NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20: Langkah Pertama di Panti

Guncangan dahsyat akibat ledakan itu melemparkan tubuh Arfan hingga menghantam dinding akar yang lembap. Serpihan kayu yang membara jatuh berhamburan, menciptakan tirai api yang memisahkan mereka dari jalan keluar di atas sana. Hawa panas menyengat mulai memenuhi ruang sempit di bawah lantai rumah panggung tersebut, bercampur dengan bau mesiu yang menusuk hidung.

"Arfan! Kau masih bisa mendengar suaraku?" teriak Baskara sambil berusaha menepis bara api yang menempel di jaketnya.

"Aku di sini, bantu aku berdiri, kakiku terjepit akar!" sahut Arfan dengan suara yang tertahan akibat sesak napas.

"Jangan banyak bergerak, Tuan Arfan, atau kau akan semakin tenggelam dalam lumpur hisap ini," potong Fatimah yang tiba-tiba muncul dari balik kepulan asap.

Fatimah dengan cekatan menggunakan sebilah kayu besar untuk mengungkit akar yang menjepit kaki Arfan. Meski tubuhnya kecil, kekuatan yang lahir dari kepanikan membuatnya mampu menggeser rintangan itu hanya dalam beberapa detik saja. Ia segera meraih lengan Arfan yang tidak terluka dan menariknya keluar dari zona bahaya sebelum sisa bangunan di atas mereka runtuh sepenuhnya.

"Cepat ikuti cahaya senter ini, kita harus keluar ke arah rawa sebelum api menghabiskan oksigen di sini!" perintah Fatimah dengan nada suara yang tidak menerima bantahan.

"Bagaimana dengan perahu kita? Pasti sudah hancur terkena ledakan tadi," tanya Baskara sambil merangkak mengikuti Fatimah.

"Lupakan perahu itu, kita akan berjalan kaki menembus hutan bakau menuju gerbang belakang panti asuhan," jawab Fatimah tanpa menoleh sedikit pun.

Langkah kaki mereka terasa sangat berat karena harus membelah air payau yang setinggi lutut orang dewasa. Arfan berkali-kali hampir terjatuh, namun tangan Fatimah selalu sigap menopang bahunya dengan penuh kekuatan yang mengherankan. Di tengah kegelapan hutan yang pekat, Fatimah seolah-olah memiliki mata yang mampu menembus malam, menuntun mereka menghindari lubang-lubang maut.

"Kau sangat mengenal medan ini, seakan-akan kau sudah merencanakannya sejak lama," gumam Arfan di sela-sela napasnya yang terengah-engah.

"Bukan rencana, Tuan Arfan, tapi insting bertahan hidup yang dipaksa oleh keadaan," sahut Fatimah dengan nada yang dingin namun tetap waspada.

"Insting seorang pengusaha atau insting seorang pelarian yang ketakutan?" cecar Arfan lagi, masih tidak mau melepaskan kecurigaannya.

Fatimah menghentikan langkahnya secara mendadak tepat di depan sebuah pagar bambu yang sudah mulai lapuk dan dipenuhi lumut. Di balik pagar itu, tampak sebuah bangunan tua yang luas dengan cahaya lampu neon yang berkedip-kedip di bagian terasnya. Itulah panti asuhan tempat Fatimah menyembunyikan identitasnya selama ini, sebuah tempat yang kini menjadi benteng terakhir mereka.

"Masuklah lewat pintu dapur, jangan sampai anak-anak terbangun dan melihat keadaan kalian yang berlumuran lumpur," bisik Fatimah sambil membuka kunci gembok pagar.

"Apa kau yakin tempat ini aman? Orang-orang itu pasti akan menyisir sampai ke sini," tanya Baskara sambil memperhatikan sekeliling dengan waspada.

"Mereka tidak akan berani menyentuh panti ini selama Ibu Sarah masih ada di sana, sekarang cepat masuk!" tegas Fatimah.

Begitu mereka masuk ke dalam area panti, suasana berubah menjadi sangat hening dan tenang, kontras dengan kekacauan yang baru saja mereka lalui. Bau harum kayu cendana dan suara samar-samar anak-anak yang mengaji di dalam kamar menciptakan kedamaian yang asing bagi Arfan. Fatimah membawa mereka ke sebuah gudang kecil di belakang dapur yang telah diubah menjadi ruang perawatan sederhana.

"Duduklah di sini, aku akan mengambilkan pakaian bersih dan obat-obatan yang lebih baik," kata Fatimah sambil menyalakan lampu pijar yang redup.

"Fatimah, tunggu sebentar, ada sesuatu yang harus kau jelaskan padaku sekarang juga," tahan Arfan sambil menarik ujung kain cadar Fatimah.

"Penjelasan tidak akan menyembuhkan lukamu, Tuan Arfan. Biarkan aku menjalankan tugasku sebagai tuan rumah terlebih dahulu," tepis Fatimah dengan halus namun tetap berjarak.

Arfan terdiam melihat punggung Fatimah yang menghilang di balik pintu kayu yang berderit nyaring. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang dipenuhi oleh tumpukan beras, buku-buku lama, dan beberapa pakaian bekas yang tertata rapi. Di sudut ruangan, sebuah cermin retak memperlihatkan wajahnya yang kini penuh dengan goresan luka dan tatapan mata yang dipenuhi oleh tanda tanya besar.

"Dia wanita yang hebat, Arfan. Aku belum pernah melihat seseorang setenang itu di tengah ledakan bom," ujar Baskara sambil membuka jaketnya yang robek.

"Ketenangan itu yang membuatku takut, Baskara. Orang biasa akan menangis atau berteriak, tapi dia justru berpikir seperti seorang komandan," balas Arfan.

"Mungkin dia memang sudah terbiasa hidup di antara hidup dan mati, sama seperti kita saat menangani kasus-kasus besar," duga Baskara.

Beberapa menit kemudian, pintu gudang terbuka dan muncul seorang wanita paruh baya dengan wajah yang sangat teduh namun memiliki wibawa yang kuat. Wanita itu mengenakan kerudung lebar dan membawa nampan berisi teh hangat serta perlengkapan medis yang lengkap. Itulah Ibu Sarah, pemilik panti asuhan yang menjadi satu-satunya pelindung Fatimah dari kejamnya dunia luar.

"Selamat datang di panti kami, maaf jika keadaannya sangat sederhana dan jauh dari kemewahan kota," sapa Ibu Sarah dengan senyum yang menenangkan.

"Ibu Sarah? Maaf kami datang dalam keadaan kacau seperti ini dan membawa bahaya ke tempatmu," ucap Arfan sambil berusaha memberikan hormat.

"Bahaya sudah menjadi bagian dari hidup kami di sini, Nak. Fatimah sudah menceritakan semuanya, sekarang biarkan aku melihat lukamu," balas Ibu Sarah.

Saat Ibu Sarah mulai mengobati bahu Arfan, Fatimah kembali masuk dengan mengenakan pakaian yang berbeda, meski tetap dengan cadar yang menutup wajahnya. Ia membawakan dua stel pakaian koko sederhana untuk Arfan dan Baskara agar mereka bisa mengganti pakaian lumpur mereka. Gerakan Fatimah kini terasa lebih santun dan rendah hati, sangat berbeda dengan sosok yang tadi berdiri gagah di tengah hutan bakau.

"Terima kasih atas pakaiannya, Fatimah. Maaf jika aku tadi terlalu kasar dalam bertanya," ucap Arfan dengan nada yang mulai melunak.

"Tidak apa-apa, Tuan Arfan. Aku mengerti bahwa keadilan memang membutuhkan banyak pertanyaan untuk bisa ditegakkan," jawab Fatimah sambil meletakkan pakaian itu di meja.

"Apakah kau akan tetap berada di sini? Maksudku, setelah semua yang terjadi malam ini?" tanya Arfan dengan tatapan yang penuh harap.

Fatimah terhenti sejenak, ia menatap ke arah jendela yang memperlihatkan langit malam yang mulai memucat karena fajar akan segera tiba. Ia tahu bahwa tinggal di panti asuhan ini bukan lagi pilihan yang aman, namun pergi sekarang juga berarti membiarkan Arfan kehilangan satu-satunya saksi kuncinya. Dilema besar menghantam hatinya, antara menjaga keselamatan diri sendiri atau membantu pria yang sedang memperjuangkan kebenaran Luna.

"Tempat ini adalah rumahku, dan aku tidak akan pergi sebelum semua urusanku di dunia ini selesai," jawab Fatimah dengan nada yang sangat yakin.

"Urusan apa yang kau maksud? Apakah itu ada hubungannya dengan keluarga Al-Fahri?" desak Arfan yang kembali merasakan percikan informasi baru.

"Ibu, tolong selesaikan pengobatannya. Aku harus menyiapkan sarapan untuk anak-anak sebelum mereka berangkat sekolah," elak Fatimah sambil bergegas keluar dari gudang.

Ibu Sarah menghela napas panjang melihat kepergian Fatimah yang selalu saja menutup diri jika menyangkut masa lalunya. Ia menoleh ke arah Arfan dan memberikan sebuah isyarat melalui tatapan matanya agar pria itu tidak terlalu keras dalam mengejar jawaban. Bagi Ibu Sarah, Fatimah adalah bunga yang tumbuh di atas aspal yang keras, butuh kelembutan untuk bisa melihat keindahan kelopaknya yang sesungguhnya.

"Jangan dipaksa, Nak Arfan. Luka di hatinya jauh lebih dalam daripada luka di bahumu itu," bisik Ibu Sarah sambil merapikan perban Arfan.

"Aku hanya ingin membantunya, Bu. Aku merasa dia adalah kunci dari semua kegelapan yang sedang aku hadapi," balas Arfan dengan suara yang rendah.

"Membantu berarti menunggu. Jika kau benar-benar ingin tahu siapa dia, maka jadilah orang yang bisa dia percayai tanpa syarat apa pun," nasihat Ibu Sarah.

Pagi hari di panti asuhan dimulai dengan suara riuh rendah anak-anak yatim yang sedang mempersiapkan diri untuk memulai kegiatan sehari-hari mereka. Arfan yang sudah berganti pakaian koko putih melangkah keluar ke teras panti, menghirup udara pagi yang segar namun masih menyisakan aroma asap ledakan. Di tengah halaman, ia melihat Fatimah sedang membagikan nasi bungkus kepada anak-anak dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

"Satu per satu, jangan berebut ya. Masih banyak kok di dapur untuk kalian semua," ucap Fatimah dengan suara lembut yang membuat anak-anak itu tertawa riang.

"Kak Fatimah, kenapa matanya merah? Apa semalam Kakak tidak tidur?" tanya salah satu anak kecil sambil menarik ujung kain Fatimah.

"Kakak hanya sedang kelelahan karena harus menemani tamu istimewa kita semalam, sekarang ayo makan yang lahap," jawab Fatimah sambil mengusap kepala anak itu.

Arfan terpaku di tempatnya berdiri, hatinya tersentuh melihat sisi lain dari wanita misterius yang semalam hampir mengancam nyawa pengejarnya. Ketulusan yang terpancar dari setiap gerakan Fatimah saat melayani anak-anak itu membuatnya sadar bahwa ada kebaikan murni yang tidak bisa dipalsukan. Ia mulai meragukan semua prasangka buruknya dan bertanya-tanya apakah ia memang sudah menemukan seseorang yang sangat berharga.

"Dia sangat mencintai anak-anak itu, seolah-olah mereka adalah dunianya yang paling nyata," ujar Baskara yang tiba-tiba muncul di samping Arfan.

"Ya, dan anak-anak itu juga sangat mencintainya. Dia bukan sekadar pengasuh bagi mereka, dia adalah pelindung," sahut Arfan dengan nada yang penuh kekaguman.

"Tapi ingat Arfan, perlindungan itu juga bisa menjadi beban jika musuh mengetahui tempat ini. Kita harus segera membuat rencana baru," peringat Baskara.

Saat matahari mulai naik dan menyinari seluruh area panti, sebuah mobil hitam mewah tiba-tiba berhenti tepat di depan gerbang kayu yang baru saja diperbaiki semalam. Dari dalam mobil, turunlah seorang pria mengenakan kacamata hitam dengan setelan jas rapi yang tampak sangat kontras dengan lingkungan panti yang sederhana. Arfan dan Baskara segera bersiap dengan posisi waspada, menyadari bahwa ketenangan mereka mungkin akan berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan.

"Siapa pria itu? Apakah dia salah satu anak buah dari kelompok rawa semalam?" bisik Baskara sambil meraba saku belakangnya.

"Bukan, aku kenal pria itu. Dia adalah Haikal, asisten pribadi dari keluarga Al-Fahri yang paling aku benci," jawab Arfan dengan wajah yang mendadak mengeras.

"Haikal? Apa yang dia lakukan di sini pagi-pagi sekali?" tanya Baskara dengan penuh kecurigaan yang mendalam.

Haikal melangkah masuk ke dalam panti dengan gaya yang sangat sombong, matanya menyisir setiap sudut halaman hingga akhirnya berhenti pada sosok Fatimah. Fatimah yang menyadari kehadiran tamu tidak diundang itu segera menyuruh anak-anak masuk ke dalam rumah dan berdiri tegak menghalangi jalan Haikal. Suasana yang tadinya penuh tawa dan kedamaian kini berubah menjadi sangat tegang dan penuh dengan aura permusuhan yang nyata.

"Jadi di sini kau bersembunyi selama ini, Zahra? Sangat menyedihkan melihatmu tinggal di tempat kumuh seperti ini," ucap Haikal dengan nada menghina yang sangat kental.

"Namaku Fatimah, dan tempat ini lebih mulia daripada istana penuh dosa yang kau tempati, Haikal," balas Fatimah dengan suara yang tegas dan berani.

"Jangan bermain peran denganku, Bos sudah tidak sabar untuk membawamu pulang dan menyelesaikan semua masalah warisan ini," gertak Haikal sambil melangkah lebih dekat.

Arfan tidak tinggal diam, ia segera melompat turun dari teras dan berdiri tepat di samping Fatimah, menantang tatapan Haikal dengan keberanian seorang pengacara. Ia tahu bahwa konfrontasi ini akan menjadi pembuka dari perang besar yang selama ini ia hindari, namun ia tidak akan membiarkan Fatimah menghadapi monster itu sendirian. Baskara juga sudah bersiap di posisi yang strategis untuk memberikan bantuan jika situasi berubah menjadi adu fisik.

"Dia berada di bawah perlindunganku sekarang, Haikal. Jadi sebaiknya kau angkat kaki dari sini sebelum aku melaporkanmu ke polisi," ancam Arfan.

"Perlindunganmu? Kau sendiri hanyalah seorang pengacara pecundang yang bahkan tidak bisa menyelamatkan istrimu sendiri," ejek Haikal sambil tertawa meremehkan.

"Jaga bicaramu! Kau tidak punya hak untuk menyebut nama Luna di tempat suci ini!" teriak Arfan yang emosinya mulai terpancing meledak.

Haikal tidak menggubris kemarahan Arfan, ia justru mengeluarkan sebuah amplop cokelat besar dan melemparkannya ke tanah, tepat di depan kaki Fatimah yang terbungkus sandal lusuh. Di dalam amplop itu terdapat beberapa foto dan dokumen yang tampaknya sangat rahasia, membuat wajah Fatimah yang tertutup cadar tampak sangat terkejut melalui sorot matanya. Kebenaran yang selama ini terkubur kini mulai mencuat ke permukaan melalui selembar kertas yang jatuh di atas tanah berdebu panti asuhan.

"Lihatlah baik-baik foto itu, Zahra. Apakah kau masih berani mengaku sebagai orang suci setelah melihat apa yang ayahmu lakukan?" tanya Haikal dengan senyum kemenangan.

"Apa maksud semua ini? Foto apa yang kau bicarakan, Haikal?" tanya Arfan yang mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini.

"Tanya saja pada calon istrimu yang tercinta ini, Arfan. Dia menyimpan rahasia yang jauh lebih berdarah daripada yang bisa kau bayangkan," jawab Haikal sambil berbalik menuju mobilnya.

Fatimah gemetar hebat saat jarinya menyentuh salah satu foto di dalam amplop itu, sebuah bukti masa lalu yang bisa menghancurkan sisa-sisa harapannya di hadapan Arfan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!