NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Adik Ketiga Dan Pemberontakannya

Aku mulai menyadari perubahan Dimas sejak beberapa minggu setelah perceraian Ayah dan Ibu resmi diputuskan. Awalnya hanya hal kecil ia jadi lebih sering pulang larut, lebih jarang berkumpul di ruang tengah, dan lebih banyak mengurung diri di kamar dengan pintu tertutup rapat.

Dimas yang dulu hangat, cerewet, dan selalu jadi penengah antara Laras dan Raka, kini berubah jadi seseorang yang mudah tersulut emosi. Setiap kata terasa seperti serangan baginya. Setiap perhatian dianggap sebagai tekanan.

“Dia kenapa, Kak?” tanya Raka suatu sore saat Dimas membanting pintu kamarnya.

Aku hanya menggeleng pelan. “Lagi capek mungkin.”

Tapi aku tahu, ini bukan sekadar capek.

Hari itu, aku sengaja datang ke rumah Ibu lebih awal. Laras sedang duduk di sofa dengan wajah cemas, memeluk lututnya.

“Dimas izin nggak pulang semalam,” katanya pelan.

Dadaku langsung terasa sesak. “Ke siapa?”

“Katanya sama teman.”

Aku menghela napas berat. Sejak kapan Dimas terbiasa menghilang tanpa kabar?

Sore menjelang malam, pintu akhirnya terbuka. Dimas masuk dengan wajah lelah, jaketnya berbau asap rokok. Aku menatapnya tanpa bicara. Ia pun langsung menghindari tatapanku dan berjalan menuju kamar.

“Dim!” panggilku.

Ia berhenti, tapi tidak berbalik. “Apa lagi, Kak?”

“Kamu ke mana semalam?”

Hening beberapa detik sebelum ia menjawab singkat, “Main.”

“Main sampai nggak pulang?”

Ia mendengus. “Kenapa sih semua harus ditanya? Aku bukan anak kecil!”

Nada suaranya meninggi. Laras yang mendengar dari ruang tengah langsung berdiri.

“Kami cuma khawatir,” ucap Laras.

“Khawatir atau mengatur?” balas Dimas tajam.

Aku melangkah mendekat. “Dimas, kamu berubah.”

Ia akhirnya menoleh, matanya merah, entah karena lelah atau emosi. “Iya. Aku berubah. Terus kenapa?”

“Kamu bukan Dimas yang dulu.”

Ia tertawa kecil, hambar. “Yang dulu itu ada karena rumah kita masih ada. Sekarang semuanya sudah hancur, Kak.”

Kalimat itu menghantamku tanpa ampun. Ia melanjutkan dengan suara bergetar, “Ayah di rumah sendirian. Ibu menikah lagi. Kakak sibuk dengan suami. Laras sibuk dengan kandungannya. Terus aku harus jadi apa?”

Tak ada yang langsung bisa menjawab. Semua diam.

“Aku capek jadi anak yang harus selalu ‘ngertiin keadaan’,” lanjutnya. “Sekarang biarin aku hidup dengan caraku sendiri.”

Ia masuk ke kamar dan kembali membanting pintu.

Malam itu, aku tak bisa tidur. Bayangan wajah Dimas terus muncul di kepalaku. Dimas kecil yang selalu menggenggam tanganku saat hujan. Dimas remaja yang dulu menangis di bahuku saat nilai matematikanya jelek. Dimas yang selalu bilang, “Tenang, Kak. Aku ada.”

Sekarang justru dia yang berjalan sendirian.

Beberapa hari kemudian, masalah itu benar-benar berubah menjadi ledakan.

Aku mendapatkan telepon dari nomor tak dikenal saat sedang di kontrakan bersama Ardi.

“Ini dengan keluarga Dimas?” suara seorang pria di seberang sana terdengar berat.

“Iya… saya kakaknya.”

“Adik Anda sedang berada di kantor polisi. Terlibat perkelahian.”

Dunia rasanya berhenti berputar. Tanganku gemetar memegang ponsel.

Aku bahkan tak ingat bagaimana caraku sampai ke kantor polisi malam itu. Yang jelas, saat aku melihat Dimas duduk di bangku panjang dengan bibir sobek dan mata bengkak, dadaku seperti diremas.

“Apa yang kamu lakukan, Dim…?” bisikku.

Ia tidak menatapku. “Berantem.”

“Dengan siapa?”

“Teman,” jawabnya singkat.

Tapi aku tahu, itu bukan sekadar perkelahian biasa. Ada api besar yang sedang membakar dirinya dari dalam.

Saat kami keluar dari kantor polisi hampir tengah malam, Dimas berjalan di depan tanpa bicara. Aku mengikuti dari belakang, ingin marah, ingin menangis, ingin memeluknya sekaligus.

“Kalau ini caramu teriak minta didengar,” kataku lirih di parkiran, “kamu salah, Dim.”

Langkahnya terhenti.

“Aku nggak minta didengar,” katanya datar. “Aku cuma capek pura-pura kuat.”

Dan di situlah aku sadar ini bukan sekadar pemberontakan. Ini adalah luka yang terlalu lama dipendam.

Sejak malam di kantor polisi itu, Dimas tidak langsung berubah menjadi lebih tenang seperti yang aku harapkan. Justru sebaliknya. Ia semakin menarik diri, semakin dingin, dan semakin keras pada dunia.

Ia tetap berangkat kerja, tapi pulangnya selalu larut. Bila dulu ia masih sempat makan bersama kami, sekarang ia memilih makan di luar. Duduk bersama keluarga hanya menjadi pemandangan langka yang canggung.

Suatu sore, aku memberanikan diri datang ke rumah Ayah.

Rumah itu kini benar-benar sunyi. Tidak ada suara televisi, tidak ada aroma masakan, tidak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ada. Ayah duduk di teras dengan rokok di tangan, menatap kosong ke jalan.

“Ayah,” sapaku lirih.

Ia menoleh sebentar lalu tersenyum tipis. “Kamu datang, Alya.”

Aku duduk di sebelahnya. Hening lama menyelimuti kami sebelum akhirnya aku membuka suara.

“Dimas semakin jauh, Yah.”

Ayah mengembuskan asap rokoknya perlahan. “Aku tahu.”

“Kenapa Ayah nggak menemuinya?”

“Aku takut,” jawabnya pelan.

Kata itu membuat dadaku seperti diremas. Tak pernah aku bayangkan, laki-laki sekuat Ayah bisa mengucapkan kata takut.

“Aku takut dia membenciku,” lanjutnya. “Takut kehadiranku justru membuat dia semakin hancur.”

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. “Tapi dia anak Ayah.”

Ayah terdiam lama, lalu mengangguk kecil. “Justru karena itu.”

Malam itu aku pulang dengan perasaan semakin berat. Ayah menyendiri karena merasa bersalah. Dimas menjauh karena merasa ditinggalkan. Dan kami semua berdiri di tengah tanpa tahu harus menarik siapa lebih dulu.

Beberapa hari setelah itu, pemberontakan Dimas mencapai titik yang membuat kami benar-benar tak siap.

Aku menerima telepon dari Laras dengan suara panik. “Kak… Dimas nggak pulang lagi. Sejak semalam. Handphone-nya mati.”

Aku langsung datang. Raka mondar-mandir gelisah di ruang tamu. Ibu duduk dengan tangan gemetar, matanya merah.

“Kita lapor polisi?” tanya Ibu.

“Belum,” jawabku tegas. “Aku cari dulu ke teman-temannya.”

Kami menyusuri satu per satu tempat yang mungkin ia datangi. Bengkel tempat ia bekerja, rumah teman lamanya, sampai warung kopi yang biasa ia singgahi. Semuanya nihil.

Malam hampir berganti pagi ketika akhirnya aku menemukannya.

Dimas duduk di pelataran sebuah minimarket, jaketnya kusut, wajahnya lelah, matanya kosong menatap aspal.

Aku langsung memeluknya tanpa bicara.

Ia diam saja di pelukanku. Tidak melawan. Tidak juga membalas.

“Kamu bikin semua orang panik,” bisikku sambil menahan tangis.

“Aku cuma pengen sendiri,” katanya pelan.

“Kamu nggak pernah sendiri, Dim,” ujarku tegas. “Tapi kamu memilih berjalan sendirian.”

Ia akhirnya menangis.

Tangis yang berbeda dari biasanya tanpa isak keras, tanpa suara, hanya bahu yang bergetar pelan. Aku memeluknya lebih kuat, membiarkan semua yang ia tahan selama ini jatuh di pelukanku.

“Aku kehilangan rumah, Kak,” katanya di sela napas terputus. “Aku kehilangan Ayah di rumah. Kehilangan Ibu di dapur. Kehilangan kita semua.”

Aku terdiam.

“Kalian semua masih punya tempat untuk pulang. Aku nggak.”

Kalimat itu menembus dadaku seperti pisau.

“Kamu selalu punya rumah,” jawabku akhirnya. “Bersama kami.”

Ia menggeleng. “Nggak semua rumah berdinding, Kak. Kadang rumah itu perasaan.”

Aku mengerti. Terlambat, tapi kini aku benar-benar mengerti.

Kami pulang menjelang subuh. Ibu langsung memeluk Dimas sambil menangis. Raka yang biasanya keras kini terisak. Laras menatap adik ketiganya dengan mata penuh luka.

Sejak malam itu, Dimas tidak langsung kembali menjadi seperti dulu. Tapi ia mulai berhenti melarikan diri. Ia mulai duduk di ruang tengah lagi meski hanya diam. Ia mulai pulang sebelum tengah malam. Ia mulai menyapa Ayah lewat pesan singkat, meski belum berani bertemu.

Dan aku tahu, itu adalah langkah kecil yang sangat besar.

Aku belajar satu hal dari Dimas: Tidak semua pemberontakan lahir dari kenakalan. Sebagian justru lahir dari luka yang tak pernah punya tempat untuk diucapkan.

Dan sejak saat itu, aku semakin sadar retakan dalam keluarga ini belum selesai diperbaiki. Kami hanya baru mulai mengumpulkan kepingannya satu per satu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!