Suamiku punya dua identitas? Mana yang benar?
Demi adik yang sedang tertidur panjang dalam komanya, Ellena akhirnya memutuskan menerima ajakan menikah dari seorang pria yang paling dia benci. Namun, apakah lelaki itu memang sejahat itu? Seiring berjalannya waktu, Ellena mulai meragukan itu. Akan tetapi, kehadiran sosok Darren yang tak pernah Ellena ketahui keberadaannya selama ini, seketika membuat keraguan Ellena kembali menguap. Mana sosok asli yang sebenarnya dari suaminya? Bima atau Darren?
Selamat datang di dunia percintaan yang bertabur intrik perebutan harta dan tahta!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
"Jadi Andra suka sama Ellena ?". Mata Redi hampir keluar saking terkejutnya setelah mendengar cerita Bima barusan.
Bima tidak menjawab. Hanya terdiam sambil memainkan isi gelas minumnya.
"Wah, ini parah sih ! Gimana bisa Andra naksir sama cewek yang notabene-nya adalah istri sepupu dia sendiri ?". Lanjut Redi dengan wajah serius seolah nampak berpikir.
Namun, sekali lagi Bima hanya diam. Enggan berkomentar apapun untuk sekarang. Kepalanya di penuhi berbagai macam pemikiran yang membuat dia merasa sedikit pusing sehingga enggan menambahnya lagi dengan berkomentar atau menanggapi omongan Redi. Biarkan saja lelaki berkulit coklat dengan wajah khas orang arab itu berceloteh sendiri.
Menyadari bahwa ia sedari tadi hanya berbicara sendiri membuat Redi merasa kesal dan menggebrak meja dengan kedua tangannya.
"Oi, Nyet ! Lo berdua kok kayak patung gitu sih ? Gue ngomong daritadi gak ada yang nanggepin."
Arga menaikkan bahunya cuek. "Sorry, gue gak ikutan bro ! Takut salah ngomong gue kalau masalah se-sensitif ini." Pria berdarah tionghoa itu enggan terlibat juga dalam percakapan ini.
"Ah, gak asik lo ! Padahal ini seru loh ! Jarang-jarang kita lihat si Bima ama Andra berantem." Suara Redi nampak kecewa berat. Pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menyesap minumannya.
"Gue cabut duluan ! Sekali lagi, thanks udah pada dateng." Bima tiba-tiba saja pamit dan langsung pergi dengan buru-buru, tanpa sempat memberi waktu Redi dan Arga untuk berkomentar.
Bima memutuskan kembali ke kamarnya setelah memikirkan bagaimana ekspresi Ellena saat bocah tengil itu melangkah pincang meninggalkannya tadi di ballroom. Saat membuka pintu, pemandangan pertama yang Bima lihat ialah sosok si bocah tengil dengan piyama satin merah maroon dan rambut masih basah yang sedang mengompres kakinya dengan es batu. Bima dapat melihat jelas, bahwa kaki gadis itu benar-benar bengkak dan terlihat memerah.
"Kenapa gak bilang, kalau kaki kamu bengkak begitu ?". Tanya Bima yang kini sudah duduk di kursi samping tempat tidur.
Ellena menengok ke arah Bima sebentar sebelum gadis itu kembali mengompres kakinya tanpa mempedulikan pertanyaan Bima. Tentu saja Ellena masih kesal karena sikap absurd Bima tadi di bawah. Menurut El, haruskah manusia kutub itu berbicara sesarkas itu di depan teman-temannya ? Bagaimana bisa dia menuduh Ellena berselingkuh dengan Andra ? Memangnya Ellena sudah gila ?
"El, saya nanya sama kamu !! Punya telinga nggak sih ?". Oke, sekarang Bima mulai terpancing emosi lagi. Sebenarnya, mau Bima itu apa ? Ellena banyak bicara dia kesal. Ellena tidak bicara dia juga kesal. Dasar pria !
Ellena mendesis galak. "Emang penting ya, saya ngomong ke bapak ? Toh, semua juga karena bapak makanya kaki saya jadi gini."
"Kok saya ?". Protes Bima tak terima.
"Gara-gara heels terkutuk pilihan bapak itu, tuh !." Gerutu Ellena sambil menunjuk sepatunya yang berada di sudut kamar.
"Alah ! Kamunya aja yang norak ! Baru juga pake heels setinggi itu udah bengkak ! Model aja bisa sampai seharian juga gak ada masalah." Kilah Bima cepat, berusaha untuk tidak di salahkan dalam masalah ini.
"Model ya model, Pak ! Saya kan bukan mereka."
Bima diam sejenak. Memperhatikan Ellena yang nampak mulai kelelahan memegangi kompres es batu di kakinya. Detik berikutnya lelaki itu bangkit dan berpindah duduk di tepi ranjang. Ia lantas merebut kompresan dari tangan El lalu mengangkat perlahan kaki gadis itu ke pangkuannya.
"Lain kali, kalo kamu kesakitan kayak gini, bilang ke saya. Jangan ke orang lain." Bima mulai mengompres perlahan kaki Ellena tanpa berniat kontak mata dengan sang pemilik kaki.
Ellena sedikit canggung dengan posisi ini."Gak usah, Pak ! Biar saya sendiri aja." Ucapnya sambil berusaha meraih kembali kompresan dari tangan Bima yang tentu saja langsung ditepis pria itu.
"Biar saya aja. Saya lebih berhak nyentuh kaki kamu daripada monyet tadi."
"Ha ? Monyet ?". Tampang terkejut Ellena benar-benar terlihat menggemaskan sekarang.
"Andra." Bima menjawab singkat , mengerti maksud dari ekspresi bingung Ellena.
"Oh ! Tapi Mas Andra cuma bantuin saya aja kok ! Saya juga gak bakal tahu kalau kaki saya begini seandainya bukan mas Andra yang periksa." Kalimat itu terlontar dengan polosnya dari mulut Ellena. Gadis itu tidak sadar bahwa lelaki di depan nya saat ini sangat tidak suka ia membela Andra di hadapannya.
"Ngapain kamu panggil dia mas, sedangkan saya yang jelas-jelas suami kamu, kamu panggil pak ?Kok seolah-olah saya ini bapak mertua kamu, terus malahan si Andra yang kayak suami kamu disini."
"Ya maaf, namanya juga kebiasaan."
"Mulai sekarang, jangan panggil saya 'pak' lagi."
"Terus saya harus panggil apa ?". Tatapan bertanya Ellena membuat Bima menjadi salah tingkah sekarang. Panggil apa ? Bahkan Bima sendiri bingung, ia mau di panggil apa oleh Ellena.
"Ya terserah kamu ! Asal jangan 'bapak' lagi."
"Apa dong ? Bapak jangan kayak cewek juga yang kalo di tanya jawabnya terserah. Saya gak tau, pak !".
Bima memejamkan matanya, berusaha mengusir emosi yang mulai kembali terbangun. Apa terlalu sulit bagi si bocah tengil untuk mencari panggilan untuknya selain bapak ? Terus, kenapa juga dia bisa dengan gampangnya memanggil Andra dengan panggilan 'mas Andra' lalu terlalu sulit memanggil Bima dengan panggilan lain selain 'bapak dan pak'. Bukankah terlalu tidak adil ?
"Ya terserah kamu, apa aja boleh asal jangan 'pak'."
"Ya udah, saya panggil Mas Bima aja, mau ?". Tanya Ellena malas.
"Nggak ! Saya gak mau panggilan saya sama kayak si monyet itu." Dengan cepat Bima membantah tegas usul El. Bagaimana bisa dia dan Andra memiliki panggilan sama ?.Big No.
"Nggak tau ah,saya pusing ! Kalau gak mau dipanggil mas ya udah. Saya mau tidur aja." Ellena segera mengangkat kakinya dari pangkuan Bima, kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah, masalah pembagian tempat tidur. Tadi, El memang sudah ingin tidur, namun ia kembali bangun ketika baru teringat Bima akan tidur dimana. Ia tidak mau jika harus seranjang dengan Bima. Begitu pun dengan lelaki itu. Tetapi, setelah perdebatan panjang, akhirnya keduanya tetap tidur satu ranjang dengan bantal guling sebagai pembatas di antara keduanya.
"Awas ya pak ! Kalau sampai bapak lewatin pembatas ini, saya gak akan segan buat pukul bapak !". Ancam Ellena sebelum tertidur yang ditanggapi cuek oleh Bima. Lelaki itu hanya berdecak kesal, enggan membalas ucapan El. Lebih baik dia tidur nyenyak daripada harus berdebat kembali dengan bocah tengil ini.
Jam 2 subuh, masalah yang lain kembali datang. Mata Bima masih terbuka lebar menatap langit-langit kamar sambil bergumam dalam hati 'aku batu, aku batu, aku batu'. Kalimat itu ia lafalkan dengan sungguh-sungguh dalam hati. Biar bagaimanapun Bima lelaki normal yang sudah terbiasa tidur dengan banyak wanita. Tetapi malam ini, Bima merasa benar-benar tersiksa. Siapa yang tadi mengancam dia untuk tidak melewati pembatas ? Lihatlah sekarang siapa yang sebenarnya melanggar perjanjian. Jelas bukan Bima.
Ellena yang memang terbiasa tidur sendiri karena tidak bisa berhenti bergerak sedang memeluk erat Bima dengan kaki dan tangan yang sudah melingkar erat di tubuh pria itu. Belum lagi kancing piyamanya yang entah kenapa bisa terbuka dan memperlihatkan sebagian belahan dadanya yang sukses membuat fokus Bima buyar seketika. Akhirnya, Bima menyerah. Ia harus mengakhiri penderitaan ini.
Bima memutuskan mandi air dingin jam 2 subuh gara-gara bocah tengil menyebalkan itu. Hal yang tidak pernah Bima lakukan seumur hidupnya. Ketika ia bisa mendapatkan kepuasan dari wanita mana pun yang ia inginkan, justru ia tidak dapat memperoleh hal itu dari istrinya sendiri. Jika mau, bisa saja ia menyerang Ellena tadi. Toh, tidak ada perjanjian tertulis mengenai hal itu. Jadi, bisa saja Bima menuntut haknya itu sebagai seorang suami mengingat pernikahan mereka sah secara agama dan hukum di luar perjanjian kontrak yang sudah mereka sepakati bersama. Tetapi, Bima tetaplah pria sejati yang memiliki komitmen tinggi terhadap perkataannya sendiri. Ia masih ingat perkataannya pada Ellena dulu, bahwa ia tidak akan pernah sudi mau menyentuh Ellena sedikit pun. Dan sekarang, dibawah guyuran air dingin pada jam 2 subuh dini hari, Bima menyesali perkataannya dahulu.
"Kenapa anak kecil bisa punya tubuh seindah itu sih ?." Gumam Bima lirih.
Sementara si biang masalah dari tindakan Bima mandi subuh-subuh masih bergelung nyaman di dalam selimut tanpa tahu apa-apa sama sekali layaknya bayi kecil polos yang belum mengenal dosa.