NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Teror Lilis dan Dadang kembali mengudara setelah beberapa hari tenang dan tidak terdengar orang yang membicarakannya. Kali ini bukan hanya Lilis dan Dadang yang beraksi, tetapi Rara, adek dari Sangkara pun beraksi. Di setiap rumah desa tertulis sebuah kalimat yang menakutkan.

‘Kalian menyembunyikan kematian kami, maka kalian harus ikut kami mati!!!’

Kalimat itu ditulis dengan warna merah darah. Entah dengan menggunakan cat atau menggunakan darah hewan. Setiap warga yang melihat tulisan tersebut langsung merasa merinding, di tambah lagi mereka merasakan sakit perut yang teramat sangat. Mereka bolak-balik ke kamar mandi. Seolah Rara, Lilis dan Dadang ingin menguras energi mereka. Dan membuat mereka menyusul kematiannya.

“Hadeuh! Aku sudah tidak kuaaat, pak! Lebih baik bapak lapor polisi saja! Ungkap kematian keluarga si Dadang!” ujar istri kepala desa dengan napas terengah-engah.

Dia sudah kehabisan tenaga. Sejak shubuh tadi, dia sudah 9 kali keluar masuk ke toilet. Begitu juga kepala desa, kondisinya hampir sama dengan istrinya. Namun dia masih bisa berdiri dan berjalan sambil berpegangan dinding.

“Nanti, bu! Nanti aku akan lapor, tapi lebih baik sekarang kita ke puskesmas atau rumah sakit. Kalau kita gak dapat penanganan, bisa-bisa kita ikutan mati, bu!” sahut pak Kades.

Laki-laki tua itu terus berjalan merambat ke dinding. Dia berniat mengambil ponselnya untuk menghubungi klinik dan juga ambulans. Apa yang terjadi pada dirinya tidak bisa di biarkan. Dia belum mau mati, dia masih mau hidup. Dan untuk urusan lapor ke polisi, urusan belakangan.

Telepon pak Kades di acuhkan oleh puskesmas. Di sana hanya ada satu dokter dan beberapa perawat yang menangani banyak warga yang datang secara serentak. Sedangkan dokter Adit, yang seharusnya ikut membantu puskesmas, malah tidak ada di tempat. Sebelumnya dia diminta untuk ke rumah Sangkara. Karena Sangkara menghubungi pihak puskesmas terlebih dahulu dan mengeluhkan sakit perut. Dia tidak sanggup berjalan menuju puskesmas, makanya dokter Adit langsung ditugaskan ke rumah Sangkara.

Tanpa dokter lain itu tahu, tiba di rumah Sangkara. Dokter Adit bukannya memeriksa Sangkara, melainkan menikmati segelas kopi hitam dan sepiring goreng yang sudah di persiapkan oleh keponakannya.

“Puas, om?”

“Cukup puas!” jawab dokter Adit tersenyum tipis. “Tapi, bagaimana kamu bisa melakukan ini semua, Kara? Dalam satu waktu, seluruh warga desa merasakan hal yang sama!”

Sangkara mengedikkan bahunya, “sudah aku katakan, kalau aku mampu melakukan ini semuanya, om! Bahkan lebih dari ini pun aku mampu!”

“Kamu merahasiakan sesuatu dari oom, Kara?”

Bibir Sangkara tersenyum tipis, “belum saatnya oom tahu. Suatu saat aku akan ceritakan semuanya. Kita fokus ke masalah warga ini dulu!”

“Baiklah! Tapi ingat, sekarang kamu sudah gak sendiri. Ada oom yang selalu mendukung kamu!”

“Siap, om!”

Oom dan keponakan itu masing-masing menikmati segelas kopi. Sambil mendengar suara riuh dari luar rumah. Ada yang memanggil anggota keluarga yang tinggal di luar desa, ada yang menelpon ambulans, ada yang berjalan menuju jalan raya untuk meminta pertolongan atau mencegat angkot agar bisa membawa mereka ke rumah sakit.

Pokoknya pagi itu, suasana desa kembali kacau dan hebo. Bahkan beberapa anggota kepolisian pun datang untuk menyelidiki mengapa hampir seluruh warga desa mengalami sakit perut dan diare secara bersamaan. Anggota kepolisian yang bukan hanya sekedar anggota, tapi petinggi kepolisan yang langsung.

Kapolsek yang datang berserta anggotanya terkejut melihat keadaaan desa tersebut. Keterkejutannya semakin menjadi-jadi ketika melihat tulisan yang sama di setiap rumah warga.

“Kematian? Memangnya di desa ini ada kasus kematian? Bukannya desa ini, desa yang aman?” tanya Kapolsek pada bawahannya.

“Maaf, pak. Mungkin kematian pada umumnya saja.”

“Kematian umum? Maksud kamu karena sakit atau emang sudah aja gitu? Saya bukan orang bodoh, sangat jelas makna tulisan itu bukan kematian biasa. Saya minta kalian selidikinya, dan juga selidiki penyebab warga desa sakit perut dan diare!”

“Siap, pak! Laksanakan!”

Rombongan kepolisian itu terus menyelusuri jalanan desa. Hingga berhenti di depan puskesmas yang sudah sepi. Karena hampir seluruh warga sudah di pindahkan ke rumah sakit terdekat. Yang tersisa di puskesmas hanya Sangkara. Dia sepertinya datang untuk mendapatkan penanganan lebih. Agar tidak ada yang curiga pada dirinya dan dokter Adit.

“Loh ini kenapa tidak di bawa ke rumah sakit?”

“Dia sudah baikan, pak. Saya bawa ke sini, agar ada yang merawat. Karena dia sendirian di rumah,” sahut dokter Adit berpura-pura menyiapkan untuk Sangkara.

Kepala Kapolsek itu mengangguk. Dengan inistifnya, dia menanyakan makna tulisan yang ada di setiap rumah warga pada Sangkara dan juga dokter Adit.

“Maaf, pak saya tidak tahu. Hanya saja warga desa banyak mengeluh bahkan membicarakan orangtua saya yang telah meninggal. Saya juga tidak tahu kapan dan penyebab kematian orangtua serta adek saya. Karena saya baru kembali dari kerja di luar negri beberapa bulan yang lalu,” sahut Sangkara. Dalam hatinya dia bersorak senang, karena umpan yang dia pasang sudah di makan.

Kapolsek langsung menatap bawahannya. Mereka juga sama dengan kapolsek yang tidak tahu apa-apa. Dan memang kasus kematian keluarga Sangkara tidak diketahui oleh orang luar.

Di tengah keheningan sejenak itu, terdengar derap kaki yang berlari mendekati puskesmas. Di iringi sebuah teriakan yang memanggil nama Sangkara.

“Kara, kamu gak apa-apa???” seru Dika berlari masuk dan mendekati Sangkara. “Aku dengar kalau warga desa banyak yang masuk rumah sakit, jadinya aku langsung ke rumah sakit untuk lihat kamu. Eh di sana kamu gak ada. Lalu aku langsung ke sini! Gilaaa, capek bange aku, Kara. Aku minta minum yaaa?”

Tanpa mempedulikan sekitarnya, Dika langsung menegak air putih yang berada di atas nakas dekat tempat Sangkara terbaring.

“Uh, leganya. Untung kamu gak apa-apa, Kara! Sumpah, aku khawatir banget sama kamu. Aku mikir, kalau kamu masuk rumah sakit, siapa yang rawat kamu. Kan warga desa banyak yang gak suka kamu. Padahal terror yang terjadi di desa ini bukan salah kamu. Mereka aja yang menyembunyikan kematian keluarga kamu!” sambung Dika.

Puk…Sebuah tepukan di bahu Dika membuat dia menoleh ke belakang. “Eh, kok ada pak polisi? Sejak kapan? Kok aku gak lihat?” seru Dika terkejut.

“Pak, bisa kita bicara di depan sebentar?” ujar salah satu anggota kepolisian.

“Bi-bicara apa ya pak? Sa-saya ti-tidak berbuat salah kan?”

Anggota kepolisian itu menggelengkan kepalanya, “tidak. Saya hanya mau nanya beberapa pertanyaan saja!”

“Oh, gitu! Baik, pak!”

Sangkara dan dokter Adit saling lirik. Mereka tersenyum tipis, karena apa yang mereka rencanakan hampir berhasil. Hanya tinggal menunggu pengakuan dari kepala desa saja.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Sementara itu, di rumah cukup besar. Seorang gadis terus mengurung dirinya. Dia sangat takut untuk keluar rumah. Setiap keluar rumah atau kamar, sosok gadis yang pernah dia bully pasti muncul.

“Maafkan aku, Ra! Maafkan aku!!!” lirih gadis itu mengantupkan kedua tangan di depan dada.

“A-aku akan ju-jujur. A-aku akan mengakui semuanya di kantor polisi. Tapi aku mohon, jangan ganggu aku lagi. Aku ta-takut, Ra!” ucap Intan. Gadis yang dulu membully Rara dan juga menyimpan sebuah rahasia yang tidak satupun di ketahui orang lain.

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!