NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bara di Bawah Abu

“Pengerahan ulang. Kita rebut akses ke Gerbang Utara.”

Suara Hwa-young tajam, seperti retakan es di keheningan malam. Daun kering di tangannya hancur menjadi debu, serpihannya berjatuhan di lantai kayu dan lenyap, sama seperti harapan-harapannya yang baru saja direnggut. Ini bukan sekadar kekalahan, ini adalah penghinaan. Matriarch Kang tidak hanya menyerang, dia telah mempermainkannya. Rasa panas yang membakar di dadanya bukanlah amarah semata, melainkan bara dari tekad yang baru ditempa.

“Gerbang Utara?” Mae-ri mengulang,  tercekat. Wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lilin. “Tapi, Yang Mulia ... itu jantung Keluarga Kang. Bijih besi, gandum, pergerakan pasukan ... Semuanya lewat sana. Itu sama saja masuk ke sarang harimau.”

“Tentu saja,” Hwa-young mendesis, matanya berkilat liar. “Rubah tua itu tahu persis apa yang dia lakukan. Dia sengaja memancing kita ke ‘Bunga Teratai Malam’, membiarkan kita berpikir kita punya jalan keluar lewat pelabuhan. Saat kita sibuk memadamkan api, dia sudah memblokade jalur air dan memaksa kita ke satu-satunya tempat yang tidak akan pernah kita pilih,  halaman belakang rumahnya sendiri.”

Ia bergerak gelisah ke arah jendela, menyibak tirai sutra dengan jari gemetar. Di luar, istana tampak damai, sebuah kebohongan yang sempurna. Di suatu tempat di sana, Matriarch Kang mungkin sedang menyesap tehnya, tersenyum puas. Gambaran itu membuat Hwa-young mual. Ibunya tidak membesarkannya untuk menjadi pion yang pasrah. Ibunya mengajarinya cara bermain, dan cara untuk menang.

“Mereka sudah bergerak,” lanjutnya,  kembali terkendali, dingin dan penuh perhitungan. “Agen Kang pasti sudah menyebar di sekitar Hwasan seperti jaring laba-laba. Setiap wajah baru, setiap transaksi aneh, akan langsung dilaporkan. Rute lama kita sudah mati. Kita harus membangun basis baru. Malam ini.”

“Tapi dengan apa?” bisik Mae-ri, keputusasaan terdengar jelas di . “Uang kita hampir habis. Yang Mulia, jika Anda menginginkan modal ... Anda harus menjual perhiasan keluarga.”

“Kalau begitu kita jual,” potong Hwa-young tanpa sedetik pun keraguan. Ia berbalik, tatapannya menusuk. Pengorbanan? Ini bukan pengorbanan, ini investasi. “Jaringan ini dibangun di atas kepercayaan, bukan janji kosong. Orang-orang harus tahu bahwa Ratu mereka yang baru bersedia mempertaruhkan segalanya. Mae-ri, berapa sisa dana darurat di kotak pribadiku? Yang tidak diketahui Matriarch Kang.”

“Sekitar seratus keping emas, Yang Mulia. Ditambah beberapa permata yang bisa dicairkan ... mungkin dua ratus lagi. Totalnya, tiga ratus keping.”

“Tiga ratus keping emas.” Hwa-young menggumam, pikirannya berpacu. Itu jumlah yang sangat kecil untuk memulai perang, tapi cukup untuk menyalakan percikan api. “Kita tidak akan membeli rumah atau toko. Kita akan membeli gudang. Di dekat Gerbang Utara.”

Mae-ri tersentak. “Gudang? Kenapa? Tempat itu kotor, dingin, dan ... terlalu mencolok.”

“Justru karena itulah tempat persembunyian yang sempurna,” jelas Hwa-young. Senyum tipis yang berbahaya tersungging di bibirnya. “Matriarch Kang akan mencari kita di tempat-tempat terhormat. Toko obat, kantor akuntan, atau paviliun mewah yang disamarkan. Dia tidak akan pernah berpikir kita cukup gila untuk membangun markas di antara tumpukan barang rongsokannya.”

Hwa-young mencondongkan tubuhnya. “Kau pernah bilang punya kenalan di luar, seseorang yang bisa dipercaya? Seseorang yang tidak terikat pada Kang maupun Istana?”

Mae-ri menggigit bibirnya, berpikir keras. “Ada ... Paman Go. Dulu dia broker properti, sebelum Keluarga Kang melahap semua bisnisnya. Dia membenci mereka sampai ke tulang. Sekarang dia bekerja di bawah tanah, mengurus properti-properti bermasalah yang tidak diinginkan siapa pun.”

“Sempurna,” Hwa-young bertepuk tangan pelan. “Orang yang putus asa dan penuh dendam. Dia akan melakukan apa saja demi uang. Temui dia. Katakan padanya kita butuh gudang. Kriterianya,  tua, tidak terawat, dan pemiliknya butuh uang cepat. Dan yang terpenting, transaksi ini tidak boleh tercium oleh siapa pun.”

“Itu permintaan yang sangat berisiko, Yang Mulia. Dia akan meminta bayaran yang sangat mahal.”

“Bayar dia,” jawab Hwa-young tegas. “Tawarkan seratus keping emas untuk jasanya. Dua ratus sisanya untuk gudang. Jika kurang, kita jual perhiasan yang paling berharga. Kita butuh benteng ini, Mae-ri. Ini adalah fondasi dari Chungmae yang akan kita bangun kembali.”

Rasa takut di mata Mae-ri perlahan berganti dengan kekaguman. “Seratus keping emas ... Dia pasti akan melakukannya.”

“Bagus. Kau harus pergi sekarang.” Hwa-young berjalan ke lemari, mengeluarkan sebuah kotak kayu sederhana. Di dalamnya, terbungkus beludru usang, ada tiga anting-anting giok peninggalan ayahnya, satu-satunya kenangan fisik yang ia miliki tentang pria itu. Menyerahkannya terasa seperti merobek sebagian kecil dari hatinya. “Gunakan ini sebagai cadangan.”

Tangan Mae-ri gemetar saat menerima kotak itu. “Baik, Yang Mulia.”

“Pergilah saat malam paling gelap. Matriarch Kang sedang merayakan kemenangannya. Dia tidak akan menyangka kita akan bergerak secepat ini.”

Dua jam terasa seperti selamanya. Hwa-young mencoba membaca buku puisi, tetapi kata-kata itu kabur di depan matanya. Setiap derit kayu di luar kamarnya membuatnya deg-degan. Bagaimana jika Mae-ri tertangkap? Bagaimana jika Paman Go adalah pengkhianat? Ia memaksa dirinya untuk tenang. Ketakutan adalah kemewahan yang tidak bisa ia miliki.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan.

Hwa-young membeku, buku di tangannya jatuh ke lantai. Yi Seon, Putra Mahkota, berdiri di ambang pintu. Wajahnya tidak terbaca, matanya yang gelap menatap lurus ke arahnya, seolah bisa melihat semua rahasia yang ia sembunyikan.

“Aku dengar kau tidak enak badan,” katanya,  datar. Ia berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. Suara klik kunci itu terdengar seperti pintu sel yang ditutup. “Tapi kau tidak terlihat sakit. Kau terlihat ... sibuk.”

Jantung Hwa-young berdebar begitu kencang hingga ia takut Yi Seon bisa mendengarnya. “Hanya sedikit pusing, Yang Mulia. Membaca mungkin bukan ide yang bagus.”

Yi Seon tidak menanggapi. Matanya menyapu ruangan, berhenti sejenak pada peta Hwasan yang terbentang setengah tersembunyi di bawah tumpukan kertas. Ia berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa berat dan penuh ancaman.

“Aku sedang mencoba memecahkan sandi di manik-manik giok itu,” katanya santai, sambil menunjuk ke arah petanya. “Sangat rumit. Sepertinya mengarah pada beberapa rute perdagangan di luar ibu kota. Beberapa di antaranya melewati ... Gerbang Utara.”

Udara di dalam ruangan seakan menipis. Hwa-young merasakan keringat dingin membasahi tengkuknya. Apakah dia tahu? Seberapa banyak yang dia tahu?

“Benarkah?” Hwa-young berusaha terdengar acuh tak acuh. “Itu peninggalan Ibu. Aku tidak pernah benar-benar memahaminya.”

Yi Seon tersenyum, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Tentu saja. Hwa-young ... jika kau butuh sesuatu, kau bisa memintanya padaku. Jangan melakukan hal-hal ... yang merepotkan sendirian.”

Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Tepat sebelum keluar, ia berhenti. “Dan lain kali, suruh pelayanmu untuk lebih berhati-hati. Jubahnya terkena debu batu bara. Tidak ada batu bara di sayap istana ini.”

Pintu tertutup, meninggalkan Hwa-young yang gemetar hebat. Yi Seon tidak hanya curiga, dia tahu. Dia sedang mengawasinya. Waktu mereka menjadi semakin sempit.

Tak lama kemudian, Mae-ri menyelinap kembali, napasnya terengah-engah.

“Berhasil!” bisiknya, mengunci pintu dengan panik. “Paman Go setuju. Dia bahkan sudah menemukan tempatnya!”

Mae-ri membentangkan sebuah peta kasar di atas meja. “Bekas pabrik penggilingan bijih besi, hanya beberapa blok dari Gerbang Utara. Ditinggalkan sejak lima tahun lalu, setelah Kang memonopoli pasokan. Milik seorang bangsawan kecil yang terlilit utang judi.”

Hwa-young menatap peta itu, pikirannya masih kacau karena pertemuan dengan Yi Seon. “Harganya?”

“Hanya seratus delapan puluh keping emas! Pemiliknya sangat putus asa. Paman Go akan menggunakan sisa dua puluh keping untuk menyuap pejabat kecil agar kepemilikannya tidak bisa dilacak. Kita masih punya seratus keping emas dan perhiasan Anda aman!”

Sedikit kelegaan menyelimuti Hwa-young. “Kapan transaksi selesai?”

“Besok pagi. Begitu Matriarch Kang sadar properti itu berpindah tangan, itu sudah terlambat.”

“Bagus,” kata Hwa-young. Ancaman dari Yi Seon membuatnya semakin terdesak. “Kita tidak punya waktu. Kita harus mengirim sinyal sekarang. Sinyal bahwa Chungmae telah kembali.”

“Sinyal apa?”

“Arang,” kata Hwa-young, ide itu muncul begitu saja, terlahir dari keputusasaan dan kecerdikan. “Matriarch Kang mengontrol batu bara terbaik untuk istana dan militer, tapi dia mengabaikan pasar rakyat jelata. Pedagang kecil, kedai makanan, keluarga miskin. Mereka butuh arang untuk memasak. Itu adalah pasar yang dia injak-injak.”

Mae-ri mulai mengerti. “Memberdayakan yang terpinggirkan…”

“Itulah jiwa Chungmae,” Hwa-young mengkonfirmasi. “Kita akan membeli sisa kayu bakar murah, mengolahnya di pabrik tua itu, dan menjual arang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Ini bukan tentang keuntungan besar, ini tentang pesan. Pesan bahwa ada kekuatan baru yang peduli pada mereka.”

Malam berikutnya, udara terasa dingin dan berat. Hwa-young dan Mae-ri, menyamar sebagai pelayan, tiba di gudang yang gelap dan lembap. Paman Go menunggu mereka di dalam, ditemani beberapa pria berwajah keras dan letih.

“Mereka mantan buruh pabrik ini,” jelas Paman Go. “Dibuang oleh Keluarga Kang tanpa pesangon. Mereka membenci Kang lebih dari siapa pun.”

Hwa-young menatap mereka satu per satu. Di mata mereka, ia tidak melihat keputusasaan, melainkan api dendam yang membara. “Loyalitas kalian akan dibayar dengan keadilan,” katanya,  menggema di ruangan kosong itu.

Tungku pembakaran bijih yang besar dan berkarat berdiri di sudut seperti monster yang tertidur. Kayu bakar sudah menumpuk, siap untuk diolah. Ini nyata. Ini adalah langkah pertamanya. Ia bukan lagi Putri Mahkota yang terkurung di istana. Di sini, di tengah debu dan karat, ia adalah Ratu Chungmae.

Ia berjalan ke pintu, menatap ke arah Gerbang Utara yang diselimuti kabut. Di suatu tempat di sana, musuhnya tidur nyenyak, tidak menyadari bahwa di bawah hidungnya, sebuah mesin perang baru saja dihidupkan.

“Mereka pikir mereka telah memotong akar kita,” bisik Hwa-young. “Mereka salah. Mereka hanya memaksa kita menanam akar baru di tanah yang paling subur,  kebencian rakyat.”

Ia berbalik menghadap Paman Go, wajahnya disinari oleh cahaya lentera yang berkedip-kedip. “Paman Go, aku punya perintah lain. Lebih berbahaya dari ini.”

Paman Go menelan ludah. “Apa itu, Nyonya?”

“Matriarch Kang fokus menjaga logistik daratnya di Gerbang Utara. Dia mengharapkan kita menyerang gandum atau bijih besinya,” Hwa-young menjelaskan, matanya menyipit dengan perhitungan dingin. “Kita akan menyerang dari arah yang tidak dia duga. Kita akan menyerang komoditasnya yang paling berharga dan paling rentan.”

“Apa itu?” tanya Mae-ri.

“Sutra,” jawab Hwa-young. “Sutra Kerajaan yang dia selundupkan melalui Pelabuhan Selatan. Aku ingin kau mencari tahu setiap detail pengiriman Sutra Kerajaan dalam dua minggu ke depan. Jadwal kapal, nama kapten, dan rute pengawalannya.”

Paman Go mengangguk, siap mencatat. Namun, sebelum Hwa-young bisa melanjutkan, wajah Paman Go tiba-tiba menegang. Matanya membelalak ngeri saat melihat sesuatu di tumpukan kayu bakar yang baru saja mereka beli.

“Nyonya ... ada masalah,” katanya dengan suara bergetar.

Hwa-young mengikuti arah pandangnya. Di sana, tercap di salah satu ujung balok kayu terbesar, ada sebuah simbol kecil yang hampir tak terlihat, simbol yang ia kenal betul.

Itu adalah lambang pribadi dari kepala rentenir paling kejam di Hwasan. Rentenir yang terkenal bekerja secara eksklusif untuk satu klien.

“Siapa nama bangsawan yang menjual gudang ini?” tanya Hwa-young,  hampir tak terdengar.

“Tuan Lee, Nyonya,” jawab Paman Go, wajahnya kini sepucat mayat.

Hwa-young merasakan darahnya seakan membeku. Tuan Lee. Nama yang sama dengan bendahara pribadi yang baru saja dipecat oleh Matriarch Kang karena penggelapan dana.

Ini bukan keberuntungan. Ini adalah jebakan.

Paman Go melanjutkan dengan bibir gemetar, “Dan rentenir itu ... semua orang tahu ... dia hanya menjawab pada satu orang.”

Hwa-young tidak perlu bertanya siapa. Mereka tidak membeli benteng. Mereka baru saja membeli peti mati mereka sendiri, menggunakan uang mereka sendiri, dan Matriarch Kang yang memegang kuncinya. Tepat pada saat itu, dari kejauhan, terdengar suara peluit tajam para penjaga kota, semakin dekat dan semakin banyak. Mereka sudah dikepung.

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!