Jati memutuskan berhenti bekerja sebagai Mafia misterius bernama Blood Moon. Organisasi bayangan dan terkenal kejahatannya dalam hal hal kekayaan di kota A.
Namun Jati justru dikejar dan dianggap pengkhianat Blood Moon. Meski Jati hanya menginginkan hidup lebih tenang tanpa bekerja dengan kelompok itu lagi justru menjadikannya sebagai buronan Blood Moon didunia bawah tanah.
Sekarang Jati menjalani hidup seperti orang normal seperti pada umumnya agar tidak berada dibayang bayang kelompok tempatnya mengabdi dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Bekerja
Di Mansion megah itu.
Tampak David duduk santai dikursi santai miliknya, dipagi hari ini dia menyempatkan diri bersantai sebelum berangkat ke kantor.
Dia mengangguk ngangguk, puas dengan kinerja para pelayan, penjaga, tukang kebun, bahkan tukang bersih taman halaman rumah.
David menikmatinya dengan santai mengawasi para pekerjanya.
Namun tidak lama.
"Tuan, didepan ada tuan Jati... katanya dia bingung bekerja sebagai apa?"
Tarno datang sambil menyampaikan pesan Jati di depan gerbang Mansion.
David terhenti menyesap kopinya. Dirinya juga bingung memperkerjakan apa mantan Mafia itu. Tidak mungkin juga Jati menjadi bagian pegawai Klirat Moon, yang ada malah bangkrut.
"Orang itu benar benar menepati perkataannya."
Gumam David sambil berfikir keras dan mencari cara agar Jati tidak membuat masalah bagi bisnisnya.
Tidak lama David menemukan ide yang cemerlang.
"Kau mulai sekarang kembali bekerja di kantor sebagai penjaga dan Viona sebagai rekanmu."
Lalu David menambahkan.
"Biar Jati yang menggantikan pekerjaanmu"
Tarno menghela nafas lega karena akhirnya ini dia yang dia tunggu.
Setelah beberapa kali hampir mati karena putri tuan David itu hampir hilang. Tarno begitu gelisah karena menurutnya tugasnya itu sangatlah berbahaya.
Beruntung hari ini dirinya bebas dari pekerjaan itu. Tarno tertawa didalam hati.
"Hahaha, mati kali ini kau tuan Jati"
Lalu Tarno bergegas menuju gerbang Mansion.
--
Tampak Jati berpakain jaz rapi ya meski tidak terlalu mewah, Itupun jaz yang dia ambil dari toko pakaian yang pemiliknya sedang lengah.
Jati tidak terlalu peduli, dia adalah mantan Mafia jadi sifatnya terkadang sulit dihilangkan termasuk mencuri barang yang tak seberapa.
"Menarik, bahkan Mansion ini jauh lebih mewah dari Mansionku di dunia bawah tanah?"
Jati kagum melihat rumah besar milik David.
Mungkin jika saja dia tidak berhenti menjadi Mafia. Mansion didepannya itu sudah dia beli sama pelayan pelayannya sekaligus.
Sayangnya bubur sudah menjadi nasi. Jati menghela nafas kasarnya.
"Tuan David meminta anda menemuinya didalam Mansion, sepertinya anda mendapatkan pekerjaan baru"
Tarno tiba dan langsung saja mempersilahkannya masuk kedalam Mansion.
Jati mengangguk mantap, lalu berjalan santai sesekali bersiul.
"Eh, tunggu"
Tiba tiba Jati mendadak berhenti.
"Ada apa tuan?"
Tarno bingung dan semakin tidak sabar melihat Jati dimarahi tuannya.
Jati menunjuk kearah motor Supra miliknya yang terparkir ditepian jalan.
"Kau bawalah masuk motorku itu kedalam Mansion"
Setelah berucap Jati bergegas masuk kedalam Mansion yang terkenal akan kemegahannya itu.
Tarno mengeram kesal.
"Motor tua ini seharusnya dibuang saja bukan malah merepotkanku saja"
Tarno mengangguk mengerti tapi dia justru menendang motor butut itu, lalu memarahinya.
Tarno kesal mengapa motor butut ini tidak bisa terjatuh meski ditendang berulang kali.
"Motor tua sialan"
Saat Tarno hendak memukul motor Supra butut milik Jati itu tiba tiba saja dia menegang.
"Whussh!
Bayangan seorang kakek tua bungkuk menatapnya dari seberang jalan. Matanya melotot tidak senang melihat motor warisan darinya itu hendak dihancurkan.
"Ha- hantu"
Tarno bergegas membawa motor butut Jati memasuki Mansion dan tidak lupa mengunci gerbang agar hantu itu tidak ikut masuk.
Sedangkan kakek tua bungkuk itu mengelus jenggotnya.
"Pewaris tidak berguna"
Kutuk pak Jono memaki Jati yang asal tinggal saja motor kesayangannya.
Tapi karena motor butut itu bukan lagi miliknya, pak Jono hanya bisa menjaganya saja saat pewarisnya berkeliaran.
Lalu pak Jono menghilang begitu saja... meninggalkan hawa dingin yang perlahan lahan hilang.
--
Dimana Jati duduk berseberangan dengan David.
Keduanya saling diam dan menatap permusuhan. Kopi yang disediakan pelayan mulai mendingin.
Semua pelayan Mansion dari yang senior hingga junior bahkan Tarno ikut menyaksikan duel itu. Mantan Mafia sepertinya memikiki rencana licik dan tuan mereka sepertinya tidak mau dipermainkan oleh rencana licik Jati.
"Sialan, umurnya bahkan tidak lebih sama saja denganku dan tidak mungkin memperkerjakan orang ini menjadi Bodyguard Cila?"
David berkata didalam hati.
Pria itu ragu ragu sebab Jati sangat tidak cocok mengawal putrinya. Jika muda barulah dia setuju, masalahnya orang didepannya ini umurnya sama dengannya.
"Ah ya aku lupa membawa perlengkapan lamaran kerjanya?"
Jati berusaha tetap tenang, namun didalam hati dia panik.
Tidak lama terdengar suara yang tidak asing bagi Jati. Lalu pria mantan Mafia itu menoleh ke sumber suara.
"Om Jati"
Sapa Cila dengan sumringah menghampirinya, Cila mengenakan seragam sekolahnya dan penampilan yang begitu cantik.
Jati terdiam melihatnya... bukan karena tergoda namun teringat masa sekolahnya dulu.
"Andai saja aku tidak nakal waktu sekolah, mungkin aku bisa menjadi CEO?"
Jati menyesal, dia menyesal lantaran memilih bergabung dengan Mafia dengan bisnis gelapnya.
"O- om kenapa melihatku seperti itu?"
Cila menundukkan wajahnya yang memerah malu.
Dia mendadak salah tingkah ditatap lama oleh cowok tua itu. Cila yakin jika om Jati terpesona melihat kecantikan dan kegemasannya.
Cila menjadi malu malu sendiri.
"Apa apaan ini?"
David melotot kearah Jati.
Baru sehari dia bekerja sudah membuat putrinya terkena peletnya. David harus bisa mencegah putrinya jauh jauh dari mantan Mafia yang jahat itu pada masanya.
"Tidak, aku tidak melihat apa apa"
Jati bergegas mengalihkan pandangan karena David sejak tadi memelototinya.
Cila mengamati wajahnya dengan seksama, gadis itu yakin dia pasti berbohong.
"Hmm?"
Jati menggaruk kepalanya sedikit gatal, mungkin ada kutunya.
"Sumpah, aku gak melihat"
Jati memejamkan matanya agar Cila tidak terus terusan menatapnya.
"Bohong, om kayaknya kagum ya sama Cila karena Cila cantik?"
"Uhuk, Uhuk"
David menyemburkan kopinya saat hendak meminumnya...wajahnya memadang putrinya itu.
"Mungkin"
Jati tersenyum kecil saja karena David sepertinya bersiap mengeluarkan Katana miliknya.
"Kok mungkin sih om... harusnya iya dong?"
Cila cemberut dan menyilangkan kedua tangan didadanya.
"Kalau om gak mau bilang Cila cantik, aku nangis nih"
Ancam Cila dengan merubah matanya menjadi berkaca kaca.
Jati menoleh kearah David. Tampak pria itu mengasah Katananya.
"Iya, iya-- Cila cantik kok"
Buru buru Jati berucap takut Cila menangis karena bisa saja David menyembelihnya hidup hidup.
"Makasih om pujiannya"
Cila sedikit menunduk karena wajahnya lagi lagi memerah malu malu mendengar pujian om Jati.
David yang sejak tadi sibuk mengasah Katananya, lalu dia menoleh kearah Jati.
"Ini kuncinya"
David melempar kasar kunci mobil kearah Jati. Dia geram melihat putrinya bisa bisanya kepincut sama orang itu.
"Baiklah"
Jati menangkap kunci mobil itu, dia hanya mengangguk kecil saja.
Lalu David memandang Cila yang sibuk memperhatikan Jati itu.
"Sana berangkat sekolah"
Usir kasar David, dia tidak mau melihat Cila melupakan pelajarannya karena orang ini.
"Aku diantar sama siapa pa?"
Meski kecewa dengan ucapan kasar papanya itu, Cila bingung sebab biasanya papanya yang mengantar ke sekolah.
David menunjuk Jati yang sudah berada didalam mobil.
"Sama orang itu"
Ucapnya tidak ikhlas.
Sontak saja tanpa berdiam diri lagi Cila berlari menuju mobil dimana Jati sibuk mengotak atik mobil mewah itu.
"Ayo om berangkat"
Teriak Cila penuh semangat, dia begitu sumringah karena om Jati yang menjadi pengawalnya.
"Baik nona"
Sahut Jati mengenakan kacamata hitamnya, tak lupa jaz hitam baru pemberian pelayan David.
"Brum!
Jati melajukan mobil mewahnya itu dengan santai, dan Cila yang berada disamping kemudi tersenyum tidak henti hentinya.
Dimana David memijit pelipisnya dengan pusing.
"Masa sih punya calon menantu seperti itu?"
Tidak mau ambil pusing, David bergegas bersiap menuju kantor. Dia harus fokus pada bisnisnya dan melupakan sejenak masalah orang itu.