 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 21
Tepat pukul satu dini hari, Aprilia tersentak bangun. Kepalanya berdenyut nyeri, membuatnya meringis sambil memegangi pelipis. Matanya menyapu sekeliling, berusaha mengenali tempat asing itu.
"Aku di mana?" gumamnya lirih, nada suaranya sarat kepanikan.
Dengan langkah ragu, Aprilia keluar dari kamar. Lorong rumah itu terasa familiar, namun pikirannya masih berkabut.
"Kenapa aku bisa ada di rumah Pak Yuka?" bisiknya, kebingungan.
Tenggorokannya terasa kering, Aprilia memutuskan untuk menuju dapur, berharap menemukan setetes air pelepas dahaga. Lampu-lampu rumah padam, memaksanya meraba-raba dalam kegelapan.
"Nah, ini dia tangganya," ucap Aprilia pelan, kakinya mulai menuruni anak tangga satu per satu dengan hati-hati.
BRUKKK
Dahinya membentur sesuatu yang keras. Aprilia terlonjak kaget, jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia meraba benda yang baru saja ditabraknya.
Tiba-tiba, suara tepuk tangan menggema tiga kali, diikuti dengan lampu-lampu yang serentak menyala, menerangi seluruh ruangan.
Aprilia membelalakkan mata, terkejut mendapati tangannya meraba dada bidang Yuka.
"Pak Yuka... maaf," ucap Aprilia gugup, menarik tangannya secepat kilat dan mundur beberapa langkah menaiki tangga.
"Mau ke mana?" tanya Yuka, suaranya terdengar tenang namun menusuk.
"S...saya mau ambil minum, Pak," jawab Aprilia terbata-bata. "T...tapi, kenapa saya bisa ada di sini?" tanyanya ragu.
"Kamu tidak ingat apa-apa?" tanya Yuka balik.
"Terakhir yang aku ingat, aku sedang makan makanan siap saji di toserba," jawab Aprilia, mengerutkan kening.
"Sepertinya minuman yang kamu beli mengandung alkohol," sahut Yuka.
"Astaga! Aku belum pernah minum alkohol," seru Aprilia, menutup mulutnya dengan tangan.
"Makanya, tubuhmu belum terbiasa dengan efek alkohol itu. Meski kandungannya rendah, tapi untuk seseorang yang belum pernah menyentuh alkohol sama sekali, efeknya akan terasa," jelas Yuka.
Aprilia mengangguk-angguk, mencoba mencerna penjelasan Yuka. "Kok saya bisa sampai di sini, Pak?" tanyanya kemudian.
"Zio sedang belanja camilan, dan tak sengaja melihat kamu tertidur di depan toserba. Dia menghubungiku, dan aku membawamu pulang, karena kamu bilang suamimu tidak mengizinkanmu pulang," ucap Yuka.
Aprilia menepuk pelan bibirnya, lalu tertawa canggung. "Maaf ya, Pak, saya merepotkan. Kalau begitu, saya pamit dulu ya," ucapnya tak enak hati.
"Kamu mau ke mana malam-malam begini? Dan kenapa Vernando tidak mengizinkanmu pulang?" tanya Yuka, nada suaranya menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
"Saya tidak enak kalau bermalam di sini, Pak. Saya dan Vernando sedang ada masalah pribadi," jawab Aprilia, enggan menjelaskan lebih detail tentang permasalahan rumah tangganya.
"Kamu menginap saja di sini, selama yang kamu mau. Terlalu berbahaya seorang wanita keluar malam hari tanpa tujuan yang jelas," ucap Yuka.
Aprilia terdiam sejenak, membenarkan ucapan Yuka. "Baik, Pak. Kalau begitu, terima kasih," ucap Aprilia akhirnya.
Yuka mengangguk, lalu berjalan melewati Aprilia menaiki anak tangga, meninggalkan Aprilia yang masih terpaku di tempatnya, memikirkan nasibnya.
Aprilia melangkah menuju dapur, mencari segelas air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
Sensasi dingin air yang mengalir di tenggorokannya terasa begitu melegakan.
Setelah dahaganya terpuaskan, ia meraba sakunya, mencari ponselnya. Lega rasanya ketika benda pipih itu masih berada di sana.
Untuk mengusir kebosanan, Aprilia membuka aplikasi media sosial. Jemarinya menari di atas layar, hingga matanya terpaku pada sebuah unggahan dari Vini.
Sebuah foto tangan yang saling bergandengan, tangan seorang wanita dan seorang pria yang tak dikenal. Di depan mereka, terhidang sebotol anggur dan beberapa hidangan mewah.
"Apa itu Vernando?" gumam Aprilia lirih, matanya menyipit berusaha mengenali sosok pria dalam foto itu.
Helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Aprilia menutup aplikasi media sosial dan menatap kosong ke arah depan.
Pikirannya melayang, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Vernando saat ini. Bayangan suaminya memenuhi benaknya.
"Jika alasan Vernando menikahiku karena kakek, lalu mengapa kakek begitu menyayangiku dan memaksa Vernando menikahiku? Padahal sebelumnya aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya," gumam Aprilia, suaranya nyaris tak terdengar.
"Kalau soal pernikahan bisnis, ayah lebih mengakui Vini sebagai anaknya, lalu kenapa kakek bersikeras aku yang harus menjadi cucu menantunya?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, menciptakan pusaran kebingungan yang semakin menyesakkan.
Sejujurnya, ia sangat ingin keluar dari pernikahan yang menyakitkan ini. Kehadirannya, perasaannya, seolah tak pernah dihargai.
Ia merasa seperti hantu di rumahnya sendiri, tak terlihat dan tak dianggap. Kelelahan merayapi setiap inci tubuhnya, bukan hanya fisik, namun juga mental dan emosional. Aprilia merasa lelah menjadi Aprilia yang di cap buruk rupa dan si gadis desa yang bodoh.
"Kenapa juga dunia terasa begitu sempit? Ternyata Yuka adalah sepupu Vernando," gumam Aprilia, bibirnya membentuk senyum pahit. Ironi takdir kembali mengejeknya.
"Tapi sepertinya Yuka dan Vernando tidak memiliki sifat yang sama, Yuka lebih tenang dan ekspresi nya tidak bisa di baca, sedangkan Vernando sangat angkuh, sombong, dan ceroboh"
Dengan langkah gontai, ia menaiki tangga, menuju kamar tamu yang tadi ditempatinya. Kamar itu terasa asing, namun setidaknya menawarkan sedikit ketenangan dari badai pikiran yang berkecamuk di benaknya.
 
                     
                     
                    