Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 : Bagaimana Nasib Tubuhmu
Yvaine terdiam mendengar ucapan itu. Pandangannya kosong sejenak, sebelum matanya melirik ke samping untuk melihat sosok Lysander yang berjalan di belakangnya. Langkahnya melambat, tak lagi setegap sebelumnya, seolah setiap kata barusan menambah beban di pundaknya. Tatapannya jatuh pada ujung lorong istana yang terasa begitu jauh. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata,
“Semua orang memiliki tanggung jawab… tapi itu tidak berarti mereka bisa dengan mudah mengabaikannya.”
Lysander menatapnya beberapa detik, seakan mencoba membaca isi hatinya. Lalu ia kembali bersuara, nada suaranya tenang namun menyimpan ketegasan.
“Terkadang keputusan yang kita ambil terasa jauh lebih berat ketika tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Namun itulah kenyataannya, keputusan yang benar sering kali berbeda dengan apa yang orang lain harapkan.”
Ia berhenti sebentar, seolah ingin memastikan Yvaine mendengarnya dengan jelas.
“Dan dari situlah kita belajar. Dari saat-saat kita diabaikan, diasingkan, tidak didengar, bahkan diremehkan. Semua itu akan membawa kita pada dua pilihan… menjadikannya sebagai pelajaran yang menguatkan, atau mengubahnya menjadi senjata yang bisa melukai diri sendiri maupun orang lain.”
Kata-katanya menggantung di udara, menyisakan keheningan yang berat di antara mereka.
Yvaine kembali terdiam, tertegun ketika tangan kanannya tanpa sadar menutupi luka di telapak kirinya. Rasa perih itu seakan membangkitkan kenangan yang sulit ia lupakan. Langkahnya terhenti, membuat Lysander yang berada di belakangnya ikut berhenti.
Dengan suara yang tenang, ia kembali berbicara.
“Pada akhirnya, kita semua hidup di dalam cerita kita sendiri. Lakukan apa yang bisa kau lakukan, bukan demi orang lain… melainkan demi dirimu sendiri. Tentukan mana yang baik untukmu, dan mana yang baik untuk orang lain, tanpa harus menjatuhkan dirimu sendiri.”
Yvaine menoleh, tatapannya bertemu dengan Lysander. Untuk sesaat, senyum tipis terukir di wajahnya, seolah ucapan itu berhasil menembus dinding yang selama ini ia bangun.
Lysander melanjutkan, nada suaranya lebih lembut.
“Kalau lelah, beristirahatlah. Karena ketika kau lelah, tidak ada yang benar-benar peduli kecuali dirimu sendiri. Dan jika dirimu pun tak peduli… bagaimana nasib tubuhmu?”
Yvaine hanya terdiam. Hembusan angin di lorong membuat poni di wajahnya sedikit bergeser, menambah kesan rapuh pada sosoknya. Lysander menundukkan kepala, lalu berkata lirih,
“Izinkan aku pamit. Masih banyak yang harus kusibukkan.”
Tanpa menunggu balasan, ia berbalik untuk pergi. Namun sebelum benar-benar menghilang di ujung lorong, suara Yvaine memanggilnya lagi.
“Lysander… kau benar-benar seorang tabib?”
Langkah pria itu terhenti. Ia menoleh, menatapnya sambil menampilkan senyum yang sama tenangnya sejak awal.
“Aku hanyalah seorang tabib dari Kerajaan Aurenia, ditugaskan untuk merawat seluruh anggota istana atas perintah Raja Marius.”
Tanpa menjelaskan lebih jauh, ia kembali melangkah meninggalkan lorong itu. Yvaine tetap berdiri di tempat, menatap punggungnya sampai menghilang dari pandangan.
Sebuah gumaman lirih lolos dari bibirnya.
“Jika benar seorang tabib… mengapa kata-katanya terdengar seolah ia pernah merasakan berada di posisiku?”
…
Disisi lain
Lyanna dan Veyra tengah berada di ruang latihan, ditemani seorang guru pembimbing yang sedang melatih mereka berpidato dan menjalankan etika seorang putri istana. Suasana hening, hanya suara guru itu yang terdengar, sampai pintu tiba-tiba terbuka.
Yvaine berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya tajam menusuk ke arah sang guru.
“Keluar. Aku ingin ruang pribadi.”
Lyanna dan Veyra sontak menoleh. Keduanya terdiam, saling bertukar pandang dengan tatapan penuh tanya ketika melihat kakaknya datang dengan sikap dingin seperti itu.
Sementara sang guru berusaha tetap tenang, ia menunduk hormat lalu berkata pelan,
“Maaf, Putri Yvaine. Atas perintah Yang Mulia Raja Marius, saya tidak diperkenankan meninggalkan Putri Lyanna dan Veyra sendirian.”
Namun Yvaine tidak bergerak sedikit pun. Wajahnya tetap datar, tatapannya semakin tajam. Suaranya terdengar dingin dan jelas.
“Aku berkata butuh ruang pribadi. Perlukah aku mengulangnya lagi?”