menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 20:kelas sihir dan teman baru yang beban
Akademi Agreta — Kelas 10(1)
Koridor akademi Agreta pagi itu dipenuhi langkah kaki para murid berseragam rapi. Cahaya matahari menembus jendela tinggi, memantulkan kilau pada lambang bangsawan yang tersemat di dada mereka.
Lucyfer Iglesias berjalan dengan langkah tenang.
Seragam pelajar Agreta membalut tubuhnya dengan pas, jubah pendek berwarna gelap menjuntai di belakang punggungnya. Wajahnya datar, tatapannya dingin—seperti biasa. Ia memasuki kelas 10(1), kelas khusus bagi murid yang tinggal di asrama bangsawan.
Ia duduk di bangku dekat jendela.
Di sampingnya, Elviera mengambil tempat. Wajahnya tetap dingin, sikapnya profesional seperti pelayan setia. Namun di balik ekspresi datarnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada keinginan yang tak pernah ia ucapkan—keinginan untuk Lucyfer memperhatikannya, meski hanya sedikit.
Lucyfer tak menyadarinya. Atau mungkin… ia memilih tak peduli.
Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka.
Seorang guru dengan jubah hijau tua melangkah masuk sambil membawa beberapa kotak kristal dan botol kaca.
Guru itu tersenyum tipis.
“Baiklah, murid-murid,” ucapnya.
“Hari ini kita tidak hanya belajar teori.”
“Kita akan praktik biologi sihir.”
Kelas langsung ramai.
“Kalian akan berpasangan,” lanjut sang guru.
“Silakan pilih tim kalian.”
“Satu tim berisi tiga orang.”
Guru itu meletakkan alat-alat di meja depan lalu berbalik.
“Aku akan mengambil bahan tambahan. Silakan tentukan kelompok kalian.”
Begitu guru keluar, kelas langsung riuh.
Murid-murid bangsawan segera membentuk kelompok mereka—beberapa dengan percaya diri, beberapa dengan tergesa.
Elviera refleks menoleh ke arah Lucyfer, ingin memastikan mereka satu tim.
Namun—
Lucyfer sudah berdiri.
Tanpa berkata apa pun, ia berjalan menjauh dan berhenti di depan dua murid lain.
Toma Ansel dan Alven Draven.
Elviera membeku di tempat.
Dadanya terasa sesak.
"tu… Tuan muda Lucyfer"
Sylvara menarik Elviera
"ayo kita satu tim dengan gadis berambut pink itu"
Dengan raut wajah yang tetap datar, ia menoleh ke arah lain. Tak lama kemudian, ia membentuk tim bersama Sylvara dan Klee—meski jelas, pikirannya tak sepenuhnya ada di sana.
Sementara itu, di meja lain—
Guru kembali masuk dan mulai menjelaskan.
“Tugas kalian,” ucapnya,
“adalah membuat ramuan pemulih stamina dan energi sihir.”
“Ramuan ini biasa digunakan oleh penyihir lapangan.”
Ia menunjuk ke bahan-bahan.
“Kesalahan kecil bisa membuat ramuan gagal total.”
Begitu guru menjauh, Toma langsung panik.
“HAAAA?!”
“Yang ini dulu apa yang itu dulu?!”
“Aduh gw bingung!” ucapnya sambil memegang botol kaca.
Alven langsung membentak.
“OI TOMA!”
“LU OTAK DIPAKAI DIKIT!”
“KALAU GAGAL NILAI KITA HANCUR, TAU?!”
“Eh eh santai dong alven!” Toma membalas panik.
Lucyfer tak ikut berbicara.
Tangannya bergerak tenang.
Ia mengambil kristal hijau, menakar bubuk akar mana, lalu menuangkan cairan biru perlahan. Matanya fokus, ekspresinya kosong. Namun di balik ketenangan itu, ada kesedihan lama—perasaan seorang adik yang selalu hidup di bawah bayangan kakaknya.
Saat Toma salah menuang bahan, Lucyfer langsung meraih botol itu.
Tanpa komentar.
Tanpa menatap.
Ia memperbaiki kesalahan itu dengan cepat.
Toma melongo.
“WAAAH—”
“Lucyfer, gila, kau jenius!”
“Makasih ya udah gendong gw sama Alven yang beban ini!” katanya sambil
mengacungkan jempol, matanya berbinar.
“HAAA?!”
“SIAPA YANG LU BILANG BEBAN?!” teriak Alven, urat lehernya menegang.
Lucyfer akhirnya bicara.
“Kalian berdua,” ucapnya dingin,
“memang tak berguna.”
“Syukurlah aku tidak satu asrama dengan kalian.”
Suasana meja langsung panas.
Alven nyaris meledak, Toma buru-buru menahan bahunya.
Namun Toma justru mendekat ke Lucyfer.
Ia merasakan sesuatu.
Aura Lucyfer… dingin. Terlalu dingin untuk anak seusianya.
“Lucyfer,” kata Toma pelan,
“aku bantu ya.”
Lucyfer menoleh perlahan.
“Kenapa kau menatapku seperti itu, Toma Ansel?” tanyanya tajam.
Toma terkekeh kecil, lalu matanya membesar.
“Eh—”
“Tunggu…”
“Nama belakangmu Iglesias?”
“LU ADIKNYA ELICE IGLESIAS?!”
Lucyfer tak terkejut.
“Kalau iya,” katanya singkat,
“kenapa?”
“Wahhh!” Toma berseru antusias.
“Pasti enak ya!”
“Bangsawan, pangeran pula!”
“Hidup lu udah pasti nikmat sekali!”
Namun senyum Toma perlahan memudar.
“Tapi…”
“Aneh.”
Ia menatap Lucyfer lebih dalam.
“Aku ngerasa…”
“kau kecewa banget.”
“Sedih banget.”
“Ada apa sebenarnya?”
Tangan Lucyfer berhenti.
Botol ramuan di tangannya dibanting ke meja.
DUKK.
Semua murid menoleh.
Lucyfer berdiri.
“Bu guru,” ucapnya dingin,
“ramuanku sudah selesai.”
Sebelum ada jawaban—
TENKKK—TENKKK—TENKKK.
Lonceng berbunyi.
Lucyfer langsung berbalik dan keluar kelas.
Sendirian.
Langkahnya cepat.
Dadanya panas.
Kemarahan dan luka lama kembali bergejolak.
Di balik punggungnya—
kelas kembali sunyi.
Dan untuk pertama kalinya, beberapa murid mulai menyadari:
Lucyfer Iglesias bukan hidup dalam kemewahan.
Ia hidup… dalam bayangan kakak nya.