalah perantara duniawi. Apa kau begitu bergantung pada sebatang pensil kayu?"
Bara menatap telapak tangannya. Luka bekas hantaman ke batu cadas tempo hari masih terlihat kemerahan, meski sudah mengering di pinggirnya. Ia teringat kembali pada perasaan bersalah yang menghantuinya; bagaimana ia selama ini lebih banyak menghabiskan energi untuk membantu Arka, sementara Nirmala tumbuh dalam kesunyian, merasa bahwa kehadirannya hanyalah pelengkap di rumah mereka.
"Aku harus menulisnya," gumam Bara. "Nirmala tidak boleh merasa sendirian. Dia harus tahu dia adalah prioritas."
"Kalau begitu, bayar harganya dengan sesuatu yang nyata dari dirimu. Bukan sesuatu yang kau temukan di tanah, tapi sesuatu yang mengalir dalam nadimu," ucap Syeikh Tua sebelum langkahnya yang tanpa suara menjauh ke arah hutan bakau.
Bara menarik napas dalam-dalam. Ia mengambil sebuah batu karang kecil yang memiliki ujung setajam silet, batu yang sebelumnya ia gunakan untuk mencoba merakit kayu-kayu kecil. Ia menempelkan ujung batu itu ke ujung jari telunjuk tangan kirinya.
"Ya Allah, terimalah ikhtiar ini sebagai saksi," bisiknya.
Dengan satu sentakan yang terkontrol namun menyakitkan, ia menekan batu itu dalam-dalam. Rasa perih yang tajam menusuk hingga ke saraf, membuat tubuhnya tersentak. Cairan merah kental mulai merembes keluar, hangat di tengah malam yang dingin. Darah itu menetes, jatuh tepat di atas halaman Buku Doa Musafir yang masih putih bersih.
Bara segera menggunakan ujung jari telunjuknya yang bersimbah darah itu sebagai pena. Ia menekan jarinya ke atas kertas, merasakan serat kertas yang kasar menyerap darahnya. Ia mulai menuliskan kata demi kata dengan gerakan yang lambat dan khidmat.
Darah yang Menjadi Kalimat Cinta
Setiap goresan menghasilkan warna merah gelap yang kontras dengan kertas putih yang lembap. Darah itu tidak luntur seperti tinta sebelumnya; ia justru tampak meresap kuat, mengunci serat kertas dengan warna permanen yang pekat.
"Ya... Allah..." Bara mengeja setiap huruf yang ia tuliskan.
Napasnya tersengal. Rasa sakit di jarinya mulai berdenyut sinkron dengan detak jantungnya. Namun, anehnya, setiap kali ia menuliskan satu kata, beban di dadanya terasa berkurang. Ia seolah sedang memindahkan seluruh rasa bersalah, seluruh cinta yang tak sempat terucap, dan seluruh harapan dari jiwanya ke atas lembaran buku itu.
"Jangan... biarkan... Nirmala... merasa... sendirian..."
Bara berhenti sejenak. Darah di ujung jarinya mulai mengering. Ia harus menekan luka itu kembali, memerasnya agar tinta merah itu terus mengalir. Ia tidak peduli dengan rasa sakit fisiknya. Di matanya, luka di jari itu tidak sebanding dengan luka di hati Nirmala yang selama ini merasa terabaikan.
"Izinkan... ia tahu..." Bara melanjutkan, tangannya kini bergetar hebat. "Ia... adalah... prioritas... di tengah... badai... ini."
Selesai. Kalimat itu berdiri tegak di atas kertas. Warnanya merah kecokelatan, tampak hidup di bawah cahaya rembulan yang samar-samar menembus celah pepohonan. Bara mengatupkan matanya, memeluk buku itu erat-erat ke dadanya yang cekung. Ia merasakan hangat yang luar biasa menjalar dari buku itu ke jantungnya.
"Kau sudah melakukannya, Bara. Kau sudah membayar harga spiritual itu," suara lembut itu kembali terdengar, namun kali ini terasa jauh lebih dekat, seolah dibisikkan tepat di telinganya.
"Apakah dia akan merasakannya, Syeikh? Apakah jarak ribuan kilometer ini bisa ditembus oleh sekadar tulisan darah?" tanya Bara tanpa membuka mata.
"Jarak tidak pernah ada bagi doa yang ditulis dengan ruh. Darahmu adalah bagian dari hidupmu, dan hidupmu adalah bagian dari mereka. Lihatlah sekelilingmu."
Bara membuka mata. Tiba-tiba, ia tidak mencium bau amis laut. Ia tidak mencium bau getah pahit dari pohon cemara.
Aroma itu muncul begitu saja. Sangat segar, lembut, dengan sentuhan bunga melati dan bedak bayi yang samar. Itu adalah aroma parfum Rina. Aroma yang selalu memenuhi kamar mereka setiap kali Rina bersiap untuk salat malam atau sekadar duduk membacakan cerita untuk anak-anak.
"Rina?" Bara menoleh ke kanan dan ke kiri dengan panik. "Rina, kau di sini?"
Hening. Hanya ada suara ombak yang menghantam karang di kejauhan. Namun aroma itu tetap ada, menyelimuti hidung Bara, memberinya rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sejak KM Harapan Jaya tenggelam. Ia menghirup udara itu dalam-dalam, membiarkannya memenuhi paru-parunya yang lelah.
"Ini bukan halusinasi, kan? Ini bukan tanda bahwa aku sudah gila?" Bara bertanya pada kegelapan.
Tidak ada jawaban dari Syeikh Tua. Namun, di kejauhan, Bara melihat kilatan cahaya yang sangat tenang di atas permukaan air laut, seolah-olah laut itu sendiri sedang tersenyum padanya.
Aroma yang Menembus Dimensi
Aroma parfum itu semakin menguat. Bara merasa seolah Rina sedang berdiri tepat di belakangnya, meletakkan tangannya di bahu Bara yang menggigil. Ia bisa merasakan kehangatan yang tidak masuk akal di tengah suhu malam pulau yang ekstrem.
"Aku menjanjikan ini padamu, Rina. Aku menjanjikan ini untuk Nirmala," bisik Bara pada angin.
Ia kembali menatap jarinya yang masih meneteskan darah. Darah itu kini bercampur dengan air matanya yang jatuh. Bara menyadari bahwa dengan tinta darah ini, ia telah menutup sebuah siklus kewajiban. Ia bukan lagi sekadar pelaut yang hilang; ia adalah seorang musafir yang telah menyelesaikan tugas spiritualnya.
"Selesai sudah. Tugasmu di atas kertas ini telah mencapai puncaknya," Syeikh Tua muncul kembali, kali ini terlihat lebih nyata. "Sekarang, biarkan takdir yang membawa sisanya. Jangan pernah lagi kau ragukan apa yang sudah dituliskan di sini."
Bara mengangguk lemah. Ia merasa energinya terkuras habis. Menulis dengan darah ternyata jauh lebih melelahkan daripada berjalan mendaki bukit tertinggi di pulau ini. Ia menyandarkan punggungnya ke batang pohon cemara laut, masih memeluk buku itu.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Syeikh?"
"Diam dan jadilah saksi. Takdir tidak suka diganggu oleh kepanikan. Kau sudah memberikan yang terbaik. Biarkan arus yang bekerja untukmu."
Bara memejamkan mata. Aroma parfum Rina perlahan-lahan mulai memudar, digantikan kembali oleh aroma garam yang tajam. Namun, rasa hangat di dadanya tidak hilang. Ia merasa sangat yakin, jauh di dalam lubuk hatinya, bahwa saat ini juga, di rumah mereka yang tenang, sesuatu sedang terjadi. Sebuah getaran yang dikirimkan melalui tinta darahnya baru saja mengetuk pintu hati keluarganya.
"Aku akan pulang," bisik Bara, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. "Meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya, aku akan pulang."
Ia tertidur dalam posisi duduk, dengan jari yang masih dibalut sisa kain robek untuk menghentikan pendarahan. Di atas pangkuannya, Buku Doa Musafir itu tetap terbuka pada halaman doa Nirmala, memamerkan tulisan merah yang tampak bersinar redup di bawah naungan malam, menunggu untuk disinkronkan dengan dunia di seberang lautan.
Ribuan kilometer dari pulau yang sunyi, di sebuah rumah yang dihantui oleh ketidakpastian finansial dan hukum, Rina terbangun dengan sentakan yang hebat. Jantungnya berdebar kencang, seolah-olah baru saja ada seseorang yang menarik napas tepat di telinganya. Jam dinding di ruang tengah berdentang perlahan, menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Rina terduduk di tepi ranjang, mengatur napasnya yang tersengal. Suasana kamar terasa sangat dingin, namun ada sesuatu yang aneh. Di tengah udara malam yang steril, ia mencium sesuatu. Aroma tembakau tipis bercampur dengan bau garam laut yang tajam dan getah kayu yang pahit.
"Bara?" panggil Rina lirih.
Ia segera menyalakan lampu kamar. Ruangan itu kosong. Hanya ada Arka yang tidur melungker di atas matras di samping tempat tidurnya, memeluk baju kerja Bara dengan sangat erat. Rina berjalan perlahan menuju jendela, menyibak tirai, dan menatap jalanan kompleks yang sepi. Tidak ada siapa-siapa. Namun, aroma itu tidak hilang. Ia justru semakin kuat, seolah-olah Bara baru saja lewat dan meninggalkan jejak kehadirannya di udara.
Rina merasa bulu kuduknya merinding. Ini bukan pertama kalinya ia merasakan fenomena aneh, namun kali ini intensitasnya berbeda. Ada rasa perih yang samar di ujung jarinya sendiri, sebuah sensasi nyut-nyutan yang tidak memiliki penjelasan medis. Ia melihat telapak tangannya di bawah cahaya lampu, mencari luka, namun kulitnya mulus tak bercela.
"Ibu?" sebuah suara parau terdengar dari ambang pintu.
Rina menoleh dan mendapati Nirmala berdiri di sana, menggosok matanya. Gadis kecil itu terlihat pucat di bawah sinar lampu koridor.
"Mala? Kenapa bangun, Sayang?"
"Mala mimpi Ayah lagi, Bu. Tapi kali ini Ayah tidak bicara. Ayah cuma menulis di buku," ucap Mala dengan suara yang bergetar. "Ayah melukai tangannya, Bu. Ayah pakai darah untuk menulis namaku."
Rina terpaku. Kata-kata Mala menyambar jiwanya seperti petir. Ia mendekat dan memeluk putrinya erat-erat. Tubuh Mala terasa sangat hangat, kontras dengan udara kamar yang sedingin es.
"Ayah bilang apa di mimpi itu, Nak?"
"Ayah tidak bilang apa-apa. Tapi Mala merasa tenang. Mala merasa... Ayah sedang melihat kita sekarang," jawab Mala sambil menyandarkan kepalanya di bahu Rina.
Rina memejamkan mata, membiarkan aroma laut dan getah itu meresap ke dalam ingatannya. Ia teringat pesan dari Bapak Harjo kemarin tentang batas waktu pengajuan akta kematian. Ia teringat tekanan Bunda Ida untuk segera menjual aset. Logika duniawi berteriak bahwa ia harus menyerah, namun kesaksian Mala dan aroma yang memenuhi kamar ini adalah bukti yang tidak bisa ia abaikan.
Kesaksian di Balik Pintu Garasi
Pagi harinya, tekanan dari dunia nyata kembali datang dengan lebih brutal. Sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan pagar rumah. Bapak Herman turun dengan langkah yang penuh otoritas, diikuti oleh seorang pria yang membawa tas koper kecil—calon pembeli mobil warisan Bara.
"Rina! Kamu sudah siap, kan? Bapak Wijaya sudah datang jauh-jauh dari pusat kota," seru Herman dari depan pintu.
Rina keluar dengan langkah gontai. Ia belum tidur lagi sejak kejadian pukul tiga pagi tadi. Di tangannya, ia memegang kunci mobil yang dingin. Ia melihat Mala dan Arka berdiri di teras, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Ibu, jangan jual mobil Ayah," bisik Mala.
"Hanya ini caranya agar kita bisa membayar tagihan rumah sakit Arka dan utang listrik, Mala. Ibu tidak punya pilihan," jawab Rina dengan nada yang dipaksakan tegas.
Herman mendekat, wajahnya tampak tidak sabar. "Sudahlah, Rina. Jangan dengarkan anak-anak. Kamu harus logis. Keajaiban tidak akan membayar cicilanmu. Ayo, serahkan kuncinya agar Bapak Wijaya bisa memeriksa mesinnya."
Rina berjalan menuju garasi. Tangannya gemetar saat memasukkan kunci ke lubang pintu mobil. Saat pintu terbuka, aroma itu kembali meledak. Bau laut, bau darah yang samar, dan wangi parfum yang ia gunakan kemarin sore bercampur menjadi satu di dalam kabin mobil yang tertutup rapat.
"Pak Herman, apa Anda mencium sesuatu?" tanya Rina tiba-tiba.
Herman mengendus udara dengan acuh tak acuh. "Bau apek mobil lama. Kenapa? Kamu mau cari alasan lagi?"
Bapak Wijaya, si calon pembeli, mendekat dan ikut mengendus. Ia terdiam sejenak, menatap interior mobil dengan dahi berkerut. "Ini aneh. Seperti bau garam laut yang sangat segar. Padahal kita sangat jauh dari pantai."
Rina merasa jantungnya berpacu. Ia masuk ke kursi kemudi, dan matanya tertuju pada dasbor. Di sana, di atas tumpukan tisu, terdapat sebercak noda merah yang masih basah. Rina menyentuhnya dengan ujung jari. Itu adalah darah. Darah segar yang entah dari mana asalnya.
"Ada apa, Rina?" Herman bertanya dari luar pintu.
Rina segera mengusap noda itu dengan telapak tangannya, menyembunyikannya dari pandangan Herman. Ia tahu, jika ia menunjukkan ini, Herman akan menganggapnya sebagai tanda kerusakan atau kecerobohan. Namun bagi Rina, noda darah ini adalah sinkronisasi fisik dari mimpi Mala semalam.
"Tidak ada apa-apa," jawab Rina, suaranya kini terdengar jauh lebih kuat. "Tapi saya berubah pikiran, Herman. Mobil ini tidak dijual. Setidaknya tidak hari ini."
"Apa?! Kamu sudah gila, Rina! Kita sudah buat janji!" Herman berteriak, wajahnya memerah karena malu di depan pembeli.
"Saya akan mencari uang dengan cara lain. Saya tidak peduli. Ayah anak-anak baru saja 'menghubungi' saya lewat cara yang tidak akan pernah Anda pahami," ucap Rina sambil keluar dari mobil dan mengunci pintunya dengan bunyi klik yang mantap.
Bapak Wijaya menatap Rina dengan pandangan yang lebih lembut. "Saya rasa... saya mengerti, Bu. Ada hal-hal yang memang tidak bisa dinilai dengan uang. Maaf kalau saya mengganggu."
Pria itu berbalik dan berjalan menuju mobilnya sendiri, meninggalkan Herman yang masih mengumpat di depan garasi.
Resonansi yang Tak Terbantahkan
Setelah Herman dan pembeli itu pergi, Rina masuk kembali ke rumah. Ia menemukan Arka duduk di ruang tengah, sedang mencoret-coret kertas dengan krayon merah. Rina mendekat dan melihat apa yang digambar putrinya.
Arka tidak menggambar pemandangan atau rumah. Ia hanya menggoreskan garis-garis merah yang tebal, membentuk pola yang menyerupai tulisan tangan yang sangat berantakan. Di tengah coretan itu, ada satu bentuk yang menyerupai huruf 'M' dan 'A'.
"Mala?" bisik Rina.
Arka mendongak, menatap ibunya dengan mata hitamnya yang dalam, lalu tersenyum—senyum yang sangat jarang ia tunjukkan. Ia kemudian menunjuk ke arah jarinya sendiri, menirukan gerakan orang yang sedang menulis.
Rina terduduk di lantai, memeluk Arka dengan tangisan yang pecah. Ia kini sepenuhnya yakin. Di suatu tempat yang sangat jauh, suaminya tidak hanya sedang bertahan hidup; ia sedang berjuang dengan cara yang paling suci. Penulisan doa dengan darah itu telah menembus batas kewajaran, mengirimkan sinyal melalui darah yang sama yang mengalir dalam tubuh anak-anaknya.
"Ibu, kenapa menangis?" Mala datang dan ikut duduk di lantai.
"Ibu menangis karena Ayah sangat mencintai kita, Mala. Sangat, sangat mencintai kita," jawab Rina di sela isakannya.
Mala mengambil sehelai daun kering dari sakunya—daun dari mimpinya tempo hari—dan meletakkannya di telapak tangan Rina. Daun itu terasa hangat, memancarkan energi yang menenangkan.
"Ayah bilang Mala prioritas, Bu. Apa artinya itu?" tanya Mala polos.
Rina tertegun. "Ayah bilang begitu di mimpimu?"
Mala mengangguk. "Ayah menulisnya pakai jari yang berdarah. Mala melihatnya."
Rina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Segala keraguan yang selama ini dipaksakan oleh Bunda Ida dan Bapak Harjo runtuh seketika. Jika seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa bisa memimpikan detail yang sama dengan apa yang ia rasakan di garasi dan apa yang Arka gambarkan di kertas, maka kebenaran itu sudah mutlak.
Di luar, langit mulai mendung, namun cahaya di dalam rumah itu terasa lebih terang dari biasanya. Rina berdiri, mengambil Buku Doa cadangan miliknya sendiri, dan menuliskan sesuatu di sana. Ia tidak menggunakan darah, namun ia menggunakan air mata dan keyakinan yang sama besarnya dengan apa yang Bara lakukan di pulau.
Ia menulis: Aku saksimu, Bara. Aku menerima pesanmu. Pulanglah, kami menunggumu.
Rina tahu, mulai detik ini, ia tidak akan lagi bertarung melawan kemiskinan dengan rasa takut, melainkan dengan ketenangan seorang istri musafir yang tahu bahwa takdir suaminya sedang dalam perjalanan pulang. Takdir itu kini telah terkunci oleh tinta merah yang tak akan pernah bisa dihapus oleh ombak mana pun di dunia ini.