NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : HANIE - ALLISEN' DUSK ON THE EDGE OF BELFAST

Allisen, mengenakan seragam biru tua bergaris emas yang gagah—simbol statusnya sebagai salah satu pemimpin militer terpandang di Kerajaan Tuatha Dé—menurunkan tongkat komando hitamnya ke tanah berdebu di gerbang kota. Jubah putih gadingnya, yang melambangkan kemurnian dan otoritas, sedikit berkibar ditiup angin senja. Setelah seharian memimpin patroli di perbatasan timur Belfast yang damai, ia memilih untuk berjalan kaki melalui pemukiman.

Meskipun penampilannya mencerminkan kekuasaan, dengan rambut pirang rapi dan mata hijau yang tajam, aura yang ia pancarkan adalah ketenangan, bukan keangkuhan. Baginya, lambang pangkat ini adalah janji untuk melayani, bukan alat untuk mendominasi.

Ia melewati sebuah rumah pandai besi. Di ambang pintu, seorang pria bertubuh besar dengan tangan berjelaga tengah mengistirahatkan palunya. Pria itu, yang biasanya terlihat lelah, segera memberi hormat hormat yang canggung.

Allisen tersenyum tipis. "Selamat senja, Tuan," sapanya, suaranya bernada lembut namun berwibawa, seperti gesekan baja yang halus.

Pria pandai besi itu terkejut dengan keakraban sang komandan. "Selamat senja, Tuanku. Cuaca hari ini... sangat bersahabat."

"Begitulah. Dan bagaimana dengan anakmu? Kudengar ia sedang demam beberapa hari yang lalu." Allisen mendekat sedikit.

"Oh! Ia sudah jauh lebih baik, Tuanku. Berkat tabib yang disarankan oleh salah satu prajurit patroli Anda. Saya berutang banyak padanya."

Allisen mengangguk, matanya menunjukkan kepuasan tulus. "Tidak perlu berutang. Itu adalah tugas kami. Ingat, kekuatan sejati Kerajaan Tuatha Dé tidak hanya terletak pada bentengnya, tetapi pada kesejahteraan setiap keluarga di dalamnya." Ia sejenak terdiam, menatap tumpukan arang. "Apakah ada masalah yang mengganggu pikiranmu? Selain suhu tungku yang harus dijaga."

Pria pandai besi itu ragu-ragu, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. "Ada, Tuanku. Mengenai pasokan bijih besi dari utara. Harganya mulai mencekik. Jika ini terus berlanjut, saya harus menaikkan harga pisau dan mata bajak. Dan itu akan memberatkan petani."

Allisen menghela napas. "Masalah perdagangan selalu lebih rumit daripada pertempuran, sayangnya. Tapi aku akan melihatnya. Aku akan berbicara dengan bendahara besok pagi, memastikan bahwa tidak ada pedagang licik yang memanfaatkan kedamaian ini."

"Terima kasih, Tuanku. Terima kasih banyak." Rasa hormat sang pandai besi terlihat jelas, melebihi sekadar formalitas militer.

Saat ia melanjutkan langkahnya, Allisen berpapasan dengan seorang wanita tua yang sedang membawa keranjang penuh sayuran. Langkahnya lambat dan tertatih-tatih. Secara naluriah, Allisen memegang keranjang itu dengan satu tangan, sementara tangan yang lain tetap memegang tongkat.

"Izinkan saya, Nyonya," katanya.

"Ya Tuhan, Tuanku! Tidak perlu repot-repot! Ini terlalu berat untuk jubah mulia Anda," ujar wanita itu, terkejut melihat komandan militer tertinggi membantunya.

"Tidak ada yang terlalu berat jika itu adalah tugas seorang pelindung," Allisen meyakinkan, berjalan perlahan di sampingnya. "Tangan saya terbiasa memegang pedang, Nyonya. Berat keranjang ini tidak seberapa."

Mereka berjalan dalam diam sesaat. Wanita tua itu menatap lurus ke depan, kemudian berbisik, "Apakah... perbatasan benar-benar aman, Tuanku? Saya mendengar bisikan dari utara, tentang pergerakan..."

Allisen mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak pernah meremehkan bisikan rakyat.

"Bisikan itu adalah bagian dari malam, Nyonya. Tapi yakinlah," jawabnya, suaranya meyakinkan dan kokoh seperti tembok benteng. "Aku sendiri yang memimpin patroli hari ini. Prajurit terbaik Tuatha Dé berjaga. Kami tidak akan membiarkan bayangan mengganggu tidur damai kalian."

Ia melanjutkan, "Jika ada gerakan yang benar-benar mengancam, akulah yang pertama mengetahuinya, dan akulah yang akan berdiri di garis depan untuk mengusirnya. Percayakan hal itu pada kami."

Mereka tiba di sebuah pondok kecil di ujung jalan. Allisen meletakkan keranjang itu di teras.

"Semoga malam Anda tenang, Nyonya. Dan jangan sungkan untuk menyampaikan kekhawatiran Anda kepada prajurit yang berjaga di dekat sini."

Wanita itu membungkuk dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. "Semoga para dewa memberkati kepemimpinan Anda, Tuanku. Kehadiran Anda adalah kedamaian bagi hati kami."

Allisen hanya tersenyum dan memberi hormat singkat, lalu melangkah kembali menuju markas. Ia berjalan tegak, gagah dalam seragamnya, tongkat komando di tangan. Namun, di bawah jubah kebesarannya, ia membawa bukan hanya beban militer, tetapi juga setiap keluhan, harapan, dan kekhawatiran yang ia dengar dari orang-orang. Bagi Allisen, itulah kekuatan seorang pemimpin sejati: memimpin tidak dari takhta yang tinggi, tetapi dari antara rakyat yang ia janjikan untuk lindungi. Kekuatan militer dan kelembutan hati berjalan beriringan dalam setiap langkahnya, membawa harmoni yang kokoh di Kerajaan Tuatha Dé.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Allisen melanjutkan perjalanannya menyusuri jalanan Belfast yang mulai diterangi obor malam. Senyum yang ia tunjukkan pada warga yang ia bantu sebelumnya mulai memudar, digantikan oleh kerutan samar di keningnya. Ia tahu, meskipun dicintai banyak orang, dirinya juga menjadi sasaran kritik—terutama dari penduduk di wilayah pinggiran kota yang miskin atau mereka yang enggan membayar pajak penuh kepada Kerajaan Tuatha Dé.

Saat ia melewati alun-alun, ia mendengar suara perdebatan yang keras di depan kedai minum yang ramai. Allisen, dengan mata hijaunya yang waspada, mengenali nada ketidakpuasan dalam suara itu dan memutuskan untuk mendekat.

Seorang pemuda berpakaian lusuh, yang jelas berasal dari bagian kota di luar tembok utama, terlihat menunjuk dengan marah ke arah seorang pedagang yang duduk di kursi dengan pakaian yang lebih rapi.

"Aku katakan, para prajurit itu hanya berkeliling di distrik ini karena di sinilah uang mengalir! Di mana mereka saat kami membutuhkan perlindungan dari bandit jalanan yang merampas persediaan kayu kami di luar Gerbang Utara?" seru pemuda itu.

"Tentu saja mereka berpatroli di sini, bodoh!" balas pedagang itu, mengusap janggutnya. "Kami membayar pajak. Pajak yang tinggi, dengan emas yang sah! Perlindungan harus dibayar, itu adalah hukum! Kau ingin perlindungan? Bayar setara!"

"Kami bekerja keras! Tetapi panen kami hancur, dan kami tidak punya emas untuk membayar 'setara' itu!" bentak pemuda itu.

Allisen melangkah maju, kehadirannya yang menjulang tinggi dalam seragam militer dan jubah putih yang mencolok langsung menghentikan perdebatan itu. Keheningan tiba-tiba meliputi kelompok kecil itu.

Pemuda yang marah itu menoleh dan, melihat lencana emas di bahu Allisen, matanya menyala dengan campuran ketakutan dan kebencian.

Allisen berbicara dengan nada tenang, tetapi suaranya cukup kuat untuk didengar oleh semua yang ada di sekitarnya. "Aku mendengar perkataan kalian. Biarkan aku yang mendengar keluhanmu, Tuan muda. Apa yang membuatmu begitu marah pada prajurit Kerajaan?"

Pemuda itu membuang pandangannya ke samping. "Kau tidak akan mengerti, Tuanku. Pundakmu yang dihiasi emas tidak tahu apa artinya kelaparan, atau bagaimana rasanya hidup di tempat yang kalian anggap 'tidak penting'."

"Setiap inci Kerajaan Tuatha Dé adalah penting bagiku," jawab Allisen, memegang tongkatnya dengan erat. "Jelaskan kepadaku. Kami mengerahkan patroli harian di Gerbang Utara. Apakah kau mengatakan mereka tidak menjalankan tugas mereka?"

Pemuda itu tertawa sinis. "Mereka menjalankan tugas mereka, Tuanku. Mereka memastikan tidak ada perampok yang masuk ke dalam kota. Tetapi mereka melihat ke arah lain ketika kami, yang membawa hasil panen kecil atau kayu bakar, dirampok saat mendekati gerbang. Mereka hanya bertanya apakah kami sudah membayar bea masuk kota, bukan apakah kami aman."

Allisen mendengarkan dengan serius, mengabaikan tatapan mencemooh dari pedagang di dekatnya.

"Lalu, apa yang kau harapkan dariku?" tanya Allisen, menantang.

"Kami ingin keadilan! Kami ingin perlindungan tanpa harus memamerkan kantong penuh koin emas! Kami tidak membayar pajak penuh, itu benar, tetapi kami adalah rakyat Kerajaan! Apakah kami hanya dilindungi jika kami bisa melayani kas kerajaan?" seru pemuda itu, suaranya bergetar.

Pedagang di dekatnya menyela, "Ini omong kosong, Tuanku! Jika semua orang berhenti membayar pajak, bagaimana para prajurit ini dibayar? Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengeluh karena dia malas!"

Allisen mengangkat tangan, menghentikan pedagang itu. Ia menoleh kembali ke pemuda itu, matanya yang hijau menatap tajam, tidak menghakimi, hanya mencari kebenaran.

"Aku mendengar kekecewaanmu, dan aku tidak akan meremehkannya," kata Allisen dengan janji. "Aku tidak memimpin dengan kikir, Tuan muda. Tujuanku adalah menjaga setiap jiwa, terlepas dari seberapa tebal dompet mereka."

Ia melanjutkan, "Mulai besok pagi, aku akan secara pribadi meninjau ulang rute patroli di sekitar Gerbang Utara. Aku akan menugaskan dua prajurit berkuda untuk berpatroli di jalur hutan menjelang fajar, saat kalian membawa persediaan. Mereka akan berfokus pada pencegahan perampokan. Bukan hanya keamanan benteng, tetapi keamanan jalan yang kalian lalui."

Pemuda itu, yang siap untuk konfrontasi, terkejut oleh tanggapan Allisen yang lugas dan janji yang spesifik itu. Ekspresi wajahnya berubah dari marah menjadi kaget.

"Jika aku mendapati prajuritku tidak mematuhi perintah ini, atau jika mereka bersikap arogan dan tidak menghormatimu, sampaikan keluhan itu langsung padaku. Aku akan mengambil tindakan," tegas Allisen.

Ia menatap pemuda itu dalam-dalam, memastikan pesannya tersampaikan. "Aku tidak bisa menjanjikan bahwa setiap masalah akan selesai dalam semalam, dan pajak adalah kewajiban yang harus kita penuhi untuk menjaga stabilitas. Tetapi aku bersumpah, di bawah lambang Tuatha Dé ini, bahwa aku tidak akan membiarkan kalian merasa tidak terlindungi."

Allisen kemudian berbalik ke pedagang. "Kau juga, Tuan. Stabilitas datang dari rasa hormat. Ingatlah bahwa keamanan asetmu bergantung pada keamanan semua orang. Kebencian rakyat yang berapi-api bisa lebih berbahaya daripada pasukan musuh."

Setelah memberikan nasihat terakhir itu, Allisen melanjutkan langkahnya. Ia meninggalkan keheningan yang panjang di belakangnya. Pemuda itu berdiri termangu, memproses janji yang baru saja ia dengar, sementara pedagang itu menggaruk kepalanya, merenungkan peringatan sang komandan.

Allisen tahu pekerjaannya belum selesai. Ia adalah perpaduan antara kekuatan dan hati, tetapi ia juga harus menjadi jembatan antara yang kaya dan yang miskin, antara keharusan pajak dan kebutuhan akan keadilan. Konflik di alun-alun itu, lebih dari apapun, mengingatkannya bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin militer tidak terletak pada seberapa banyak pertempuran yang ia menangkan, tetapi pada seberapa banyak hati rakyat yang ia yakini. Malam itu, ia membawa beban baru: tugas untuk membuktikan bahwa perlindungan Kerajaan adalah untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang membayar dengan emas.

.

.

.

.

Di dalam markas besar militer, Allisen duduk di depan meja kayunya yang besar, cahaya lembut dari lilin menari-nari di atas peta-peta wilayah. Perintah tentang penugasan patroli fajar di Gerbang Utara sudah ia tandatangani dan berikan kepada ajudan kepercayaannya. Meskipun lelah setelah seharian, pikirannya jauh dari istirahat. Percakapan di alun-alun itu bergema di benaknya; kritik tajam dari pemuda itu bukanlah tuduhan, melainkan cerminan dari kegagalan kecil dalam sistem yang ia pimpin.

Ia menyentuh lencana emas di seragamnya. Lencana itu bukan hanya tanda pangkat, tetapi juga penanda tanggungannya. Allisen tahu bahwa kekuatan Kerajaan Tuatha Dé terletak pada persatuan rakyatnya—persatuan yang rapuh ketika sebagian merasa diabaikan demi keuntungan. Tugasnya sekarang bukan hanya mengerahkan prajurit, tetapi juga memulihkan kepercayaan.

Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, Allisen sendiri berdiri di dekat Gerbang Utara, memastikan dua prajurit berkuda yang ia tugaskan memulai patroli mereka di jalur hutan. Ia menatap ke arah tempat para petani dan pengumpul kayu biasanya muncul, wajahnya tegas. Allisen memahami, kepemimpinan sejati tidak hanya memerintah dari jauh, tetapi memastikan setiap janji ditepati. Ia adalah jaminan berjalan dari Belfast—perpaduan langka antara kekuatan militer dan kelembutan hati yang berjuang untuk memastikan kedamaian sejati, sebuah kedamaian yang merangkul semua orang di bawah naungan jubah putihnya, terlepas dari kekayaan mereka.

...

...

Dengan hati yang teguh dan mata yang penuh harapan akan harmoni, Allisen menunggu fajar baru, siap untuk terus menjadi perisai dan penghubung di Kerajaan Tuatha Dé yang ia cintai.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!