Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Kencan
Bab 21. Kencan
POV Arumi
Aku deg-degan. Setelah pembicaraan kami yang cukup serius tadi pagi, siang ini kami akan jalan-jalan karena Dimas ingin mengajak ku pergi.
Rasanya kali ini berbeda dengan saat dia mengajak ku berbelanja pakaian atau stok bahan dapur beberapa bulan lalu. Sikapnya tidak dingin dan malah hangat seperti bukan dirinya saja.
"Kita mau kemana?" Tanyaku.
Jujur aku penasaran Dimas mau membawa ku kemana.
"Nanti kamu akan tahu." Jawab Dimas dengan khas baritonnya sembari tetap fokus pada kemudinya.
Baiklah, sebaiknya aku tidak bertanya lagi.
Aku menatap jalan di depan ku. Mengamati pemandangan yang lewat, entah itu rumah penduduk, bangunan kantor bahkan orang-orang yang melintasi kami dengan kendaraannya.
Lalu lewat dari setengah jam kemudian kami tiba. Dan...
"Mall? Kita mau belanja ya?" Tanya ku lagi setelah keheningan panjang.
"Pilih apapun yang kamu suka. Baju, tas, sepatu, pilih semua juga tidak apa-apa."
"Kenapa?"
"Setelah waktu itu, aku lihat kamu sama sekali tidak pernah belanja apapun lagi."
"Itu tidak perlu, sayang uangnya. Aku juga nyaman begini."
"Kamu yakin?"
"Iya yakin. Sebaiknya kita cari kado buat Mama aja, bagaimana?"
Dimas tampak berpikir.
"Baiklah."
Aku tersenyum. Benar-benar laki-laki yang loyal. Tapi bagiku ini pemborosan. Apa yang harus aku beli sedangkan pakaian yang masih berlebel numpuk di lemari. Beberapa tas belum juga terpakai, begitu juga dengan sepatu dan sedal yang di belikan Dimas waktu dulu itu.
Apa mungkin begini caranya memanjakan Renata dengan membeli barang-barang di Mall begini?
Sungguh bodoh Renata menyia-nyiakan lelaki sebaik Dimas. Meski dia pria yang tidak bisa berekspresi dan kaku, tapi dia baik dan perhatian.
Kami pun mulai berjalan mengelilingi Mall tersebut. Melihat barang yang sekiranya cocok di jadikan kado untuk ibu mertuaku.
Namun hal-hal lain malah terjadi. Ketika melintasi outlet pernak pernik yang lucu, langkah ku terhenti disana. Aku malah melangkah masuk ke outlet itu dan melihat-lihat apa saja yang di jual disana.
Beberapa benda menarik perhatianku sehingga aku mencobanya. Dan Dimas hanya mengamatiku, lalu ikut memegang beberapa benda yang mungkin juga menarik perhatiannya.
Aku tersenyum. Meski dia diam, dia sungguh terlihat manis.
Cukup puas melihat-lihat tanpa membeli, aku melanjutkan lagi langkahku berkeliling. Lalu menemukan outlet yang menjual handphone. Langkah ku pelan melintasi tempat itu. Ku lirik handphone-handphone yang terpanjang di bagian tanpa berminat masuk ke dalam. Kemudian lanjut melangkah melintasi outlet berikutnya.
"Ayo kesini." Ujar Dimas ketika aku hanya melewati outlet tersebut tanpa melirik sedikitpun.
Sebuah outlet perhiasan yang pasti mahal harganya, pikirku. Tetapi karena Dimas yang berkata, aku pun menurut saja.
Dimas mendekat dan melihat-lihat perhiasan yang di panjang. Aku hanya mengikuti dan berada di sampingnya. Lalu dia meminta karyawan outlet untuk mengeluarkan perhiasan yang menarik perhatiannya. Dan aku, aku sedikit menjauh darinya dan kembali melihat-lihat saja.
Semua perhiasan itu sangat cantik, mewah, dan bagus-bagus. Tapi buat apa aku memuji dan tertarik jika aku sendiri tidak sanggup membeli.
Uang yang di berikan Dimas sebagai gaji ku tiap bulan, aku berikan kepada orang tuaku untuk membantu mereka memulai lagi usaha mereka pelan-pelan dari nol. Namun uang belanja bulanan tetap ku gunakan untuk mengisi stok dapur rumah Dimas.
"Kamu suka itu?"
Tiba-tiba saja Dimas sudah berada di belakang ku.
"Eh, apa?"
Jarak kami begitu dekat ketika aku menoleh padanya. Bisa ku rasakan hembusan napasnya menerpa wajahku sehingga aku lekas berbalik menoleh ke depan lagi.
"Itu, kamu suka perhiasan itu? Dari tadi matamu tertuju kesana." Kata Dimas seraya menunjuk sebuah perhiasan dengan arah pandangnya ketika aku meliriknya kembali.
Aku lalu memfokuskan mataku untuk melihat apa yang dia lihat karena sedari tadi sebenarnya aku hanya melamun.
"Mbak, bisa lihat yang ini."
Pinta Dimas sembari menunjuk salah satu perhiasan yang aku lihat tadi. Sebuah gelang emas dengan model simpel namun terkesan moderen.
Lalu pegawai outlet itu pun mengambilkan gelang yang Dimas maksud.
"Kalau buat Mama, sepertinya itu kurang cocok." Kataku.
"Lalu?"
"Emm..."
Aku pun kembali melihat ke arah etalase.
"Bagaimana kalau giok putih ini. Terkesan klasik namun tetap mewah dan elegan. Mirip Mama." Ujar ku.
"Hmm..., coba ambilkan juga yang itu."
Tunjuk Dimas kembali pada giok yang aku maksud.
Giok putih dengan ukiran emas pada beberapa bagian itu di lihat Dimas dengan seksama. Dimas tersenyum, sepertinya pendapatku mengenai giok itu mendapat persetujuan darinya.
Syukurlah... dan aku pun kembali melihat-lihat perhiasan yang terpajang cantik di etalase itu.
"Baiklah Mbak. Tolong bungkus ini dan saya akan membayar dengan ini."
Aku menunggu Dimas melakukan pembayaran. Setelah perhiasan itu di bayar, dia memberikannya padaku.
"Kamu saja yang memberikannya nanti kepada Mama."
"Baiklah." Jawabku.
Lalu kami kembali berjalan melawati tempat yang belum kami lalui.
"Kamu suka dessert?" Tanya Dimas dengan bariton khasnya.
"Iya aku suka."
"Mau coba makan disini?"
"Boleh."
Kami lalu melangkah masuk ke dalam, memesan makanan dan minuman yang kami inginkan, lalu memilih meja dan duduk di posisi yang nyaman bagi kami.
Aku malu duduk berhadapan dengannya. Padahal sudah berapa kali kami duduk cukup dekat. Namun kali ini berbeda rasanya karena Dimas tidak sedingin dulu.
Apa seperti ini rasanya kencan. Ah, aku berdebar.
"Kamu sakit?"
"Eh...!"
Kaget aku. Tiba-tiba Dimas meletakkan tangannya di kening ku.
"Ti.. tidak. Kenapa?"
"Wajahmu memerah. Tapi kening mu tidak panas. Aku kira, kamu sakit."
Aku memegang kedua pipiku. Dan segera menggeleng pelan.
"Aku tidak sakit kok. Mungkin sedikit kepanasan saja."
Dimas melihat sekitar ruangan.
"Apa AC disini kurang dingin?"
"Oh, tidak. Suhunya pas. Aku tidak apa-apa, jangan khawatir." Ujar ku.
Kenapa wajahku memerah ya, rasanya aku tidak bermake-up berlebihan. Bahkan aku hanya menggunakan bedak tipis-tipis saja tanpa blush on.
"Jangan sungkan untuk meminta apapun padaku. Karena aku suami mu. Kamu bisa mengandalkan ku."
Aku tertegun, menatap Dimas dalam, dalam diam ku.
Benarkah yang aku dengar ini? Dia berkata selayaknya suami yang akan aku dampingi selamanya. Tapi disisi lain aku harus bersiap menghadapi perceraian yang bisa terjadi kapan saja. Walau sebenarnya aku cukup terkesan dan berharap akan ucapannya. Dan sangat bermimpi untuk menjalani pernikahan seumur hidup dengannya.
"Jangan membuat ku terlalu nyaman. Kamu bilang kita akan bercerai tahun depan."
"Begitu kah? Tapi bukankah aku juga bilang tidak begitu yakin? Bisa saja perceraian itu tidak terjadi."
Aku dan Dimas sama-sama diam sesaat. Hanya tatapan kami yang saling beradu pandang. Dan aku ingin memastikan perasaan kami masing-masing lewat tatapannya padaku.
"Jujur kamu membuatku bingung." Ucap ku.
"Maaf, kalau kamu jadi bingung. Aku akan mencobanya."
Aku masih bingung atas ucapannya dan hanya tetap menatapnya dalam diam. Tapi eh...
Dimas meraih jemariku dan menggenggamnya.
"Aku akan mencoba menerimamu dan menjalani pernikahan sebenarnya. Ayo kita mulai dari awal untuk mengenal lebih dekat dan saling mencintai."
"Ya?!"
Aku ternganga. Benarkah yang aku dengar ini? Ini bukan mimpikan?
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
hari ini apes bener arumi.. bertemu org2 ##$$@## dpt tlp dr pamannya yg juga sama2 ##$@##$🙄
suka dgn gaya rumi yg tdk mudah memperlihatkan kelemahannya pd lawan bicara yg pd nyebelin itu..meski dlm hatinya remuk redam... pasti berat bagi rumi dlm situasi yg spt ini.. semangat arumi... semoga semua masalah cpt berlalu n kamu bisa hidup dgn lbh baik kedepannya
kamu yg ninggalin dimas... tp sekarang malah gk tau malu minta balikan... maksudmu piye? jgn takut arumi lawan aja itu si renata.. bkn kamu yg salah.. dia yg ninggalin dimas jd jgn kepengaruh sama renata...
kpn up nya