Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya sebuah nama
Pradana.
Nama itu bergema bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran dingin yang merambat dari telapak tangannya, naik ke lengan, lalu membekukan jantungnya di tengah satu detak yang terlewat. Di tengah kehangatan aroma kopi dan obrolan sayup-sayup pelanggan, Angkasa berdiri di dunianya sendiri yang tiba-tiba senyap dan beku. Dompet merah muda di tangannya terasa seberat batu nisan.
Kebetulan.
Kata itu muncul di benaknya, sebuah rakit penyelamat yang ia lemparkan ke lautan kepanikan. Tentu saja hanya kebetulan. Pradana adalah nama yang cukup umum. Jakarta adalah kota dengan jutaan manusia. Kemungkinan dua orang dengan nama belakang yang sama sama sekali tidak berhubungan sangatlah besar. Logika berteriak begitu. Namun, instingnya,naluri yang diasah oleh delapan belas tahun kekecewaan, berbisik tentang hal lain. Sesuatu yang lebih gelap, lebih mustahil.
“Mas?”
Sebuah suara menyentaknya. Salah satu pegawai baru menatapnya dengan cemas.
“Mas Angkasa nggak apa-apa? Pucat banget.”
Angkasa mengerjap, menarik napas dengan paksa. Udara terasa berat, seperti baru saja ia muncul ke permukaan setelah tenggelam.
“Nggak apa-apa,” jawabnya, suaranya serak. Ia segera menutup dompet itu, kancingnya berbunyi klik dengan suara yang memekakkan telinga.
“Cuma sedikit pusing.”
Ia harus bergerak. Berpikir jernih. Ia memasukkan dompet itu ke dalam laci di bawah mesin kasir, di tempat barang-barang hilang biasa disimpan. Aman di sana. Tersembunyi dari pandangannya. Ia akan menunggu Mia kembali. Pasti gadis itu akan sadar dompetnya hilang dan kembali ke sini. Ya, itu skenario yang paling masuk akal.
.
.
.
.
.
Satu bulan berlalu lebih cepat dari yang Angkasa duga.
Tembok es di sekeliling hatinya tidak runtuh, tetapi Mia, dengan caranya yang ceria dan tanpa tedeng aling-aling, berhasil menemukan celah-celah kecil untuk menyusupkan kehangatan. Gadis itu kembali keesokan harinya, panik karena dompetnya hilang, dan berubah lega luar biasa saat Angkasa mengembalikannya. Sejak saat itu, sesuatu berubah.
Percakapan mereka tidak lagi terbatas pada pesanan kopi. Mia akan bercerita tentang dosennya yang menyebalkan, tentang tugas akhirnya yang membuatnya ingin mencabut rambutnya sendiri, atau tentang film baru yang baru saja ia tonton.
Angkasa, pada gilirannya, tetap menjadi pendengar yang baik. Ia jarang berbagi, lebih sering melempar pertanyaan balik atau komentar singkat yang sarkastis, tetapi Mia tampaknya tidak keberatan. Gadis itu seolah bisa membaca keheningan Angkasa sebagai sebuah bahasa tersendiri.
Dan nama ‘Pradana’ itu? Angkasa telah berhasil mendorongnya ke sudut terjauh di benaknya, menguburnya di bawah tumpukan rasionalisasi. Itu hanya kebetulan. Titik.
Sore itu, kafe sedang lengang. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang terbawa masuk setiap kali pintu terbuka. Mia duduk di kursinya yang biasa di depan konter, laptopnya tertutup. Ia hanya menatap Angkasa yang sedang mengelap mesin espreso dengan gerakan yang repetitif dan menenangkan.
“Lo tahu nggak,” Mia memulai tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.
“Gue kadang mikir, lo itu kayak kopi hitam tanpa gula.”
Angkasa berhenti mengelap, mengangkat sebelah alisnya. “Maksudnya?”
“Pahit pada awalnya,” Mia tersenyum jenaka.
“Tapi kalau udah kenal, ada rasa lain di baliknya. Kompleks. Bikin nagih.”
Angkasa mendengus pelan, sebuah suara yang nyaris terdengar seperti tawa.
“Itu pujian atau hinaan?”
“Anggap aja dua-duanya,” balas Mia. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan.
“Gue habis teleponan sama nyokap barusan. Beliau khawatir gue kecapekan ngerjain skripsi.”
Sebuah tusukan kecil yang familier terasa di ulu hati Angkasa setiap kali kata ‘nyokap’ disebut. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, menjadikan kain lap sebagai perisai.
“Bokap lo nggak khawatir?” ia bertanya, sekadar untuk menjaga percakapan tetap berjalan, menjauh dari topik yang berbahaya.
“Bokap udah meninggal beberapa tahun lalu,” jawab Mia pelan, senyumnya sedikit meredup.
“Serangan jantung. Makanya nyokap jadi protektif banget. Dia sekarang jadi single parent yang super.”
“Maaf,” gumam Angkasa, merasa canggung.
“Nggak apa-apa, udah lama kok,” Mia melambaikan tangannya, keceriaannya kembali.
“Justru karena itu gue salut banget sama nyokap. Dia itu… panutan gue. Meski ada bokap, tapi dia bisa urus semuanya sendiri. Dia tetap kerja, tetap aktif di kegiatan sosial, tapi nggak pernah sekalipun lupa buat nanyain kabar gue. Masakannya paling enak sedunia, nasihatnya selalu tepat sasaran. Dia itu kayak… paket lengkap.”
Angkasa hanya diam, tangannya terus bergerak memoles baja tahan karat mesin espreso hingga berkilau. Setiap kata pujian yang keluar dari mulut Mia terasa seperti butiran garam yang ditaburkan di atas luka lamanya. Ia membayangkan sosok Laras, ibunya. Apakah Laras juga seperti itu sekarang? Seorang ibu yang sempurna bagi keluarga barunya?
“Dia pasti bangga banget sama lo,” kata Angkasa datar, sebuah kalimat basa-basi yang terasa pahit di lidahnya.
“Gue harap gitu,” Mia tertawa kecil.
“Tapi kadang gue ngerasa belum cukup. Nyokap itu orangnya kuat banget. Gue nggak pernah lihat dia nangis, bahkan waktu bokap kerja jauh
. Dia yang nguatin gue. Dia bilang, ‘Kita harus kuat, Sayang. Demi Papa.’ Gila, kan? Wanita macam apa yang bisa setegar itu?”
Asam lambung terasa naik ke kerongkongan Angkasa. Ia menelan ludah, mencoba mengusir bayangan seorang wanita yang menangis tersedu-sedu saat meninggalkan bocah tujuh tahun di depan gerbang panti asuhan. Wanita yang sama? Tidak mungkin.
“Lo beruntung punya ibu kayak dia,” desis Angkasa, lebih kepada dirinya sendiri.
Mia mengangguk antusias, tidak menangkap nada aneh dalam suara Angkasa.
“Banget! Makanya gue pengin cepat lulus, dapat kerja yang bagus, biar bisa bahagiain dia. Gue mau ajak dia keliling dunia. Itu impiannya dari dulu, tapi selalu tertunda.”
Dunia Angkasa menyempit. Ia teringat janji ibunya.
“Nanti kalau urusan Ibu sudah selesai, Ibu pasti jemput Angkasa lagi. Pas liburan sekolah tiba, Ibu datang lagi ke sini.”
Janji liburan yang ditukar dengan janji keliling dunia. Kebahagiaan Mia, yang begitu tulus dan murni, terasa seperti dibangun di atas puing-puing kebahagiaannya sendiri. Apakah ini harga yang harus ia bayar? Menjadi fondasi yang terlupakan agar orang lain bisa membangun istana mereka?
“Lo kenapa?” Suara Mia terdengar lebih dekat. Angkasa tidak sadar ia telah berhenti bergerak, tangannya mencengkeram kain lap begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Nggak,” jawabnya cepat, memaksakan senyum tipis.
“Cuma lagi mikir. Kopi di gudang kayaknya mau habis.” Sebuah kebohongan yang payah.
Mia menatapnya lekat, matanya menyipit seolah mencoba memecahkan sebuah teka-teki.
“Lo nggak pernah cerita tentang keluarga lo, ya.”
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
“Nggak ada yang menarik buat diceritain,” potong Angkasa, nadanya lebih tajam dari yang ia maksudkan. Ia segera menyesalinya saat melihat ekspresi Mia yang sedikit terkejut.
“Sorry,” kata Mia pelan. “Gue nggak bermaksud—”
“Nggak apa-apa,” Angkasa menghela napas, mencoba melunakkan suaranya.
“Gue… nggak begitu dekat sama mereka.”
Itu adalah kebenaran versi paling sederhana yang bisa ia tawarkan.
Keheningan yang canggung menggantung di antara mereka. Mia tampak merasa bersalah. Ia mulai membereskan barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas.
“Kayaknya gue pulang duluan, deh. Udah sore juga,” katanya, menghindari tatapan Angkasa.
“Mia, tunggu.”
Gadis itu berhenti, menatapnya penuh tanya.
“Maaf,” kata Angkasa tulus.
“Gue nggak bermaksud kasar tadi.”
Mia tersenyum, kali ini senyumnya sedikit dipaksakan.
“Santai aja kali. Gue yang kebanyakan ngomong. Sampai ketemu besok, ya, Mas Kopi Pahit.”
Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Angkasa hanya bisa menatap punggungnya, merasa seperti orang paling brengsek di dunia. Ia baru saja merusak satu-satunya cahaya kecil yang masuk ke dalam hidupnya.
Tiba-tiba, sebuah rasa gatal yang aneh terasa di hidungnya, diikuti oleh pusing yang berputar sesaat. Ia memejamkan mata sejenak, berpegangan pada konter. Mungkin hanya karena ia belum makan siang. Kelelahan biasa.
Ia mengusap hidungnya dengan punggung tangan, sebuah gerakan refleks. Saat ia menarik tangannya, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah. Ia menunduk.
Merah.
Setetes darah pekat menodai punggung tangannya yang pucat. Lalu setetes lagi jatuh, mengenai permukaan konter yang baru saja ia bersihkan, menciptakan noda kecil yang mengerikan.
“Angkasa?”
Suara Mia terdengar dari arah pintu, penuh keterkejutan dan nada panik yang tajam. Ia belum pergi. Ia melihat semuanya.
“Hidung lo…”
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras